Halo! Jangan lupa, Like, Vote dan Komen ges....
****
Alfiya tidak begitu yakin dengan keadaan yang ia rasakan saat ini, kepalanya sangat pusing. Guci yang ibu lempar sekuat mungkin ke kepalanya telah membuatnya terluka begitu parah di kening. Ia juga merasakan kalau memar itu terasa berdenyut.
Pagi ini pun tubuhnya juga serasa sangat panas, padahal ia harus berangkat kuliah. Namun, dengan sekuat tenaga ia memaksakan diri untuk bangkit dari tidurnya.
Alfiya menghela nafas panjang, lukanya di keningnya semakin membengkak. Bayang-bayang akan kemarahan ibu terus terngiang. Menyebabkan tidak ada semangat dan gairah baginya. Entahlah Alfiya merasa hidupnya kini berubah. Jika dulu ia akan bangun pagi dengan ceria, namun kini ia merasa suram dengan terus dibayangi oleh rasa penyesalan. Penyesalan oleh kepergian sang kakak
Beberapa saat kemudian saat itu didapur, keluarga tengah makan bersama. Suasana tampak sangat hening, walaupun semua anggota keluarga sudah lengkap. Memang semenjak kepergian sang kakak suasana rumah berubah drastis. Melihat itu Alfiya mendekat kaku, sesekali ia memberanikan diri untuk menatap ibu Ernika.
Dan, saat ia mulai mendudukan dirinya dikursi tiba-tiba saja ibu beranjak dari duduknya.
"Pak!" Seru ibu menoleh kerah bapak yang menatapnya yang tiba-tiba berdiri. "Ibuk duluannya. Entah kenapa tiba-tiba jadi tidak selera makan."
"Buk...." Bapak memanggil namun ibu tetap berlalu dengan langkah cepat.
Melihat hal tersebut lagi-lagi Alfiya merasa terluka. Sebegitu benci ibu terhadap dirinya.
Sementara itu Elvan yang juga tengah berada disana hanya bungkam. Sejak kejadian memilukan pula itu Elvan semakin jarang berbicara, yang ia lakukan hanya pergi bekerja lalu pulang dan mengurung diri dikamar bersama Gian.
Bapak memandang Alfiya iba. "Fiya, kamu yang sabar ya. Mungkin ibuk kamu lagi butuh waktu." Jelas bapak menenangkan.
Alfiya mengangguk, namun ia tetap berusaha menahan bibirnya yang mulai gemetar. Rasanya sesakit ini jika diabaikan oleh orang tua.
****
Saat itu dikampus, Alfiya tengah duduk menunuggu Joe ditaman. Sesekali ia masih merenungi soal kejadian yang ia alami beberapa hari ini.
Sampai kapan ibuk akan bersikap seperti itu padanya. Apakah akan selamanya, Alfiya tidak sanggup jika ia harus melihat ibu bersikap begitu seumur hidup.
"Hai!" Suara yang begitu ia kenal itu tiba-tiba mengagetkan dan membuyarkan lamunannya.
Alfiya menarik nafas cepat karena saking kagetnya. "Joe? Ngagetin aja." protesnya pada sosok lelaki tampan itu.
Joe tersenyum. "Kenapa sih, melamun terus. Senyum dong sayang." mencapit dagu Alfiya lalu duduk disebelah pacarnya itu.
"Kening kamu, kenapa?" tanya Joe kaget.
Alfiya memegang keningnya yang ditutup plaster luka. "Oh, aku kemarin kebentur pintu, kuat banget." Alasan yang merupakan suatu kebohongan itu membuat Alfiya menunduk.
Joe lalu duduk, laki-laki itu kemudian mengusap dan meniup luka itu pelan. "Kasian banget sih pacar aku." Joe menatap wajah Alfiya dalam-dalam. Raut wajah sedih itu sangat terlihat walau berhasil disembunyikan, yang artinya dia dapat melihat kalau saat ini Alfiya sedang berpura-pura untuk menutupi luka.
Menghela nafas sejenak Joe kemudian merengkuh Alfiya dalam pelukannya. "Kalau ada masalah, kamu cerita sama aku Fi. Aku siap dengerin setiap curhatan kamu."
Alfiya membalas pelukan Joe tak kalah eratnya. Rasanya ia memang butuh pelukan itu saat ini. Setidaknya hal itu membuat perasaannya yang kacau menjadi lebih nyaman saat ini.
"Aku sayang kamu, Joe." Lirih Fiya pelan.
Joe tersenyum mendengar itu. "Aku juga sayang sama kamu Fi, sayang banget." balasnya sembari mengelus punggung dan rambut Alfiya pelan.
Beberapa saat kemudian Joeshua pun melepas pelukan itu untuk mempertemukan tatapan mereka.
Alfiya menatap Joe dengan haru, dia merasa sangat beruntung karena memiliki seorang kekasih yang sangat pengertian seperti Joe.
"Terimakasih ya, karena kamu selalu ada untuk aku." ujar Alfiya dengan tatapan sendu.
"Fi, kamu jangan nangis." Lirih Joe.
Alfiya segera mengerjapkan kedua matanya dan menggeleng. "Nggak kok, aku nggak nangis. Aku cuma terharu karena punya pacar pengertian kayak kamu."
Jie tersenyum penuh haru menanggapi itu. "Aku juga beruntung Fi, karena punya kamu."
Alfiya tersenyum lalu menunduk sembari meraih telapak tangan Joe dan menggenggamnya erat.
"Janji, kamu akan selalu ada buat aku, kapan pun disaat aku butuh kamu." gadia itu menatap penuh harap.
Joe lantas mengangkat telapak tangan Alfiya dan mencium punggung telapak tangan itu. "Aku akan selalu ada buat kamu Fi, kapan pun. Kapan pun kamu butuh aku, aku pasti akan selalu ada buat kamu."
"Terimakasih Joe." Alfiya memeluk Joe kembali kali ini dengan lebih erat. "Terimakasih." Entahlah dia hanya butuh sandaran sekarang. Beberapa hari ini dia merasa lelah. Jiwa dan hatinya lelah. Dia hanya ingin ada yang mendengar dan mengerti dirinya saat ini, dan Joe memberikan itu untuk dirinya.
Joe lagi-lagi mengusap puncak kepala Alfiya. "Kamu panas, Fi. Kamu sakit."
"Aku nggak apa-apa Joe." jawab Alfiya singkat, namun pada kenyataannya ia memang kurang enak badan saat ini.
Joe kembali melepas pelukan erat mereka. "Badan kamu panas, aku anterin pulang aja, ya."
Alfiya menggeleng cepat. "Nggak Joe, aku lagi nggak mau pulang kerumah. Bisa nggak sekarang aku ikut kamu. Kemana pun, aku mohon Joe."
"Tapi sayang...."
"Aku mohon, bawa aku pergi sekarang...." Pinta Alfiya dengan sangat memelas. "Aku benar-benar lagi nggak mau pulang kerumah."
Melihat Alfiya yang terus memelas Joe pun akhirnya mengangguk.
Begitulah akhirnya deru motor yang melaju kencang itu membawa Alfiya pergi. Ia butuh ketenangan sekarang. Ketenangan dan melepaskan beban berat dihatinya.
Sejujurnya Alfiya sangat takut pulang kerumah, ia takut akan tatapan ibu yang membenci dirinya. Ia takut oleh aura penuh penolakan itu. Hatinya tersayat, hatinya sangat sakit. Maka ditengah deru motor yang masih melaju kencang itu. Entah karena tiupan angin atau ia rasa yang ia tahan tadi terlepas, telaga bening itu pun kemudian jatuh begitu saja.
Untuk apa dia pulang kerumah kalau hanya akan menjadi anak yang dibenci oleh ibunya. Akhir-akhir ini tatapan ibu benar-benar membuatnya takut.
Ia tentu merasa bersalah, namun rasanya benar-benar tidak sanggup untuk menerima kenyataan kalau akhirnya ibu Ernika akhirnya menjadi sebenci itu pada Alfiya. Gadis itu hanya berharap semua ini cepat berlalu dan pergi.
Ibu adalah tempat ternyaman bagi anak-anaknya, namun jujur saat ini Alfiya tidak merasakan itu.
Maaf ibuk, mungkin ibuk butuh waktu menerima kepergian mbak Anggita. Semoga kasih sayang ibuk tidak hilang untukku, anakmu yang penuh rasa bersalah dan penyesalan.
*
*
*
*
Joe ganteng banget ya🤪
Kalau ada typo nanti aku perbaiki.
Hai! Happy Reading!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Bzaa
terlepas dr kesalahan alfiya.. aturan si ibu bs lebih bijak... nanti kehilangan kedua anaknya baru nyeselll..
2022-11-30
1
Elidawati
j
2021-10-30
0
Diana Susanti
iya joe ganteng banget,,, macho pisan 😁
2021-05-26
0