Musim hujan membuat bunga flamboyan tumbuh merata di ranting-ranting pohon yang menaungi kampus. Begitu pun dengan bunga-bunga lainnya yang tumbuh di taman samping induk universitas.
Rangga baru meninggalkan kampus sambil memegang map lusuh. Cuaca senja itu sangat cerah. Tapi tidak indah baginya, karena dibalik segala yang teramat mesra Rangga ternyata mengalami perasaan-perasaan aneh didalam batinnya, yaitu mengenai hubungannya dengan Cindy selama ini masih belum menemukan kepastian.
Makanya dia sedikit jengkel dengan gadis itu. Padahal dia mencintai Cindy sepenuh hatinya. Dan kejengkelan itu rasanya mengganggu bayangan kemesraan yang dibawanya dari pantai tempo hari. Mengganggu gemulungnya hati yang sedang dilanda nikmatnya cinta. Malam pun masih selalu mengganggu, tidur kurang nyenyak makanpun tidak enak. Bukan itu saja. Segalanya jadi beringsut. Membuatnya malas membaca dan mengarang. Membuatnya kepingin marah, serba salah dan segala macam yang aneh-aneh. Cuma sayangnya tak ada tempat untuk pelariannya, hingga dapat mengurangi uneg-unegnya.
Rangga terus melangkah di bawah jembatan penyeberangan, ketika tampak olehnya sebuah batu di jalan yang akan dilalui, sepatunya menendang kerikil itu hingga melesat jauh. Untung saja tidak mengenai penjual es buah yang berjualan di depan toko onderdil mobil dan motor.
Sekali pun batu kerikil itu tidak mengenai, penjual es buah dingin itu sempat melototkan mata kepada Rangga. Rupanya lelaki ini membalas melototkan mata pula dan Rangga siap menantang penjual buah dingin itu. Barangkali inilah jalan satu-satunya untuk melampiaskan uneg-unegnya. Rangga sudah mata gelap. Agaknya penjual buah dingin keder melihat mata Rangga yang melotot bagaimana ulang. Kembali si buah dingin itu menundukkan muka sambil mengiris pepaya. Rangga menghela nafas panjang sembari meneruskan langkahnya.
Lantas Herman naik bis kota jurusan Kota Agung, karena ada sedikit keperluan yang akan dibelinya. Satu pita mesin ketik dan buku phiskologi.
Namun ketika dia sampai di proyek Way Halim Permai, bagai terpaku tatkala melihat seorang gadis berjalan dengan pria setengah baya. Gadis yang berjalan sambil dipeluk pria setengah baya itu tak lain adalah Cindy. Rangga bagai disambar petir di siang hari bolong ketika menyaksikan kenyataan itu. Seperti ada getaran magnit yang membuat gadis itu menoleh kearahnya. Maka terhenti sejenak langkah gadis itu dan memandang Rangga dengan kecemasan yang dentum-dentum di dada. Rangga berbuat sama dan mata mereka saling bentrok beberapa saat.
"Ada apa Cindy?" Tegur lelaki di samping Cindy.
"Ah!, tidak ada apa-apa." Tergagap jawaban Cindy.
Lantas gadis itu melangkah lagi dengan di iringi pria setengah baya yang berada di sisinya. Rangga masih saja mengawasi kedua orang itu sampai lenyap di antara sekian banyak orang yang sedang sibuk berbelanja di super market. Rangga baru meneruskan langkahnya sambil menoleh kearah belakang, di mana Cindy dan Pria setengah tua itu menghilang di antara sekian banyak orang. Tanpa disadari oleh Rangga, dia menubruk orang yang sedang berjalan. Jelas saja orang yang di tubruk Rangga marah-marah.
"Jalan tidak lihat ke depan! Di kemanain tuh mata!." Bentak seorang wanita yang tengah berjalan sambil menggandeng anaknya.
"Saya taruh di punggung bu." Sahut Rangga sembari nyengir kuda.
"Sialan kau! Biar disambar geledek !" Wanita itu mengomel macam-macam tapi Rangga tidak ambil pusing lagi. Dia terus nyelonong pergi seraya garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
Tahulah sekarang apa yang bersembunyi dibalik ketidak pastian Cindy untuk membalas cintanya. Alangkah pandainya dia bersilat lidah hanya sebagai penutup kedoknya belaka. Mulai detik ini aku tidak mau lagi menjadi boneka permainannya. Tidak mau lagi menjadi kambing hitamnya. Persetan dengan segala daya tarik pada dirinya yang telah menyeret aku ke dalam kencan sandiwara yang tak lucu.
Demikian rutuk hati Rangga yang penuh emosi.
Kalau toh Cindy hanya sekedar bermain sandiwara, apa artinya harus banyak dipikirkan. Lebih baik bagi Rangga menghindar sebelum keparahan itu akan dalam menyiksanya. Dengan hati yang kacau balau lelaki itu membeli keperluannya di sebuah toko alat-alat tulis.
Dan semenjak itu Rangga berusaha untuk melupakan Cindy. Tapi semakin dia berusaha
melupakan Cindy, semakin sulit baginya untuk berbuat itu. Bayangan gadis itu selalu saja bermain di benaknya tanpa mau perduli. Hari-hari yang dilaluinya gampang sekali mendatangkan kemurungan, gampang sekali mendatangkan kesepian yang baginya terasa amat sulit dicerna.
Padahal dia tahu gejala itu datang dari seorang gadis yang bernama Cindy. Hati dan perasaannya telah terpaut oleh cetusan naluri yang sulit untuk diuraikan dengan kata-kata. Itulah salah satu kalimat cinta. Hampir setiap manusia pasti akan mengalaminya, dan akan menjadi budak dari cinta itu sendiri. Manusia tidak akan mampu menentang kehendaknya bila cinta itu sudah mulai bersemi dan membelenggu dirinya. Hal ini telah terbukti bagi diri Rangga. Dia tak kuasa mengelak, meski dia tetap berusaha membunuh mati perasaannya yang sedang berbunga cinta. Faktor phiskologis nya, perasaan rindu membubuhkan cinta itu menjadi lebih berat kadarnya. Selama manusia masih memiliki perasaan rindu, berarti manusia itu masih mempunyai rasa cinta yang sempurna.
Rangga mengaku, memang terasa sulit untuk melupakan Cindy. Gadis itu telah membuahkan bunga mekar pada kalbunya yang selama ini mengharapkan kehadiran seorang gadis seperti Cindy. Paling-paling bila rasa jengkelnya datang lantaran ingat Cindy berjalan dengan pria tua itu, ia selalu menendang batu kerikil di jalan yang akan dilaluinya.
Gumam yang terlontar dari mulutnya:
"Bangsat!."
Seperti siang itu Rangga berjalan menuju ke halte bis yang terpampang iklan pasta gigi. Langkahnya yang gontai membawanya lebih dekat kearah halte bis itu. Mendadak jantungnya menggelepar kencang. Mendadak matanya menanar menatap sesosok tubuh gadis yang berdiri anggun dibawah naungan halte bis itu.
Ya... Tuhan gadis yang berdiri anggun itu adalah Cindy. Gadis itu menatap Rangga dengan pancaran mata rindu dan gelisah. Lantas gadis itu menundukkan muka ketika melihat mata Rangga menatapnya dengan sinis. Dada Cindy terasa Sesak untuk bernafas dan sikapnya jadi berubah canggung.
Rangga berdiri di sisinya tanpa mau menegur. Diam tegak bagai batu cadas yang kokoh.
Sementara Cindy hanya berani melirik seperti anak kecil yang dimarahi ayahnya. Dengan ditekan berjuta perasaan, Cindy memberanikan diri untuk menegur Rangga.
"Baru pulang kuliah Ngga?" Suara Cindy serak.
"Yah." Jawab Rangga singkat.
"Kau membenci aku?" Ucap Cindy lagi.
"Yah." Balas Rangga singkat.
Cindy mengeluh panjang. Rangga melirik Cindy sinis. "Seharusnya kau tak boleh membenci aku." Kata Cindy parau.
"Karena kau telah membodohi aku." Hanya itu sahutan Rangga.
"Aku tidak bermaksud demikian Rangga." Balas Cindy.
"Kau terlalu pandai membawakan peranan mu. Aku tahu, aku orang yang tak mampu memberikan apa-apa kepadamu selain sekeping hati yang peruh dengan cinta kasih. Kalau mungkin yang kau cari dalam hidupmu segala bentuk kemewahan, aku akan mundur teratur. Sekali lagi, aku orang yang tak mampu membahagiakanmu dengan berdasarkan kemewahan!" Tutur Rangga beremosi.
"Kenapa jadi begini?...kenapa?" desah Cindy tersiksa.
Rangga tercenung selesai mendengar keluhan Cindy yang tersiksa. Dia sendiri tak habis mengerti kenapa gadis ini demikian tertekan perasaannya. Tak sanggup melepaskan siksaan yang jelas dalam sikapnya terlalu dibeienggu oleh ketidak wajaran. Lalu apa gerangan yang telah terjadi pada dirinya? Sayang kau tidak mau berterus terang.
"Rangga... kalau kau mau mengerti, segalanya akan berjalan secara wajar. Kita hidup di atas dunia ini hanya sebagai pelaku yang memperankan berbagai macam watak dan pembawaan. Kita tak ubahnya seperti menjalankan alur kehidupan yang tak tahu apa yang dikehendaki Tuhan sebenarnya terhadap takdir. Aku pasrah kepada NYA. Kalau takdir menghendaki aku harus menerima kenyataan yang sama sekali tak kuharapkan, aku tak bisa menolaknya." Demikian ungkapan kata hati Cindy yang panjang. Walau sesungguhnya perasaannya di lilit kepedihan dan Rangga melihat kedua mata gadis itu berlinang air mata.
Kemudian gadis itu melangkah pergi tanpa mau menoleh lagi ke arah Rangga yang masih tegak sendirian di bawah halte bis. Alangkah sombongnya, alangkah angkuhnya mentang-mentang memliki wajah cantik. Pikir Rangga setengah memaki. Sempat mata Rangga melihat saat Cindy naik ke dalam Taxi dan taxi itu melaju pergi. Langkah-langkah Rangga gontai dengan disertai wajah murung meninggalkan halte bis itu.
Hatinya benar-benar sakit. Betapapun demikian cinta di dadanya masih berjelora bagai nafasnya yang belum terhenti. Kapan lagi dia bisa bertemu dengan gadis itu dan mau mengungkapkan problem pribadinya. Kalau segala latar belakangnya sudah terungkap jelas, Rangga baru bisa mengambil kesimpulan kenapa Cindy seangkuh itu, macam gunung yang tak bisa tergeser.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments