Cindy sadar sepenuhnya dengan apa yang di alami selama ini. Bayangan wajah Rangga yang selalu melintas di dalam benaknya, menjadikan sore pun menjadi sepi. Sebab Rangga tak pernah muncul lagi, sejak perjumpaan terakhir di halte bis tempo hari. Lelaki itu tak pernah nampak berdiri dibawahi halte bis, setiap pulang kuliah sore.
Juga sore ini kesepian yang dirasakan Cindy terlampau menyekam. Dia mengharapkan kehadiran lelaki itu kembali. Barangkali dia marah, barangkali dia membenciku, aaah Cindy berdiri dengan keluhan. Sehingga senja yang begitu indah terasa baginya amat mencekam dilanda kesepian. Tak tahulah akan makna apa sepi yang melilit relung hatinya itu.
Yang jelas Cindy senang pada lelaki seperti Rangga tampan, jantan dan figur seorang lelaki yang sejak dulu diimpi-impikan Cindy. Dua pulun tahun usianya telah lebih empat bulan, dari mulai dia mengerti apa fungsi lelaki bagi kehidupannya, Rangga lah yang sekaligus menggoncangkan kalbunya. Berarti cinta yang mulai memutik di hatinya tumbuh dengan wajar dan merupakan benih cinta yang pertama. Aaaaah... sepi itu sekarang mulai dirasakan menghimpit, bahkan lebih kuat karena Cindy ingin berjumpa dengan Rangga.
Lantas sepi macam apa ini? Aku mengharap dia hadir di depanku dan sama-sama saling bercumbu, tapi aku tak boleh menyatakan cinta terhadapnya. Bukankah itu lebih baik jika dirinya tidak menjadi korban kenyataan? Lebih baik kecewa awal dari pada di hari kemudian kekecewaan itu akan semakin parah dialami. Biar dia menganggapku tidak mau berterus terang dan polos. Sekalipun dia mengatakan aku menipunya dengan permainan yang kujalani, aku akan menerima dengan ikhlas. Aku tidak akan membencinya. Dia seorang lelaki yang merupakan cahaya dalam kegelapan hidupku, merupakan embun yang membungakan kuncup hatiku untuk mengenal arti cinta yang sebenarnya.
Terus terang aku sangat membutuhkan dia, membutuhkan kenikmatan bercinta yang secara wajar dan bukan paksaan. Tercetusnya hati nurani ku buat mencintainya karena ada sesuatu yang ku inginkan dalam dirinya. Seandainya aku harus berterus terang kepadamu, aku takut menganggapmu remeh. Kau akan menilai dirimu lebih tak berdaya. Padahal kalau kau tahu perasaanku, padahal kalau kau tahu problemku, sungguh...! sungguh kau akan menaruh belas kasihan yang amat besar. Kekecewaan yang mungkin selama ini menekan perasaanmu akan sirna. Lalu bagaimana ini...? Apa yang musti aku lakukan? Demikianlah keresahan yang senantiasa berdentum-dentum dalam dada Cindy.
Baginya Rangga sungguh berarti.
Dan keesokan harinya Cindy mendatangi universitas. Dimana Rangga menempuh bangku kuliah di situ. Cindy tak tahan akan gelora rindu yang menggelora di hatinya. Dia sendiri bingung saat berdiri di depan induk universitas, apa sih sebenarnya kemauannya menemui lelaki itu? Rindunya, apakah lantaran cinta yang menggebu-gebu? Aaah!... Tidak! Lantas apa? Gadis itu belum mendapatkan jawaban yang tetap pada dirinya sendiri. Apakah berarti Cindy telah kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri? Yah... Sejak problem itu menekan jiwanya, Cindy seperti kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri. Dia merasa telah terombang-ambing oleh nasib yang tak berketentuan.
Kemudian Cindy memberanikan diri untuk bertanya kepada seorang pemuda yang baru saja keluar dari fakultas sastra. Ternyata pemuda yang ditanya oleh Cindy itu tak lain adalah Ucok.
"Kenalkah anda dengan Rangga?." Tanya Cindy.
"Ya, saya teman baiknya." Sahut Ucok setengah menyelidik.
"Merasa keberatankah anda bila saya minta
kesediaan anda untuk menyampaikan, bahwa ada teman yang mencarinya?" Ucap Cindy dengan kata-kata sopan.
"Oooo, tidak. Tunggu sebentar saya akan memanggilnya" jawab Ucok tegas.
Ucok bergegas menuju ke perpustakaan untuk menemui Rangga. Biasanya lelaki itu paling senang menghabiskan waktunya dengan membaca buku di perpustakaan. Ternyata dugaan Ucok tidak meleset, lelaki yang tengah dicarinya itu sedang membaca buku. Ucok langsung mencabut buku yang sedang dibaca oleh Rangga.
"Berhenti dulu membacanya!," bentak Ucok mengagetkan Rangga.
"Kau tidak mempunyai etiket kesopanan sebagai mahasiswa Cok!." Hardik Rangga sambil melototkan mata.
Dia benar-benar marah diperlakukan dengan cara
demikian. Rangga bergegas bangkit dan siap memukul muka Ucok. Tetapi Ucok tersenyum tenang.
"Jadi orang tidak boleh cepat marah." Kata Ucok bergurau.
"Kau keterlaluan!." Balas Rangga.
"Sabar bro." Ucok berkata lunak.
"Nggak usah pakai bro-broan. Apa perlu mu sekarang!." Balas Rangga kesal.
"Duh galaknya persis kerbau lagi bunting." Ledek Ucok.
"Apa kau katakan aku kerbau lagi bunting?, bisa ku tonjok mulutmu yang monyong itu!." Balas Rangga sengit.
"Duuuh! begitu aja marah, abang kalau marah
cakep deh." Ucap Ucok menirukan logat banci yang gemulai. Tangan Ucok mencowel kemayu ke dada Rangga. Lelaki yang sedang marah itu jadi tertawa.
"Sialan!" Gerutu Rangga memaki.
"Ada orang mencarimu, Rangga. Dia menunggu di depan pintu gerbang." Kata Ucok.
"Siapa?" Tanya Rangga penasaran.
"Lihat sendiri." Balas Ucok singkat.
"Cewe' apa cowo'?" Tanya Rangga lagi.
"Banci yang gemulai." Sahut Ucok sambil tertawa.
"Kamu jangan ngaco Cok, aku serius nih," tandas Rangga.
"Ternyata kalau benar yang dulu pernah kau bicarakan kepadaku mengenai seorang gadis yang cantiknya selangit, dialah yang kini mencarimu!" Jelas Ucok mengingatkan.
"Kau tidak ngibul?. baik aku akan segera menemuinya." Jawab Rangga.
Rangga bergegas hendak pergi, namun Ucok menahannya.
"Eiiiit!...tunggu dulu. Ternyata matamu memang hebat dalam menilai seorang gadis. Dia begitu cantik dan anggun." Kata Ucok jujur.
"Taik kucing!" Sergah Rangga sambil melangkah pergi.
"Kalau dia tak kau butuhkan lagi, serahkan saja kepadaku. Aku benar-benar telah jatuh hati padanya!." Teriak Ucok sebelum Rangga jauh meninggalkannya.
"Biar di sambar geledek kalau kau mencintainya!." Balas Rangga memaki. Sementara Ucok tertawa berderai dan hati Rangga mendongkol.
Langkah Rangga semakin dipercepat agar cepat sampai ke pintu gerbang. Ketika dia telah keluar dari induk universitas, matanya menangkap tubuh seorang gadis berdiri anggun di bawah terik sinar matahari yang memanggang. Rambutnya yang hitam legam sebatas bahu disapu angin hingga lepas terurai. Alangkah cantiknya gadis pujaannya itu.
Apakah Rangga sangat mencintai gadis itu?
Setelah langkah Rangga mendekati gadis yang sejak tadi berdiri menunggu, hatinya menjadi gusar.
"Rangga...!" tegur Cindy lunak.
"Ya?" Sahut Rangga tergagap.
Mata mereka saling bentrok agak lama dan di hati masing-masing berdesir perasaan nikmat.
"Kita sudah lama tidak saling jumpa Rangga." Kata Cindy parau.
Rangga hanya mengangguk sambil mengulum bibirnya yang kering. Cindy tak bisa berbuat banyak di depan Rangga. Kalau sejak dari rumah tadi dia ingin berkata banyak dan mungkin langsung memeluk lelaki itu, namun di sini dia hanya bisa berdiri canggung tanpa bisa mencetuskan apa-apa yang di bawa dari rumah dengan kerinduan. Di bawah teriknya sinar matahari mereka sama-sama berdiri mematung. Baru setelah Ucok menegur mereka, kesadaran akan kecanggungannya punah seketika.
"Di zaman modern ini kok masih ada orang pacaran mirip Maling Kundang ya?" Sindir Ucok bergurau.
"Hece!, Banci yang gemulai ku tonjok mulutmu baru kapok ya?!." Balas Rangga menghardik.
Ucok tertawa terbahak-bahak sembari melarikan motornya kencang-kencang. Suara knalpot motor itu cukup membisingkan telinga Rangga dan Cindy.
Keduanya lantas saling bertatapan mesra sekali.
"Adakah waktumu untuk menemaniku berjalan-jalan Rangga?"
"Aku selalu bersedia meluangkan waktuku untuk menemanimu ke mana saja." Ucap Rangga datar.
Wajah Cindy berseri-seri. Kedua insan itu melangkah pergi meninggalkan pintu gerbang. Matahari yang bersinar terik membuat kening Cindy dibasahi keringat. Sebetulnya Rangga ingin rasanya menghusap keringat di kening gadis itu. Tapi ada rasa kecanggungan untuk melakukannya, karena dia takut ditolaknya.
Setelah agak jauh dari induk universitas, Cindy menyetop taxi. Dia menurut saja ketika tangannya ditarik oleh Cindy masuk ke dalam mobil. Di jok belakang mereka duduk bersisian. Mobil membewa mereka ke sebuah pantai, dimana mereka pernah berduaan di tempat itu. Selesai membayar ongkos taxi, mereka menelusuri pinggiran pantai.
Tapi kali ini Rangga tidak berbuat seperti yang lalu, sambil berjalan dia memeluk tubuh Cindy yang padat berisi. Melainkan berjejer dengan jarak sekitar dua puluh senti. Hanya kadang kala kulit mereka sering bersentuhan. Dan setiap kali kulit mereka bersentuhan di hati masing-masing berdesir perasaan nikmat dan bahagia.
Cindy mengajak Rangga duduk jauh dari keramaian. Tepatnya di bawah pohon mahoni yang berdaun rindang mereka duduk sambil berteduh.
Angin pantai yang bertiup dengan sedikit campuran uap garam menjadikan kulit jadi mudah berminyak.
Ombak di laut yang tak pernah berhenti menjilati
pasir-pasir sungguh menyenangkan setiap mata
yang melihat. Termasuk kedua remaja yang tengah duduk di bawah pohon mahoni ini.
"Kau tidak membenciku bukan, Rangga?" Tanya Cindy lembut.
"Aku tak pernah membenci kepada siapa pun, termasuk engkau." Balas Rangga.
"Terima kasih Rangga." Ucap Cindy kembali.
"Cindy..." Panggil Rangga lunak.
Gadis itu menoleh ke wajah Rangga yang tampan.
"Aku tak habis mengerti tentang kemauan mu. Katakanlah dengan terus terang apa alasanmu menyembunyikan segala kemunafikanmu. Kau tidak akan mengibaratkan diriku sebagai boneka permainanmu bukan? Karena aku menghendaki suatu permainan yang berakhir dengan baik. Kalau toh ini hanya merupakan kisah, janganlah sampai terpotong sebelum cerita itu berakhir dengan sempurna. Aku tahu, baik di dunia pentas atau pun di arena kehidupan nyata hanya ada dua
kemungkinan. Hidup atau mati, berhasil atau gagal. Sekarang kuminta kesediaanmu untuk mengungkapkan apa yang telah terjadi atas dirimu. Aku telah siap untuk menerima manis atau pahitnya kenyataan."
Kedua mata gadis itu menjadi hangat, butirbutir air mata bening mengambang di kelopaknya.
Lalu menetes pelan jatuh ke pipinya.
"Aku masih ingin bertemu denganmu, bisa selalu bersamamu, maka aku merasa berat untuk mengatakan semua problem yang kualami. Aku takut kau pergi dariku Rangga." Kata Cindy tersendat-sendat.
"Kau terlalu egois Cindy. Kau hanya memikirkan tentang kepuasan diri sendiri tanpa mau berpaling pada perasaanku yang seperti terombang-ambing dalam ketidakpastian. Apakah kau hanya akan mencencang batinku, sementara tubuhku kau anggap boneka permainanmu? Ooooooh... alangkah kejamnya." Desah Rangga.
Cindy menjatuhkan kepalanya di dada Rangga dan menangis tersedu-sedu. Rangga tidak membiarkan gadis itu menangis dalam pelukannya.
Rambutnya yang hitam legam terurai itu dibelainya lembut penuh kasih sayang. Meski hati Rangga keras bagaikan baja, dia merasa terharu mendengar tangis Cindy yang dirasa memilukan. Akankah Cindy mengatakan kenyataan yang sebenarnya?, tapi dia takut kehilangan lelaki ini. Dia terkatup tak berkata hanya isak tangisnya yang memecah-keheningan di situ.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments