****
Disebuah rumah dikawasan yang tidak terlalu ramai inilah, akhirnya Elvan mengajak Alfiya untuk tinggal ditempat baru mereka. Rumah ini sebenarnya Elvan persiapkan untuk kepindahannya bersama mendiang istrinya beberapa bulan yang lalu. Namun, apa daya, Anggita belum sempat menempati rumah ini karena telah lebih dulu meninggalkannya.
Selesai memasukkan barang-barang mereka kedalam rumah, mereka pun mulai membereskan rumah baru tersebut. Aroma khas cat tembok masih terasa jelas menusuk hidung.
"Mas, kamar aku dimana?" tanya Alfiya kepada Elvan yang tengah sibuk membuka jendela.
"Disini ada satu kamar utama dan tiga kamar lagi, silahkan kamu pilih sendiri kamu mau tidur dimana?" jawab Elvan seadanya.
Maka segeralah gadis itu pun bergegas mengelilingi rumah. Setelah puas melihat-lihat ruangan kamar Alfiya pun kembali menghampiri Elvan yang tengah duduk istirahat sebentar disofa yang telah ia bersihkan. Terlihat laki-laki itu tengah memperhatikan ponsel miliknya, memeriksa pekerjaan kantor dari alat canggih tersebut.
"Mas, aku pilih kamar yang didekat ruang tamu ya?" mendekat duduk dihadapan Elvan.
Elvan mendongak dari pandangan ponsel, menatap Alfiya yang duduk tepat disampingnya.
"Mas sakit?" Tanya Alfiya saat melihat raut wajah Elvan yang sedikit memucat.
Elvan menggeleng pelan. "Mas cuma kecapean...." ia lalu tersenyum tipis.
"Aku bisa bantu sesuatu?" tanya Alfiya lagi. "Atau mas butuh dipijitin?"
Elvan menoleh menatap kaku. "Pijitin?!" lirihnya pelan.
Alfiya mengangguk cepat.
"Ya udah kamu pijitin mas kalau gitu." sambar Elvan akhirnya sembari terkekeh kaku.
"A-aku yang pijitin?" Tanya Alfiya canggung.
Elvan kemudian menaikkan kedua alisnya. "Bukannya tadi kamu bilang mau pijitin mas?"
Nafas Alfiya pun rasanya tertahan sesaat oleh itu. Ia rasa Elvan telah salah mengira apa maksud ucapannya tadi. "Maksud aku, mas mau aku panggilin tukang pijat."
Elvan memiringkan kepalanya. Memandang Alfiya beberapa saat lalu tersenyum. "Mas kira kamu yang mau pijitin mas."
Sebelah sudut bibir Alfiya tertarik oleh itu. Mana mungkin ia akan memberi pijatan pada sosok dihadapnnya ini?!
Melihat ekspresi tersebut Elvan pun lantas langsung beranjak dari sofa tanpa ekspresi apa-apa, membuat Alfiya tertoleh heran mengikuti langkahnya. Laki-laki itu kemudian melangkah meraih Anggian yang sudah terlelap di gendongan bi Mina. Bi Mina ialah wanita yang akan menjadi pengasuh Anggian seterusnya.
Mengecup pelan kening sang anak Elvan kemudian berjalan menuju kamar.
"Eengh...."Anggian tiba-tiba melenguh. "Bunda...."
Elvan mengayun pelan Anggian yang mendadak terbangun. "Kenapa sayang.... ini ada ayah."
"Mau sama bunda...." lirih anak kecil itu pelan. "Ayah, atu mau sama bunda...." matanya mencari-carin disetiap sudut ruangan. "Bundaaaa...." teriaknya saat melihat Alfiya yang sedang menatapnya kaku disofa.
Jujur saja mendengar Anggian yang terus-terusan memanggilnya bunda membuat Alfiya terus merasa berasalah sekaligus bingung. Ia menunduk, Anggian sadar kan, kalau dia sebenarnya bukan sang bunda yang ia kira.
