Bus yang ditumpangi Cindy dari Lampung menuju Bandung, mogok berulang kali karena mesin bus itu sudah terlalu tua. Tiap kali bus berhenti untuk di perbaiki, rasa pening di kepala Cindy berdenyut-denyut. Dia ingin lekas sampai di terminal Bandung.
Karena dari terminal bus masih harus naik colt omprengan untuk mencapai kampungnya. Bagi Cindy apapun yang bakal terjadi harus dihadapi
dengan perasaan tabah. Hampir sepanjang perjalanan menuju ke kampung, ucapan Rangga senantiasa berdengung di telinganya. Kau harus tabah...! Harus tabah Cindy.
Rasa sebal dan ingin muntah menumpuk di kerongkongannya. Betapa melelahkan dan menjengkelkan selama di perjalanan. Kalau saja Rangga berada di sampingnya mungkin saja perjalanan ini berubah mengasyikkan.
Akhirnya dengan kejenuhan yang melelahkan sampailah ke tempat tujuan. Cindy bergegas turun dari colt omprengan sambil menjinjing koper kecil. Lama Cindy termangu setelah colt omprengan itu menjauh. Dengan sebuah kereta kuda, Cindy kemudian menempuh perjalanan ke rumahnya. Sawah yang membentang di kiri kanan jalan nampak kuning keemasan. Gunung yang menjulang tinggi berwarna hijau kebiruan menggambarkan sebuah monumen alam.
Jalan-jalan kampung yang sepi membuat perasaan jadi tak enak. Lebih dirasakan sepi lagi oleh Cindy, selama di perjalananan kusir kereta kuda itu kebetulan sangat pendiam. Atau mungkin merasa takut mengajak mengobrol lantaran gadis yang naik kereta kuda itu kelewat cantik.
Setelah kereta kuda memasuki kampung dimana
Cindy lahir dan dibesarkan, satu dua orang mengangguk pertanda mereka mengenalnya. Rasa sepi yang sejak tadi dirasakan oleh Cindy agak sedikit terhibur. Namun tidaklah cukup untuk diresapi. Semakin dekat ke rumah, semakin banyak mata yang memperhatikan Cindy. Dan lebih banyak mulut yang saling berbisik membicarakan Cindy.
Seorang perempuan setengah tua meludah di dekat kereta kuda yang melewatinya. Cindy memejamkan mata dan berusaha menahan goncangan perasaan yang menggempur dadanya. Begitupun setelah Cindy mengetuk pintu rumah, kakinya gemetar. Satu dua kali pintu rumah itu terus diketuknya. Banyak pula tetangga kiri kanan rumahnya memperhatikan sambil berbisik-bisik. Entah apa pula yang mereka perbincangkan. Yang jelas mimik mereka sangat Sinis. Cindy ingin cepat-cepat masuk ke dalam rumah. Untunglah pintu rumah itu segera terbuka dan di hadapan Cindy berdiri seorang gadis berambut di kelabang kuda.
"Zahra!." panggil Cindy dengan mata berseri-seri penuh kerinduan. Sesaat gadis itu memandang Cindy, kemudian mereka buru-buru saling berpelukan erat.
"Kak Cindy... " Gumam Zahra penuh keharuan.
"Kau baik-baik saja bukan?" Tanya Cindy lirih.
"Yah seperti apa yang kakak lihat. Ayo masuk kak." Balas Zahra.
Cindy menuruti ajakan adiknya. Tetapi langkahnya mendadak terhenti dan sekujur badannya di rasa dingin ketika melihat seorang lelaki setengah tua yang wajahnya sudah nampak keriput. Lelaki itu baru saja keluar dari ruang tengah dengan langkah-langkah mantap. Seolah-olah Cindy menghadapi monster yang menakutkan. Sekilas dia teringat kepada Romeo. Mata Cindy terbelalak. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Nafas dan denyut jantungnya bagai terenggut, putus rasanya. Dan lelaki setengah tua berwajah keriput itu berdiri tegak tak sampai dua meter di depan Cindy. Perasaan yang dialami oleh Cindy tak jauh berbeda dengan perasaan Zahra.
"Ayah..." seru Cindy tertahan.
Sepasang matanya yang keriput menyipit seketika. Tidak seperti apa yang dilihat Cindy dua tahun yang silam. Wajah ayahnya masih kelihatan segar. Tetapi kini sudah berubah masam dan menakutkan. Hampir-hampir Cindy tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Cepat Cindy ingin memeluk lelaki itu namun suara lelaki itu terdengar menakutkan.
"Berhenti di situ..!" Ucap lelaki itu tiba-tiba.
"Ayah," Cindy setengah berteriak.
"Siapa kau?!." Ucap lelaki yang di panggil ayah oleh Cindy.
"Ayah... aku Cindy." Suara Cindy tercekam.
"Aku tak mengenalmu" balas ayahnya dengan pandangan mata lelaki itu hampa.
"Ayah!." Cindy memekik.
"Pergilah jangan injak rumah ini lagi." Balas ayahnya.
"Ayah aku adalah anakmu." Ucap Cindy memastikan.
"Aku tidak mempunyai anak seperti kau!." Balas ayahnya.
Cindy langsung memeluk Zahra dan menangis pilu di dalam pelukan adiknya itu. Ingin rasanya dia menjerit sekuat-kuatnya. Ingin pula rasanya dia menangis sepuas-puasnya. Betapa kejamnya
kenyataan yang telah berubah ini.
"Kak Cindy...tabahkanlah hatimu." tutur Zahra.
"Ayah tidak lagi menganggapku sebagai
anaknya." Sahut Cindy disela-sela isak tangisnya yang pilu.
"Kau harus menyadari sepenuhnya jika penyebabnya adalah kenyataan kak." Ucap Zahra.
Cindy melepaskan pelukannya dan menatap ayahnya yang masih berdiri tegak di belakangnya. Perlahan-lahan Cindy merentangkan tangannya siap memeluk ayahnya. Namun mata lelaki itu membelalak lebar, menakutkan. Cindy menurunkan kembali tangannya perlahan-lahan. Bagai tak mempunyai daya lagi. Dan dia mengerti semua persoalan. Pengertian yang mengerikan dan menakutkan.
"Ayah... aku sudah rindu sekali kepadamu." Kata Cindy dalam keluh kesah.
"Kau panggil aku ayah sedangkan aku tidak pernah merasa mempunyai anak semacam kau!." Bentak lelaki itu keras.
Bumi yang dipijak oleh Cindy dirasa berguncang. Tetapi Cindy belum yakin bila ucapan itu keluar dari hati sanubarinya yang tulus.
"Jangan ucapkan itu ayah." Rengek Cindy memelas.
"Sekali lagi kau berani memanggilku ayah, aku akan menendangmu keluar!." Balas ayahnya.
Lelaki setengah tua itu membentak dengan wajah merah padam dan mata berapi-api. Tekad Cindy sudah bulat, bahwa dia rela berkorban demi kedua orang tua nya. Bukankah sejak dahulu Cindy sudah menempuh kesemuanya itu? Dia lebih merasa rela dipukul ayahnya dari pada Romeo. Maka keberanian Cindy semakin bulat dan keras.
"Baiklah kalau kau tidak mau kupanggil ayah. Dan aku menerima kenyataan bila saja tidak lagi dianggap seorang anak. Tetapi aku datang kemari untuk memberi tahu jika perkara Romeo akan disidangkan. Dan akulah yang menerima surat panggilan dari kejaksaan untuk menjawab persoalan." Kata Cindy tegas.
Lelaki setengah tua itu mengkerutkan dahi dan pancaran matanya tidak lagi berapi-api seperti tadi. Hampa dan kosong.
"Romeo?.. Romeo?..." gumamnya lirih.
Lelaki itu sepertinya mengingat sesuatu yang hampir dilupakannya. Tiba-tiba dia membentak lagi.
"Jangan sebut nama bajingan itu!." Suara hentakkan itu menggetarkan jantung Cindy. Dan hampir pula menghentikan denyut jantungnya. Suaranya hampir menyerupai geledek. Cindy tetap berusaha untuk menenangkan perasaannya.
"Romeo telah mati." Kata Cindy datar.
"Apa??" Nada suara lelaki itu meninggi.
"Romeo telah mati." Ulang Cindy mantap.
Seketika meledaklah suara tawa lelaki itu. Sungguh menakutkan suara tawa lelaki setengah
tua itu. Terbahak-bahak selama dua menit hingga
sampai nafasnya hampir habis. Setelah terhenti
kelihatan menarik nafas berat. Dadanya di rasakan sesak. Kemudian terbatuk-batuk.
"Bajingan itu telah mati... lalu apa maumu datang datang kemari? menuntut aku?" Hardik lelaki itu.
Cindy menggigit bibirnya menahan gejolak perasaannya yang tak bisa diungkapkan secara visuil. Sebab dia tahu pula jika ayahnya tidak lagi manusia normal. Begitu pun ayahnya belum bisa mengendali dirinya yang sesungguhnya. Lantas apa yang akan dilakukannya? Hanya paling-paling Cindy menghela nafas panjang dan memandang ayahnya dengan hampa.
"Katakan bedebah !" Lelaki itu menggeram dan tanpa kompromi lagi tendangannya melayang ke perut Cindy. Gadis itu terhuyung-huyung kebelakang. Zahra berusaha untuk menolong tetapi keduanya jatuh ke lantai bersamaan. Rupanya tak puas sampai disitu saja. Lelaki itu menarik tangan Cindy keluar dari rumah dan dilempar ke luar. Gadis itu jatuh terhenyak di teras.
"Sekali lagi kau berani menginjak lantai rumah ini, akan kubunuh!." Ancam ayahnya Cindy.
"Ooooooh kejam!." Rutuk Cindy sembari menangis pilu.
Sesaat kesepian yang mencekik kami. Dan hanya terdengar suara isak tangis Cindy dan Zahra.
Wajah lelaki tua itu penuh dendam dan kecewa menatap Cindy. Tetapi Cindy tidak lagi perduli. Mati pun dia sudah rela. Namun lelaki itu tidak melakukan tindakan lag! hanya membanting pintu dengan keras dan sekaligus menguncinya. Detak-detak anak kunci bagaikan geledek yang menggelegar memecah bumi dan langit.
Segera Cindy bangkit dan memukul gaun pintu rumah itu berkali-kali dengan telapak tangannya Pekikan histeris terdengar dari mulutnya penuh penyesalan.
"Kejam! Kejaaam!."
Sebuah tangan memegang bahu Cindy lembut. Tangan itu tak lain adalah tangan Zahra yang
penuh keharuan. Tetapi Cindy terus meronta seraya menangis pilu.
"Sudahlah kak... sudahlah. Kau harus menerima dengan penuh pengertian diri dan ketabahan hati. Bukankah ayah kita tidak normal pikirannya?"
Baru kemudian Cindy menoleh dan memandang wajah adiknya yang sendu. Wajah seorang adik yang penuh kasih sayang dan pengertian. Cindy jadi sadar dan memeluk Zahra penuh keharuan.
"Zahra... alangkah pahitnya kenyataan ini." Gumam Cindy pilu.
"Kita harus sanggup untuk menerima dengan ikhlas kak. Mari kita kerumah nenek. Di sana kau dapat beristirahat dengan baik. Urung dulu maksud dan tujuanmu sambil menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengan ayah." Jelas Zahra lirih.
Cindy menganggukkan kepalanya dengan berat. Seberat hatinya meninggalkan rumah itu. Kedua gadis itu berjalan menuju ke rumah neneknya. Banyak mata tetangga yang mengawasi mereka berlalu. Dan mata-mata mereka itu seakan-akan mencibir diri Cindy dan terkutuk. Sebetulnya mereka tidak boleh menganggap diri Cindy demikian. Karena mereka sebetulnya tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi di dalam keluarga Cindy yang sebenarnya. Namun anggapan mereka Cindy lah yang telah membuat ayahnya hingga menderita gangguan jiwa. Biarlah semua mata menghukumku dengan arti terkutuk. Asalkan saja di mata Tuhan tidaklah terkutuk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments