"Apakah benar yang dikatakan temanku, untuk berkenalan dengan gadis di Lampung ini harus mempunyai modal." Gumam Rangga setengah menyindir gadis itu.
"Modal apa?" Tanya gadis itu heran.
"Paling rendah mempunyai motor dan paling tinggi memiliki mobil, baru dapat berkenalan gadis Lampung dengan mudah sekali." Lanjut Rangga menjelaskan.
"Itu tidak benar." Ketus gadis itu.
"Sudah terbukti kau tidak mau menyebutkan namamu. Kalau saja aku mempunyai mobil kau pasti tidak sesulit ini untuk menyebutkan namamu. Ya kan?" Ucap Rangga. Gadis itu melengos. "Sudah terbukti kan" Desak Rangga.
"Aku bukan gadis semacam itu." Balas gadis itu.
"Kalau kau merasa bukan gadis semacam itu, sebutkanlah namamu. Aku baru merasa yakin dengan apa yang kau ucapkan." Tandas Rangga.
Gadis itu lantas mengeluh dan dari mulutnya tersebut sebutan sebuah nama yang di rasakan indah bagi pendengaran Rangga.
"Namaku Cindy." Ucap gadis itu.
"Sungguh indah nama mu. Coba ulangi sekali lagi, aku merasa senang mendengarnya." Gurau Rangga sambil memasang telinganya.
"Barangkali kamu ini orang senewen ya?" Celetuk Cindy rada di buat keki.
Rangga tertawa berderai, sedangkan wajah Cindy merah merona terlihat jelas. Dia merasa dipermainkan oleh Rangga. Tapi dia juga merasa senang dengan sikap Rangga yang senang bergurau.
"Kalau aku senewen dari sejak pertama aku berjumpa dengan mu sudah ku peluk habis-habisan. Sebabnya aku merasa amat tersiksa kala melihat mu. Mata, hidung dan bibir mu terlalu banyak magnetnya yang membuat daya tarik menarik semakin besar." Ucap Rangga.
"Eeee, sudah berani kurang ajar ya? Belum pernah ditempeleng orang?" Sergah Cindy marah.
"Duh... galaknya. Begitu saja marah nih?," bujuk Rangga.
Cindy tanpa menghiraukan Rangga lagi melangkah pergi dan Rangga pun mengejarnya. Tapi sial, gadis itu telah naik ke dalam taxi dan berlalu tanpa meninggalkan kesan lagi. Apa yang bisa diperbuat Rangga tidak lain hanya garuk-garuk kepala. Dia menyesal berlaku demikian terhadap seorang gadis yang baru saja dikenalnya. Maksudnya ingin bergurau, tetapi Cindy menganggap dirinya telah melampaui batas. Sambil menghela nafas berat lelaki itu menyetop bis kota yang kebetulan lewat di depannya.
Bergegas Rangga naik dan berlalu dari tempat itu. Di dalam perjalanan menuju ke tempat kostnya, lelaki itu menggerutu tanpa ada henti-hentinya. Kenapa sampai bisa begini? Itu saja yang senantiasa bercokol di benaknya.
Sesampainya di kamar kost, Rangga melemparkan map lusuh di atas meja dengan
perasaan kesal. Lantas dibantingnya tubuh lunglai itu ke pembaringan. Dengan nafasnya masih memburu seperti sehabis berlari jauh. Bayangan wajah Cindy masih belum mau lenyap di pelupuk matanya. Niatnya masih tetap membara untuk bisa mendapatkan gadis itu. Hanya kapan perjumpaan itu akan terjadi lagi?. Segalanya itu belum dapat menjadi kepastian, sebab kehadiran Cindy masih merupakan bayangan suram.
***
Hari minggu merupakan hari santai dan istirahat yang tidak kebagian lembur atau tugas bagi semua karyawan dan pelajar. Dalam hari libur begini, Rangga selalu menghabiskan di tempat yang ramai. Dia paling senang duduk pada sebuah bangku kecil di terminal Raja Basah. Di sisi kiri dan kanannya berderet pula orang-orang yang duduk berteduh untuk menghindarkan sengatan sinar matahari.
Tapi di belahan langit sebelah barat mendung berarak menuju ke timur. Tak lama lagi hujan akan turun dari langit. Kalau saja angin masih sering bertiup, ada kemungkinan hujan bakal urung jatuh membasahi bumi.
Tapi angin tidak bertiup, sehingga suasananya nampak begitu lenggang. Semua orang yang ada di terminal Raja Basah bagai dikejar-kejar hantu. Di sana-sini ketakutan bila mendung yang berarak di langit akan meluruhkan titik-titik air ke bumi. Layaknya dunia ini sudah mendekati sekarat. Lain yang dilakukan Rangga, dia masih tetap duduk dengan tenang sambil menikmati kesibukan orang yang berlalu-lalang. Baginya itu merupakan tontonan yang mengasyikkan.
Dari kesibukan itulah Rangga bisa menciptakan sebuah cerita yang nyata. Kehidupan anak manusia yang penuh liku-liku dan berdasarkan logika yang matang. Rangga seorang penulis muda yang telah berhasil menciptakan sebuah karangan tentang "Kehidupan Kota Bandar Lampung" yang unik dengan segala penstiwa kehidupan di dalamnya. Buku novel itu telah berhasil dicetak ulang kelimanya berdasarkan permintaan penggemarnya. Tapi baginya nama yang menjulang tinggi, belum tentu setaraf dengan apa yang dialami sekarang. Boleh orang lain membanggakan namanya, memuja namanya, tapi apalah artinya jika hidupnya masih tetap kekurangan.
Dia baru dapat merasakan, bahwa kehadiran Cindy menuntut banyak segi keberhasilannya dalam menunjang kehidupan. Kini Rangga melalui hariharinya dengan kemurungan, bukan kemurungan seperti anak-anak muda yang sulit mencari pekerjaan. Melainkan kemurungan yang berasal dari ingin memiliki gadis itu.
Bayangan wajah gadis itu dirasa tak mau lepas dari pelupuk matanya. Inikah yang dinamakan senandung rindu menikam kalbu? Yah... sebuah perumpamaan itu sangatlah tepat Dia merindukan saat berjumpa kembali dengan gadis idamannya itu.
Mendadak orang-orang saling berlarian guna mencari tempat untuk berteduh karena hujan mulai turun dari langit. Semula titik-titik air hujan itu jatuh rintik-rintik, akan tetapi kemudian bertambah deras. Mata Rangga menangkap sesosok tubuh indah berlari kearah peron. Dia hafal betul bahwa gadis itu tiada lain adalah Cindy. Ya, Cindy. Jantung Rangga bergelepar... ya Tuhan, gadis yang mengenakan rok merah tua dengan kembang-kembang putih dan kuning itu Cindy. Maka Rangga bergegas bangkit dan menghampiri Cindy yang baru saja menginjakkan kakinya di ubin peron.
"Cindy...!" Tegur Rangga parau.
Gadis itu terkesima menatap Rangga yang sudah berdiri di sampingnya. Cindy dapat menangkap melalui panca indranya, bahwa lelaki yang berdiri disampingnya itu menatap dengan pancaran mata rindu.
"Apa yang kau kerjakan di sini?" Tanya Cindy sambil melirik.
"Apa saja yang bisa membawa rejeki. Siapa tahu aku dapat menemukan dompet orang yang berisi uang jutaan." Ucap Rangga.
"Kamu memang benar-benar senewen," sergah Cindy.
"Barangkali anggapanmu itu benar." Ucap Rangga lagi.
"Hm!." Cindy berdehem.
"Lama tidak kelihatan kemana saja?" Tanya Rangga lembut.
Gadis itu diam saja. Matanya yang indah menatap langit mendung yang meluruhkan air hujan. Cindy merasa tidak perlu mengutarakan jalan hidupnya yang ditempuh selama ini. Mungkin hanya untuk mereka yang sudah tahu. baginya telah cukup. Sejauh itu langkahnya cukup membawa tekanan perasaan yang tak bisa diuraikan dengan kata-kata.
"Lama tak kelihatan," sambung Rangga lagi.
"Dua minggu telah berlalu." Tindih Cindy basa-basi.
"Sakit?" Tanya Rangga singakat.
"Yah." Sahut Cindy pendek. Dia hanya mengharap dengan berdusta tidak akan memperpanjang pertanyaan lelaki itu.
"Sekarang masih sakit?" Tanya Rangga kembali.
"Sudah agak mendingan." Jawab Cindy.
"Kalau begitu kuantar kau pulang." Lanjut Rangga.
Cindy diam.
"Mau kau?" Ucap Rangga.
Cindy masih diam.
"Aku sekalian ingin bermain ke rumahmu, tak apa-apa kan?" Lanjut Rangga.
Rangga seperti membujuk adiknya yang meminta kembang gula.
"Enggak keberatan kan?" Tanya Rangga.
Cindy baru kemudian menggelengkan kepala.
"Kenapa?" Tanya Rangga singkat.
"Kau tak akan mengerti kehidupanku." Jawab Cindy.
"Aku akan berusaha untuk mengerti kehidupanmu, Cindy. Percayalah." Lanjut Rangga.
"Jangan." Desah gadis itu.
Rangga jadi berubah demikian kecewa.
Curahan air hujan yang turun dan langit menjadi pelampiasa rasa kecewanya. Dia memandangnya dengan tatapan hampa. Kau tak boleh tahu rumahku. Siapa pun tak boleh tahu rumanku! Keluh Cindy tak bersuara, mulutnya terkatup rapat-rapat.
Cindy menatap mata lelaki yang berdiri di sampingnya, alangkah hampa dan kecewanya.
Tapi... oooh, semua itu tak boleh terjadi. Mata Cindy bertambah murung, sementara Rangga berdiri dengan bahu yang lesu.
"Baiklah, aku tidak akan memaksamu, jika kau merasa keberatan." Ucap Rangga melanjutkan.
Cindy menatap wajah Rangga sekali lagi. Kecewa, pasti dia amat kecewa atas penolakan itu. Walau pun sesungguhnya perasaan Cindy tidak jauh berbeda dengan lelaki itu. Selama ini dia menyekap rasa rindu ingin berjumpa dengan Rangga.
Sama-sama menelan makna cinta dan oh... mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Bibirnya bergerak, tapi ucapan tak jua keluar dari sela-sela bibir itu. Kandas di dalam tenggorokan tanpa bisa terucap dengan sempurna. Ketika Rangga menatap mata Cindy yang berkaca-kaca jadi terharu.
"Maafkanlah aku Cindy. Sungguh mati aku tidak memaksamu, janganlah kau menangis. Aku mohon maaf barangkali telah menyakiti hatimu." Cindy hanya tertunduk sambil menggigit bibirnya. Rangga semakin merasa tertekan oleh perasaan bersalah. Dia jadi bingung tak berketentuan.
"Apa yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahanku Cindy? Katakanlah, aku musti berbuat apa?" Desah Rangga dalam keresahan.
"Kau tidak bersalah Rangga." Gumam Cindy lirih.
"Tapi agaknya kau tersinggung Cindy." Balas Rangga, Gadis itu menggelengkan kepala, Rangga mengeluh panjang. Untuk beberapa saat mereka sama-sama bungkam seribu basa. Di antara keheningan itu hanya terdengar suara hujan yang jatuh di genteng peron, di mana mereka berdua dan berpuluh-puluh orang berteduh di bawahnya. Cindy menengadahkan muka dan menatap Rangga yang sedari tadi tertunduk sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Dia berdiri lesu menatap curahan air hujan yang bagaikan tirai kabut menghalangi tegaknya gedung hotel Marcopolo. Bagai terkena aliran magnet Rangga menoleh ke wajah Cindy. Dan mereka saling bertatapan penuh arti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
YUSIKO
lanjut kakak!
2023-04-07
0