"Kau tidak marah dan membenciku bukan Cindy?" Tanya Rangga parau. Cindy berusaha untuk tersenyum dan makna dari senyumnya itu penuh dengan kepolosan. Lantas dia menggelengkan kepala pelan.
"Terima kasih atas kemurahan hatimu." Lanjut Rangga ceria.
"Kau mau ke mana Rangga?" Tanya Cindy.
"Aku tak mempunyai acara. Kau?" Cindy menggelengkan kepala pelan.
"Kalau begitu kita jalan-jalan ya?" Cindy bungkam, tapi wajahnya tetap teduh dan tak ada tanda-tanda menolak ajakan Rangga.
Meski demikian Rangga masih belum mantap. Jangan-jangan dia di kira memaksa dan gadis itu menangis lagi. Dia merasa amat terharu bila melihat Cindy menangis, walau wajahnya bertambah sendu dan cantik. Betapa pun dia senang bila melihat Cindy menangis.
"Kau mau kan?," desak Rangga dalam keluh.
"Masih hujan." Gumam Cindy.
"Tapi kau mau kan?" Tanya Rangga kembali.
Gadis itu mengangguk pelan. Jantung Rangga bagai mau meledak ketika Cindy bersedia
menuruti ajakannya. Keresahan yang bercokol di dadanya buyar seketika dan berubah menjadi berbunga. Girangnya bukan alang kepalang, karena selama ini Rangga merindukan ingin pergi berduaan dengan gadis itu. Ingin mencurahkan segenap perasaannya yang selama ini bergelora dalam kalbunya. Rangga jadi tersenyum, lagi-lagi tersenyum persis apa yang dikatakan Cindy, bahwa lelaki ini senewen.
Rangga mengharap hujan yang turun dari langit akan segera terhenti. Harap-harap cemas di dada lelaki itu membuat dirinya tak sabar lagi untuk menunggu hujan itu reda. Terlihat sekali jika lelaki itu sering berdecap sambil mengeluh, kenapa hujan ini benar-benar tak tahu diri.
Setelah menunggu sekian lama hujan pun telah reda. Orang-orang yang sejak tadi ikut berteduh di bawah atap peron sudah mulai mondar-mandir mencari bis kota jurusan yang tengah dinantikan.
Kedua insan yang dilanda cinta itu turut meninggalkan peron dan melangkah keluar dari termiral Raja Basah. Rangga memberanikan diri untuk menggandeng tangan mulus Cindy. Gadis itu tidak menempiskan tangan Rangga kala memegang jari-jarinya. Bahkan ketika tangan Rangga meremas jari-jari Anita, gadis itu hanya mengeluh manja. Rambut Cindy yang hitam legam sebatas bahu terurai disapu angin saat berjalan di sisi Rangga.
"Akan kau bawa aku kemana Rangga?" Tanya Cindy sambil berlari-lari kecil. Mereka menghindar bis kota yang akan memasuki terminal.
"Kita ke pantai saja yuk?" Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. Lantas Rangga menyetop taxi dan kedua insan bercinta itu bergegas naik ke dalamnya. Taxi itu membawa mereka menuju pantai. Di pesisir pantai yang berpasir halus, langkah-langkah mereka membekas di situ. Udara pantai yang habis turun hujan dirasa lebih nyaman bagi kulit kedua insan itu.
Tangan Rangga memeluk pundak Cindy sembari sebentar-sebentar menatap wajah gadis yang di dalam pelukannya itu. Ketika tatapan mereka terpaut menjadi satu, senyum di antara kedua insan itu saling menghiasi bibirnya masing-masing.
Burung-burung camar yaug beterbangan di langit turut pula menyaksikan kemesraan kedua insan yang dilanda bara cinta itu. Mereka duduk di bawah pohon sambil menyaksikan ombak yang berderai menjilati pasir-pasir di sepanjang pinggiran laut. Angin yang berhembus semilir menerpa rambut Cindy hingga terurai. Rangga menepikan rambut Cindy yang sebagian menutupi wajahnya. Dengan hati-hati sekali Rangga mengelus-elus kening Cindy, bagaikan menyimak anak-anak rambut yang tumbuh di sekitar kening gadis itu.
"Aku sungguh telah jatuh cinta padamu, Cindy." Kata Rangga lembut.
Cindy terhenyak dan berusaha mengalihkan pandangan ke laut yang terbentang luas membiru. Rangga yang masih menunggu jawaban gadis itu terkesima menikmati cantiknya wajah Cindy.
"Kenapa kau diam saja Cindy?" Tanya Rangga.
Gadis itu menggeleng, tapi memaksa untuk tersenyum. Rangga jadi termangu heran.
"Kau menolak cintaku. Cindy?" Desak Rangga.
Gadis itu menggeleng lagi dan membuat Tangga tidak habis mengerti.
"Lantas kau anggap apa aku ini?" Tanya Rangga.
"Aku sendiri tidak tahu apa yang telah kulakukan ini. Sudah terlalu jauh kutempuh jalan hidupku tanpa pengertian yang sebenarnya." Sahut Cindy tanpa ujung pangkal yang diketahui Rangga.
Jelas saja lelaki itu jadi semakin bodoh di permain kan oleh kata-kata Cindy.
"Kenapa musti begitu? dan apa yang telah terjadi atas dirimu." Tanya Rangga.
"Sulit untuk kujelaskan kepadamu, Rangga.
Yang jelas aku merasa bahagia bila berada di dekatmu. Merasa terlindung dalam pelukanmu. Perasaan yang selama ini menghimpitku dalam kesepian, kesunyian menuntut banyak untuk mencari kebahagiaan." Tutur Cindy.
"Kalau kau mau membalas cintaku, percayalah kebahagiaan yang selama ini kau cari ada pada diriku. Aku ingin membahagiakan dirimu, Cindy. Karena aku mencintaimu dengan tulus dan suci." Kata Rangga sambil menggenggam tangan
Cindy dengan hangat dan mesra.
Gadis itu diam, namun sepasang matanya yang bulat indah menatap wajah Rangga dengan penuh kemesraan. Bagi Cindy kata-kata lebih dulu diucapkan, karena banyak persoalan yang tak ingin diceritakan kepada Rangga.
"Ijinkanlah aku menciummu, Cindy. Kau tidak keberatan bukan?" Pinta Rangga.
Cindy memejamkan kedua matanya dengan bibir yang terkuak siap untuk menerima kecupan hangat lelaki itu. Wajah Rangga semakin mendekat dan hembusan nafas lelaki itu terasa hangat di pipi Cindy. Bibir merah berwarna merah jambu itu telah di sergap oleh ******* hangat dan lembut bibir Rangga. Selama bibir merah kenyal itu di hisap Rangga, Cindy senantiasa memejamkan matanya. Meresapi kenikmatan yang di berikan bibir lelaki pujaannya. Kalau toh mata Cindy terbuka, Ini pun hanya sekejap saja.
Tangan Rangga yang mulai meraba-raba, meremas dan melilit tubuh Cindy, membuat mata Cindy jadi melek merem. Dia bagai terbang ke angkasa luas nan indah. Gadis itu mendesah, merintih dan berkali-kali mengeluh manja. Sampai akhirnya Cindy mendorong tubuh Rangga karena tak kuasa lagi untuk menahan serangan lelaki itu. Pori-pori tubuhnya telah menguapkan sari-sari birahi yang semakin memuncak.
"Kamu nakal amat sih?," ketus Cindy manja dengan nafas memburu.
Rangga tersenyum, tangannya membelai halus bulu-bulu yang tumbuh meremang di kening Cindy.
"Aku sungguh mencintaimu, Cindy. Kau mau membalasnya bukan?" Tanya Rangga meminta.
Cindy selalu diam bila saja Rangga mulai mengungkapkan isi hatinya. Dan dia selalu mengatupkan bibir tanpa jawaban yang senantiasa di harapkan oleh Rangga. Lelaki itu selalu menunggu jawaban yang pasti mengenai ungkapan perasaannya. Paling-paling yang dinanti tak lain seraut wajah sendu dalam kesayuan. Sehingga Rangga hanya dapat mengeluh dan menghela nafas berat, setiap kali gadis itu tidak memberikan kepastian. Mata Cindy menatap mata Rangga dengan sejuta keresahan.
"Kau tak percaya kepadaku. Cindy?" Tanya Rangga kembali.
Mata Cindy seperti bingung.
"Kenapa diam saja Anita?" Tanya Rangga lagi.
"Tak apa-apa." Jawab Cindy perlahan.
"Kau telah menyiksaku." Ucap Rangga dalam keluhan.
Mata gadis itu kembali berkaca-kaca, bibirnya digigit sambil menahan gejola perasaan yang sulit untuk diuraikan dengan kata-kata.
"Katakanlah, apa karena aku lelaki miskin yang tak punya apa-apa sehingga kau merasa keberatan untuk membalas cintaku? Katakanlah dengan jujur, Cindy. Akan kuakui segala kekurangan yang terdapat dalam diriku. Tapi jangan kau siksa aku dengan kebisuanmu." Desak Rangga setengah memaksa.
"Jangan bertanya banyak tentang perasaan ku, Rangga. Kau tak akan mampu mengatasinya. Kurasa kita cukup dengan saling berjumpa di setiap saat yang kita inginkan." Nafas Cindy sesak.
"Bagiku belum cukup Cindy. Sebab kepastian dari mu membuatku lebih berani menghadapi kehidupan yang bagaimanapun peliknya. Kalau kau mengatakan aku tidak mampu mengatasi persoalanmu karena aku mungkin belm tahu apa yang terjadi pada dirimu. Maka katakanlah dengan segenap kejujuranmu, aku akan berusaha mengatasi segala problem yang menyulitkan dirimu." Ucap Rangga.
Suara Rangga demikian murung, sehingga dada Cindy bertambah sesak untuk bernafas. Wajahnya demikian sendu, butir air mata jatuh perlahan di pipi nya tanpa terdengar isak tangisnya, justru hal seperti ini sangat menyiksa dan memberi tekanan perasaan Cindy.
"Rangga...!!!" Ucapnya terhenti. "Akan kubuka sekeping hatiku bagi kehadiranmu. Tapi jangan kau paksa aku buat mengatakan alasannya. Juga kau tidak boleh datang ke rumahku, kau mengerti?" Sambung Cindy sendu.
Lelaki itu diam murung seraya melayangkan pandangan ke laut biru yang membentang luas di depannya. Rambutnya yang gondrong teratur rapi melambai-lambai dihembus angin laut dan gadis itu membelalainya penuh kasih sayang. Belaiannya tak jauh berbeda bagai seorang ibu membelai rambut anaknya yang dalam kedukaan.
"Kau mengerti Rangga?," ulangnya lembut.
"Alangkah kejamnya kenyataan yang kualami." Keluh Rangga.
"Jangan menyesali dirimu sendiri Rangga. Karena di balik semuanya itu kau belum tahu kepahitan yang bersembunyi di belakangku. Aku tidak menghendaki dirimu ikut menelan empedu itu. Cukup dengan kita bisa bersama selalu untuk melepaskan kerinduan." Ucap Cindy sendu.
Rangga menatap wajah teduh Cindy yang dalam kesenduan. Air mata yang menitik dari kelopak matanya semakin deras membasahi pipi. Namun isak tangisnya tak terdengar. Tercekam perasaan Rangga menyaksikan linangan butiran air mata Cindy. Tapi dia ingin berbuat lebih banyak tak mampu. Bagi Rangga perasaan resah meronta-ronta dalam dada tanpa mau perduli.
Kalau saja dia seorang gadis, sudah pasti akan menangis. Meskipun demikian tangis yang disimpan dalam hatinya akan menjadi batu intan yang abadi.
"Aku akan menerima kenyataan ini dengan hati sabar Cindy. Selama matahari masih tetap bersinar memanggang bumi, itulah bentuk cintaku yang membakar jiwa ragaku tanpa mau perduli.
Mungkin saat ini aku belum mampu berbuat apa-apa, tapi suatu ketika kau harus dapat kurebut dari semua persoalan yang mungkin membelenggu dirimu. Sekarang aku tidak mempunyai daya Cindy.
"Aku mengerti dan mengakui kelemahan ku untuk bisa menang." Tandas suara Rangga penuh semangat. Sementara Cindy tertunduk sambil mempermainkan ujung jarinya. Dia mengakui kelebihan Rangga, dia dapat merasakan getaran cinta Rangga yang tulus dan suci. Mungkin saja baginya belum pernah menemukan seoran lelaki seperti Rangga. Yah... Rangga mempunyai kelebihan tentang cinta dan kasih sayang yang selama ini belum pernah didapatkan oleh Cindy. Tapi dia tidak ingin melihat diri lelaki itu turut hangus terbakar oleh persoalan pribadinya yang sulit untuk dipecahkan.
Senja mulai merayap di langit belahan timur, sedangkan matahari dengan sedikit malu-malu kembali ke peraduannya di batas cakrawala. Sinarnya yang merah keemasan sempat membias di permukaan laut. Camar yang beterbangan menambah indahnya panorama senja di pantai.
"Kita pulang Rangga." Ajak Cindy lembut.
Rangga menoleh ke wajah gadis yang duduk disampingnya. Dalam jilatan senja keemasan wajah Cindy yang dalam kesenduan nampak lebih anggun dan cantik. Gelora cinta Rangga masih tertahan di dadanya tanpa bisa tertuang dengan sempurna, lantaran gadis itu masih belum mau membalasnya. Maka dengan setengah mengeluh, lelaki itu bangkit. Tubuhnya lesu tanpa memiliki gairah lagi.
Cindy tahu betul perasaan yang bergelora di hati lelaki itu. Dia pasti kecewa. Untuk mengurangi rasa kecewa lelaki itu, Cindy memeluk tubuh Rangga dalam desah cinta yang terpendam.
Lelaki itu tanpa membuang kesempatan lagi mengulum bibir Cindy dengan lembut dan hangat. Tangannya yang melingkar di leher jenjang gadis itu mendekap erat, sehingga Cindy merasa begitu sulit untuk bernafas. Tapi meskipun demikian dia tetap saja pasrah. Tubuh gadis itu mengeliat manja tatkala tangan Rangga meremas benda lunak yang membusung di dada. Seperti pohon cemara yang menggeliat di sapu angin laut. Cukup lama ciuman itu berlangsung dan kala berakhir kedua pipi Cindy merah merona.
Kedua insan itu baru meninggalkan pantai ketika matahari tidak tampak lagi. Berjalan berhimpitan meninggalkan kenangan yang bergumul dengan keresahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments