****
Keesokan harinya, di pagi hari itu Alfiya baru saja keluar dari kamarnya. Wanita itu sudah siap berpakaian rapi hendak berangkat ke kampus. Namun sebelum itu, ia melenggang sebentar ke dapur untuk sarapan pagi. Sepertinya dia hanya akan mengambil sepotong roti dan mengambil sekotak susu dari dalam kemari pendingin. Sekotak susu tersebut kemudian ia tuangkan kedalam gelas setelah dihangatkan.
Tidak bisa dipungkiri kilasan tentang kejadian tadi malam sebenarnya terus terngiang dikepalanya saat ini. Ia masih saja terus-terusan merasa malu pada diri sendiri jika mengingat hal itu.
Huh, benar-benar memalukan. Bisa-bisanya dia melakukan hal itu dengan Elvan. Ia tahu Elvan melakukan itu dalam keadaan mabuk, tapi dirinya menerima perlakuan Elvan dalam keadaan yang sangat sadar.
Alfiya mengintip dari pintu dapur, sepertinya dia harus bergegas sebelum akhirnya Elvan juga keluar dari kamarnya dan menuju dapur hingga bisa saja nantinya mereka kemudian bertemu. Dia benar-benar tidak siap jika harus menghadapi lelaki itu.
Setelah selesai menghabiskan roti dengan cepat dan menghabiskan susu yang ia minum. Gadis itu berniat mencuci gelas yang ia pakai tadi ke wastafel.
"Alfiya...."
Deg! Seketika tubuh Alfiya mendadak kaku oleh suara lembut yang memanggilnya tersebut. Hampir saja gelas yang ia pegang mendadak jatuh.
Astaga! Bagaimana ini, Elvan ada disini. Alfiya menelan ludah kaku. Dia dapat merasakan kalau Elvan terus berjalan semakin mendekat.
"Fi, kamu sudah sarapan?"
"Sudah mas...." sahutnya sambil berjalan mundur kebelakang tanpa menatap Elvan.
"Mau kemana?" sorot matanya mengikuti langkah Alfiya. "Kok jalannya mundur gitu?"
"Aku nggak apa-apa." ujarnya masih menunduk. Sungguh ia tidak seberani itu untuk menatap Elvan saat ini. "Aku mau ke depan mas." ujarnya kemudian ia berbalik dan hendak pergi.
"Sebentar." Elvan tiba-tiba mencekal pergelangan tangan Alfiya.
"Mas, aku lagi buru-buru sekarang." Alfiya sedikit melirik Elvan. Apa laki-laki ini tidak sedikit pun mengingat kejadian tadi malam? Apa Elvan sedang pura-pura lupa? Alfiya menggigit bibirnya kuat-kuat, semoga Elvan benar-benar lupa dengan apa yang terjadi semalam. Kalau tidak tamatlah riwayatnya.
"Kamu mau temani mas sarapan?" Pinta Elvan sembari beranjak duduk dimeja makan. "Kamu bisa siapin roti buat mas juga nggak, soalnya mas lagi buru-buru."
Alfiya belum menjawab, ia masih mematung ditempat. Pikirannya terus sibuk dengan kesimpulan yang ia ambil sendiri tentang kejadian tadi malam.
"Fi...."
"Em...." Alfiya pun akhirnya lantas memutar tubuhnya dan menghadap Elvan.
"Iya, Aku akan siapin sarapan buat mas." ujarnya kemudian dengan gestur canggung.
Beberapa saat kemudian mereka telah duduk berduaan dimeja makan. Alfiya terus melirik kearah Elvan yang tengah serius menikmati roti buatannya. Sesekali ia menunduk pura-pura memainkan ponselnya.
Ini benar tidak sih, Elvan lupa atau pura-pura tidak ingat tentang kejadian semalam.
Sadar Alfiya diam-diam terus memperhatikannya Elvan lalu mendongak. "Kamu kenapa diam terus?" tanya Elvan yang langsung membuat Alfiya mengalihkan pandangan.
"Nggak apa-apa...." sahut Alfiya.
"Em, belum telat kan ngampusnya?"
"Belum." jawab Alfiya seadanya. Gadis itu lalu kembali fokus pada ponselnya.
"Alfiya...."
"Iya mas...."
"Nanti sore gimana kalau kita pergi belanja." Elvan kembali membuka obrolan.
"Belanja?"
"Iya." sahut Elvan sembari sebelum menyuap roti kemulutnya. "Soalnya Gian juga minta jalan-jalan ke mall."
"Tapi, nanti semua orang tahu kalau kita...."
Elvan paham maksud perkataan Alfiya. "Sebagai ipar Fi, mereka akan tahu kalau kita hanya sebatas ipar. Nggak lebih." ia kemudian melanjutkan makannya lagi.
Sebagai ipar?
Tapi mereka sudah berciuman tadi malam. Ya ampun, Alfiya tidak mengerti kenapa adegan itu terus terbayang dipikirannya. Alfiya memejamkan mata dalam sembari menunduk, otaknya benar-benar kotor saat ini.
"Mas, aku berangkat duluan ya." ujarnya tiba-tiba.
"Nggak mau bareng sama mas, kan mas pergi ke kantor sekalian lewat kampus kamu."
Alfiya langsung menyahut cepat. "Nggak usah mas, aku pergi sendiri aja."
Sekeluarnya dari kamar setelah mengambil tas miliknya, Alfiya lantas berjalan cepat, namun lagi-lagi dia dicegat oleh Elvan .
"Ayo bareng sama mas...." Elvan menarik tangan Alfiya cepat hingga gadis itu berjalan mengikutinya dari belakang.
"Mas...." Alfiya tidak bisa berkutik karena Elvan terus menarik tangannya.
Namun, sebelum mereka memasuki mobil. Elvan menghentikan langkahnya sejenak menghampiri sang anak yang sedang berada didalam gendongan bi Mina di depan teras rumah.
"Ayah pergi dulu ya." Ia mencium dan mengelus kepala Gian pelan.
"Ayah pelginya sama bunda?" tanya mulut mungil itu.
Elvan mengalihkan pandangannya kearah Alfiya. "Iya ayah pergi sama bunda."
"Fi...."
Alfiya yang sedari tadi memandang tangannya yang digenggam oleh Elvan lalu tersadar.
"Iya, kenapa?" Duh, dia melamun, baru dipegang tangan oleh Elvan saja sudah tidak fokus. Apalagi jika kejadian semalam terulang kembali. Ingat Joe Alfiya, ingat kamu punya pacar yang tampan dan akan segera menikahi kamu.
"Fi, mikir apa sih kamu?" Tanya Elvan lagi. "Gian dari tadi manggil nih."
Alfiya terkekeh, kemudian menoleh menatap Anggian yang merentangkan tangannya minta digendong.
"Bunda gendong sebental." ujar anak menggemaskan itu.
"Iya sini ont.... maksudnya bunda gendong." Meraih Anggian kecil dari bi Mina. Lalu mencium wajahnya berkali-kali.
Anggian mendorong sejenak tubuh Alfiya agar sedikit menjauh darinya. "Bunda hati-hati ya pelginya."
"Iya, bunda akan hati-hati. Kamu baik-baik ya dirumah." Alfiya seketika merasakan sesuatu merasuk didalam relung hatinya. Agaknya perempuan itu sudah terbiasa oleh panggilan tersebut. Naluri keibuannya seketika muncul saat itu juga.
Bunda? Sepertinya ia mulai suka dipanggil bunda.
"Atu taaaayang bunda." ujar Anggian sembari menggerakkan tangannya membentuk hati.
"Iya, bunda juga sayang Gian." Balas Alfiya.
Alfiya mungkin tidak sadar bahwa pemandangan yang ia berikan tersebut juga membuat sebuah perasaan aneh merasuk pada seseorang yang sedang menatapnya. Elvan langsung memalingkan wajahnya saat itu juga.
••••
Sedari mereka mulai memasuki mobil tadi Alfiya terus terdiam didalam mobil. Ia benar-benar masih merasa canggung bersama dengan Elvan. Dan, yang Alfiya herankan lelaki disampingnya ini terus saja merasa biasa saja seolah tidak ada sesuatu yang terjadi diantara mereka. Apa karena dilakukan saat mabuk sehinggal Elvan sedikit pun tidak bisa mengingatnya.
"Fi...." Elvan yang tengah menyetir menoleh.
Alfiya menoleh. "Iya mas kenapa?" tanyanya, namun seketika fokusnya teralihkan oleh pahat indah yang duduk disampingnya. Sejak kapan dia jadi mengagumi wajah itu. Benar, kejadian tadi malam telah merubah keseluruhan dirinya dan tingkah lakunya dihadapan sosok yang masih ia anggap sebagai kakak ipar itu.
Elvan menoleh dan tersenyum. "Nggak apa-apa mas cuma manggil aja. Habisnya melamun terus dari tadi."
"Kirain ada apa." ujar Alfiya.
"Emang kamu mengharap mas ngomong apa?" .
"Nggak, aku nggak ngarepin apa-apa kok." ia memalingkan wajah. Alfiya seketika pada dirinya sendiri. Ayo dong Alfiya, bisa-bisanya kamu baper sama Elvan.
Kemudian yang Alfiya sadari, Elvan sepertinya tersenyum entah oleh apa.
Ngapain sih senyum-senyum?
Bukan-bukan, ini Alfiya yang sebenarnya kenapa? Maksudnya kenapa setiap tingkah Elvan kepadanya mulai dibawa perasaan begini? Ia harap perasaan ini tidak menggila dan hanya sementara. Huh,
Beberapa saat kemudian mereka telah sampai diarea kampus yang terlihat sangat ramai. Mobil pun kemudian berhenti dan menepi.
"Mas aku turun ya...." ujar Alfiya sebelum membuka pintu mobil.
"Sebentar...." Elvan menahan sehingga membuat pergerakan Alfiya terhenti sejenak.
Lalu yang Alfiya lihat adalah, Elvaan mengeluarkan sesuatu sari dompet miliknya.
"Ini buat kamu." menyerahkan sebuah kartu debit kepada Alfiya.
Alfiya lantas terpaku sejenak. "Mas...." tatap Alfiya heran.
"Ambil." menyodorkan kartu tersebut. Biar bagaimana pun. Mas bertanggung jawab atas kamu sekarang."
Tanggung jawab?
"Tapi, kita kan cuma pura-pura." Alfiya sangat ingat bagaimana sebenarnya hubungan ia dan Alvian saat ini.
Elvan terdiam sejenak seolah terhenyak oleh ucapan itu. Tak lama raut wajahnya berubah kembali. Ia menghela nafas sejenak.
"Ambil, gunakan semau kamu."
"Tapi mas, aku nggak enak." kilah Alfiya lagi.
"Mas lebih nggak enak lagi kalau kamu menolak ini, ayo ambil. Jangan buat mas kecewa, Fi."
Alfiya masih mematung menatap kartu tersebut bergantian dengan menatap Elvan.
"Fi, Ayo. Hem...." Elvan terus menyodorkan kartu tersebut. "Mas tahu kamu butuh ini."
Kalau dipikir-pikir iya sih, keuangan Alfiya memang mulai menipis. Apalagi sekarang ia tidak bisa sembarangan minta uang kepada orang tuanya lagi.
Alfiya pun lantas mengambilnya. "Terima kasih mas."
Elvan kembali tersenyum. "Kamu seperti dengan orang lain saja. Nggak usah sungkan Fi."
Bukan sungkan, tapi lebih tepatnya dia tanpa sadar mulai memandang Elvan sebagai 'laki-laki' bukan seorang kakak.
"Kalau gitu aku turun ya mas."
Gadis itu perlahan membuka pintu dan turun dari mobil. Akhirnya seiring dengan mobil Elvan yang mulai melaju Alfiya bisa merasakan dadanya seketika itu berdesir.
*
*
*
Salam dari Alfiya dan Elvan ^ _^
Happy Reading bagi yang baca.
Like, vote, komen kalau kalian suka ya Ges!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
MakNyak
Aku baca novelnya sambil cengar cengir...🤭❤️
2022-06-21
0
Diana Susanti
cocok
2021-05-26
0
Desi Astria 0412
mulai terbawa suasana 😁😁
2021-05-21
0