Cindy melangkah masuk ke dalam rumah dengan sekujur badan yang letih. Keringat dingin membasahi sekujur badannya. Rumah yang mewah dengan segala bentuk perabotan mewah di rasa terlalu lenggang dan sepi. Di rumah semewah ini bagi Cindy tak jauh merupakan tempat untuk berteduh saja. Sebab dirinya sama sekali tidak merasakan bahagia menempati rumah itu. Bila saja rumah ini milik Rangga dan lelaki itu bisa selalu bersamanya menempati, alangkah bahagianya. Pagi bersama, siang bersama, malam bersama dan bila keinginannya untuk mengulangi perbuatan seperti tadi siang di Bukit Barisan, tidaklah terlampau sulit.
Mungkin sampai letih. Dan sekarang pun Cindy masih merasakan tubuhnya letih. Kakinya buat melangkah terasa lunglai dan sedikit nyeri pada bagian pangkal paha. Mata dia terus merebahkan dirinya di tempat tidur yang berkasur busa. Sejenak dia membayangkan kejadian yang baru saja di alami nya tadi. Begitu indahnya dan sampai-sampai dia melupakan semua problem yang selama ini membelenggunya. Kemudian Cindy menatap langit-langit kamarnya yang terbuat dari eternit kembang berwarna hijau muda. Bayangan wajah Rangga terlintas. Cindy tiba-tiba tersentak, baru sadar jika lelaki itu telah berhasil mengetahui rumahnya. Di waktu Rangga mengantar sampai di depan rumah, Cindy masih terbawa oleh perasaan pasrah. Seolah-olah dia tak ingat kata-katanya sendiri jika Rangga tidak boleh mengetahui tempat tinggalnya. Tapi apa yang mau dikata lagi. semuanya sudah terlanjur. Dan semuanya bakal ditanggung resikonya.
Cuma yang senantiasa dikawatirkan oleh Cindy. Rangga akan meninggalkannya setelah tahu keadaan dirinya yang sebenarnya. Cindy sangat mengharap agar hal itu tidak akan terjadi pada diri Rangga. Cintanya terhadap lelaki itu sudah sangat besar dan tidak bertepi lagi. Mungkin Cindy rela mengorbankan apa saja asalkan lelaki itu tidak akan meninggalkannya.
Semoga saja Rangga seorang lelaki yang mau mengerti kelemahan diriku. Dan mau mengerti persoalan yang membelengguku, itu saja yang kuharap. Katanya tanpa suara badan Cindy lunglai jatuh capai. Rasa kantuk yang menekan kelopak matanya. Sekarang, yang dibutuhkan Cindy hanya guling dan bantal. Dia tak mau ambil pusing lagi kejadian esok hari dan harihari mendatang. Seandainya Rangga berbaring di sisinya, ah... barangkah capai ini tidak mungkin terasa seperti ini.
***
Keesokan harinya Cindy bangun tidur kelewat siang. Jarum jam dinding yang tergantung di tembok kamarnya sudah menunjukkan pukul dua belas. Tubuhnya yang semalam dirasa lunglai dan capai sudah hilang semua. Namun ketika dia hendak melangkah turun dari tempat tidur, pangkal pahanya dirasa nyeri dan linu. Terpaksa Cindy terhenyak di pinggir pembaringan untuk beberapa lama. Dengan setengah dipaksakan gadis itu berjalan ke kamar mandi.
Mbok Surti heran melihat perubahan tuan putrinya yang nampak terlihat pucat pada wajahnya. Langkah-langkahnya agak mengalami kesulitan.
Lantas mbok Surti tersenyum dikulum.
Setelah tubuh Cindy tersiram air. barulah dia merasa tubuhnya segar kembali. Semua kelesuan pada tubuhnya hilang seketika. Selesai mandi Cindy mengenakan pakaian T-shirt berwarna biru menyala dan celana blue jeans, berjalan ke meja makan. Dia makan tidak terlalu banyak, sebab dia tak ingin tubuhnya menjadi gemuk. Dengan langkah-langkah lunak Cindy menuju kearah garasi mobil. Derit-derit hak sepatunya yang tinggi terdengar jelas kala menginjak ubin teraso di teras rumah.
"Aku pergi mbok." Kata Cindy kepada pembantu rumahnya.
"Ya non." Sahut mbok Surti sambil mengangguk hormat.
Siang itu langit bergumpal-gumpal awan hitam yang menghalangi sinar matahari menyengat bumi. Musim hujan di bulan ini hampir tidak memberikan peluang bagi sang surya untuk memancarkan sinarnya yang rakus. Mobil Honda Civic berwarna biru kontras dengan pengemudinya yang mengenakan T-shirt biru pula, melaju di antara mobil-mobil yang berlalu-lalang di jalan raya.
Siang itu Cindy ingin membeli kosmetik di proyek Way Halim Permai. Akan tetapi diwaktu mobilnya melewati jalan Raden Intan, mata Cindy sempat terbentur sesosok tubuh yang dikenalnya berdiri dibawah halte bis. Tangan kanannya memegang map lusuh dan matanya selalu mengamati bis kota yang lewat di depannya. Cindy cepat-cepat menginjak rem, mobil pun-segera berhenti.
"Rangga!." Panggil Cindy sambil menggapai-gapaikan tangan.
Lelaki yang berdiri di bawah halte bis itu menatap penuh tanda tanya. Siapa gerangan yang memanggilnya itu? Padahal Rangga merasa selama ini dia tidak pernah mempunyai kenalan seorang gadis yang memiliki mobil, kalau toh ada kebanyakan mereka itu sombong-sombong. Dengan setengah ragu-ragu Rangga berjalan menghampiri mobil itu. Seorang gadis berkaca mata coklat duduk di belakang kemudi. Anggun dan cantik. Siapakah dia? itu saja yang selalu berkecamuk di benak Rangga saat mendekati mobil. Setelah dekat di pintu mobil barulah Rangga tahu bahwa gadis yang duduk di belakang stir itu adalah Cindy.
"Duuuh cantiknya. Duuuh anggunnya." Kata hati Rangga penuh kekaguman.
"Ayo naik, kuantar sampai ke tempat tujuan mu." Kata Cindy tersenyum ramah.
"Tapi..." Sahut Rangga terhenti sembari menatap map lusuh yang dibawanya.
Rangga merasa ragu-ragu.
"Jangan banyak alasan Ngga, naiklah." Desak Cindy sambil membuka pintu mobil untuk Rangga.
Lelaki itu terpaksa menurut perintah gadis itu. Mobil Honda Civic itu melaju lagi sesudah Rangga naik dan duduk di sisi Cindy.
Rangga melirik Cindy yang memegang stir. Baru kali ini Rangga melihat Cindy mengenakan kaca mata dan berdandan menyolok. Detik itu Rangga merasakan dirinya jauh sekali bila dibandingkan dengan Cindy. Ternyata di balik kesederhanaan gadis itu, kehidupannya begitu mewah. Maka Rangga selama dalam perjalanan lebih banyak diam dan tertunduk.
"Kau mau kemana, Ngga?" Tanya Cindy lunak.
"Ke penerbit Grand Land City." Sahut Rangga datar.
"Apa keperluanmu datang ke sana?" Tanya Cindy.
"Aku akan menjual naskahku" balas Rangga.
"Oh! jadi kau seorang pengarang?" Kata Cindy ceria.
Gadis itu menginjak rem karena lampu merah pada rambu lalu lintas menyala. Mobil-mobil lainnya turut berhenti di sisi kiri dan kanannya.
"Benarkah nama pengarang Rangga Antoro itu adalah kau?" Tanya Cindy.
Herman hanya mengangguk.
"Betapa hebat namamu itu, sehebat hasil karyamu. Sungguh lho aku kagum dengan hasil karyamu yang pernah kubaca." Lanjut Cindy merasa bangga. Ternyata lelaki yang selama ini mengisi kalbunya adalah pengarang terkenal. Pengarang yang sering dipuja-puja banyak penggemar.
"Aku akan tertawa bila mendengai pujianmu,
Cindy. Toh nasibku tak jauh berbeda dengan penjual loak di Pasar Bambu Kuning!."
Cindy menjalankan mobilnya ketika lampu hijau menyala, sesungging senyum menghiasi bibirnya yang dipoles lipstik merah menantang.
"Sebetulnya bicara soal nasib itu sangat menyenangkan Rangga. Siapa tahu di cakrawala telah menanti perobahan nasib baik. Janganlah kau meratapi nasibmu sekarang, tapi pandanglah jauh ke depan, di mana pintu kesuksesan menantimu dengan terbuka lebar-lebar." Kata Cindy bersemangat.
Rangga hanya tersenyum hambar.
"Kau pesimis dengan masa depanmu Rangga?" Ucap Cindy.
"Bukan aku merasa pesimis dengan masa depan yang gemilang. Aku takut bila tidak tercapai akan sakit." Tutur Rangga.
"Kau benar Rangga." Sahut Cindy.
"Begitu kan?" Balas Rangga lagi.
Cindy mengangguk sambil tersenyum manis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
YUSIKO
lanjut thor?!
2023-04-16
1