"Gian, kita tidur dikamar ya nak...." Bujuk Elvan saat anaknya terus merengek dan meronta ingin bersama Alfiya. Alfiya yang terus-terusan ia anggap bunda.
"Nggak mau ayah, atu mau sama bunda...." tangisnya tiba-tiba pecah dan menggema mengisi seluruh ruangan.
Melihat hal tersebut Alfiya yang tadinya bengong langsung beranjak untuk meraih Anggian yang berada didalam gendongan Elvan.
"Sini sama onty...." ujar Alfiya saat Anggian sudah beralih dalam gendongannya.
"Bukan onty, tapi bunda...." protes anak yang masih belum mengerti apa-apa itu. "Ini bundaaaa...." teriaknya kemudian menunjuk Alfiya.
Alfiya menghela nafas. "Gian sekarang onty tanya, siapa nama Bundanya Gian?"
"Bunda Gita...." jawab anak kecil itu spontan.
"Terus ini siapa?" tunjuk Alfiya pada dirinya sendiri.
"Bunda...."
"Bunda siapa? Siapa namanya?" Alfiya menunjuk dirinya sendiri.
Mulutnya yang masih sesekali berucap cadel itu lalu menjawab. "Bunda atu, bunda Gita...." ia menggertakkan giginya.
Deg! Jantung Alfiya berdegup kencang. Jadi Anggian benar-benar menganggap ia ibu kandungnya. Maksudnya, mereka sangat berbeda. Bagaimana bisa? Ini benar-benar tidak masuk akal. Anggita adalah pribadi yang kalem dan lembut, sementara dirinya berbanding terbalik 180° dengan Anggita. Mana bisa ia disamakan dengan mendiang sang kakak yang hampir sempurna itu.
Kalau mendengar banyak orang yang membandingkan dirinya dengan mendiang sang kakak, rasanya tidak mungkin ada kemiripan secara karakter diantara mereka.
Anggita yang lembut sedangkan Alfiya selengan. Anggita yang ramah sementara Alfiya yang ketus. Anggita yang pintar secara akademik sementara dirinya lebih menyukai segala hal tentang seni. Begitulah ia sering mendengar orang-orang membandingkan mereka, walau pada dasarnya mereka berdua ada kemiripan secara fisik.
"Bunda ayo tidul dikamal...." Anggian mengecup pipi Alfiya sekilas. "Ayah juga ya...." Anggian berbalik menatap sang ayah.
Namun sebelum Alfiya menjawab permintaan si kecil dan polos. Tiba-tiba ponselnya yang berada disaku berdering.
"Gian sama ayah dulu ya, onty mau angkat telepon, he em...."
"Ih, bunda.... bukan onty...." Anggian protes lagi.
Gadis itu kembali mendesah pelan. Dengan pasrah ia pun akhirnya mengalah, terserahlah Anggian mau memanggilnya apa. "Iya, on- maksudnya bunda angkat telepon dulu ya...." mengecup pipi Anggian gemas.
"Mas...." Menyerahkan Anggian pada Elvan.
Lantas setelahnya gadis itu segera mengangkat panggilan dari ponselnya. "Halo, sayang, Joe...."
Alfiyah menoleh kearah Elvan sejenak, namun sepertinya laki-laki itu tidak perduli dengan apa pun yang ia lakukan saat ini.
Merasa tidak enak percakapannya didengar oleh Elvan, gadis itu pun berlalu. Bi Mina yang melihat hal tersebut hanya bisa menunduk kaku. Sepertinya perempuan itu paham dengan apa yang terjadi.
"Mas Elvan...." lirih bi Mina melihat majikannya dengan iba. "Mas itu tadi...." menunjuk Alfiya yang berlalu keluar rumah.
Sebelum bi Mina melanjutkan ucapannya laki-laki yang tengah memeluk erat sang anak itu langsung menggeleng. Menandakan seolah tidak usah hirau dengan hal tersebut.
Bi Mina sepertinya makin iba, wanita paruh baya itu hanya bisa mengelus dada sesak. Untuk apa mereka menikah kalau seperti ini keadaannya. Jujur ia benar-benar kasihan dengan Elvan saat ini. Masa lalu laki-laki itu yang kelam, dan ia baru saja kehilangan istri dan sekarang terpaksa melakukan pernikahan yang seperti ini.
Tubuhnya pun lantas bergertar oleh itu. "Ya ampun nak Elvan, malang sekali nasibmu...." Bi Mina menggeleng pelan tidak habis pikir.
Hingga akhirnya beberapa saat kemudian, Alfiya yang baru saja selesai bercengkrama melalui ponsel dengan kekasih hatinya lantas masuk kedalam rumah dengan hati yang berbunga-bunga.
"Mas Elvan mana bi?" tanyanya saat melihat bik Mina yang tengan membersihkan meja dengan kemoceng.
Melihat dan mendengar suara Alfiya entah kenapa membuat hati bik Mina dongkol. "Mas Elvan ada dikamarnya mbak...." jawab bi Mina dengan senyum dipaksa. Dasar wanita tidak tahu diuntung, begitulah sorot matanya menatap Alfiya.
"Oke bi terimakasih...." dengan langkah riang gadis itu lantas masuk kedalam rumah seolah tidak perduli dengan tatapan tidak suka bi Mina.
Tok! tok! Alfiya mengetuk kamar utama yang tertutup. "Mas.... mas Elvan...."
"Iya...." sahutan dari dalam. "Masuk aja Fi...."
Cklek!
Pintu kamar pun terbuka. "Mas, lagi nidurin Anggian...."
Elvan mengangguk pelan, sembari mengelus punggung Anggian. "Dia udah ngantuk banget."
Perempuan itu lalu mendekat ke sisi ranjang, ia tersenyum memperhatikan Anggian yang mulai tertidur lelap. Setelah itu ia pun memberi kecupan dikening Anggian yang akhrinya telah tertidur pulas. Rupanya Anggian masih bisa tertidur tanpa dirinya.
"Mas, aku pergi sebentar ya...." sembari mengusap kepala Anggian dan menatap Elvan.
"Kemana?" sahut Elvan dengan nada datar, seolah ia tidak terlalu tertarik kemana Alfiya akan pergi.
Alfiya mengakat tangaannya dari kepala Anggian lalu mengusap tengkuknya kaku. "I-itu, mau kerumah temen, emhh... ngerjain tugas kelompok...." suara nya pun semakin mengecil dan tatapan mata yang beralih dari Elvan.
Elvan termangu sejenak oleh gerak-gerik itu. Ia kemudian lantas tersenyum mengerti.
Tugas kelompok? Elvan agaknya tidak yakin dengan alasan itu.
Oleh keheningan sejenak diantara mereka, Alfiya akhirnya memberanikan diri menatap Elvan. Tatapan mereka pun bertemu bersamaan dengan keheningan itu. "Mas, kayaknya aku harus pergi sekarang...." Alfiya melirik jam ditangannya. Ada seseorang yang sedang menunggunya saat ini.
Tak ingin berada didalam kamar tersebut terlalu lama, Alfiya pun lantas bergegas keluar. Pintu pun akhirnya ia tutup rapat dari luar. Deg! Kenapa ekspresi Elvan begitu aneh? Tadi dia tidak melakukan kesalahan bukan?
Alfiya menggeleng pelan, sepertinya ia hanya salah sangka saja.
*
*
*
*
Mas Elvan, Ges ^_^
Happy Reading
Jangan Lupa ya
>Like
>Vote
>Komen
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Ika Vika
fiya jdi perempuan kok gitu ya sikapnya. nnti cinta sama suaminya baru tau rasa dia😒
2021-12-27
0
Zaniar Niar
pantasan ibk nya alfita marah terus sm alfiya...suka tak nurut
2021-04-18
0
Maulina Kasih
kesel liat tingkah alfiya
2021-04-09
0