Malam itu mereka kedatangan tamu istimewa yaitu Tarisa, ibunya Evan yang datang berkunjung bersama David.
Aneka jenis makanan sudah terhidang di meja dan Tarisa tidak henti-hentinya memuji masakan Bu Rahma yang katanya rasanya seperti di restoran bintang lima.
Setelah selesai dengan menu makanan utama, Evan mengajak David dan Melva yang masih ngambek ke teras. Bu Rahma membawakan beberapa potong roti lapis yang belakangan sangat sering diminta Melva kepada ibunya.
"Mel, kok cara makan lo aneh gitu sih?" celetuk David.
Melva tetap saja membuka tumpukan roti lapisnya, memakan masing-masing bagian secara terpisah. Roti dulu, keju, lalu diikuti saryur, daging dan keju kedua.
Evan tertegun menyadari apa yang baru saja dilihatnya.
Sementara itu, di ruang tengah Bu Tarisa sedang bercengkerama dengan besannya, Bu Rahma. Keduanya terlihat akrab meskipun baru dua kali bertemu.
"Saya bersyukur Mel mendapatkan pria baik seperti Nak Evan. Saya tidak menyangka kalau Bu Tarisa akan setuju Nak Evan menikahi anak saya."
"Kok Bu Rahma ngomong gitu, sih.. Evan memang anak baik, Bu. Sejak kecil, ia tidak pernah sekalipun menentang keinginan saya. Mulai dari memilih sekolah, pekerjaan bahkan calon istri. Saya berniat menjodohkan Evan dengan gadis lain sebelumnya. Tapi gadis itu meninggal dengan cara mengenaskan dan saya sempat merasa khawatir dengan kondisi Evan. Tapi untung saja dia bertemu anak ibu dan kembali menjadi Evan yang saya kenal."
"Mungkin memang seperti itulah jalan jodoh mereka."
Tarisa meneguk tehnya, "Bu Rahma benar. Saya dengan suami saya dulu juga gitu hehe.."
Keduanya kembali akrab menceritakan kenangan masa lalu mereka masing-masing.
"Saya sempat sedih melihat Evan gagal masuk Badan Intelejen Nasional waktu itu. Saya sangat ingin dia menjadi agen yang mengabdi kepada negara. Tapi sepertinya takdir berkata lain dan ingin dia menjadi seorang programer yang hebat. Dia berhasil masuk ke perusahaan impiannya, MicroChip ketika berusia dua puluh tahun. Itu adalah pertama kalinya saya merasa bangga melihat dia bekerja di sebuah perusahaan bergengsi seperti MicroChip. Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya Evan jika harus kehilangan pekerjaannya itu." Bu Tarisa terlihat sangat sedih. "Oh ya, saya dengar ayahnya Mel juga pernah bekerja disana dulu. Apa benar?"
"Ah iya, tapi itu sudah lama sekali."
"Apa Bu Rahma tidak pernah lagi mendengar kabar atau bertemu dengan beliau?"
Bu Rahma menggeleng. "Suami saya pergi begitu saja meninggalkan saya dan Melva. kami tidak pernah tahu lagi tentang beliau setelah itu."
"Saya turut prihatin, Bu. Saya tahu bagaimana beratnya membesarkan anak seorang diri. Papanya Evan juga meninggal beberapa tahun lalu karena sakit. Sejak saat itu, Evan jadi pemurung hanya David satu-satunya temannya. Ia mengalami banyak kesulitan tanpa papanya. tapi untung saja saya bisa menjaga dan mengarahkannya kembali ke jalan yang seharusnya."
Bu Rahma menepuk punggung Bu Tarisah lembut, karena air mata mulai terlihat menggenang di pelupuk mata wanita itu.
"Nak Evan anak hebat. Meskipun masih sangat muda tapi dia sangat pemberani dan bertanggung jawab. Bu Tarisa pasti sangat bangga dengan Nak Evan."
Bu Rahma paham betul bagaimana perasaan besannya itu. Mereka sama-sama berjuang keras membesarkan anak sebagai ibu tunggal. Dan tidak ada hal lain yang lebih menyakitkan bagi seorang ibu melihat terpuruk oleh hal yang tak bisa mereka perbaiki sebagai orang tua.
"Bagaimana dengan ayah Mel, Bu?"
"Beliau pergi sekitar sepuluh tahun yang lalu. Kami tidak tahu dimana keberadaannya. Tapi dua tahun kemudian kami mendengar kabar bahwa beliau sudah meninggal karena kecelakaan."
"Sembilan tahun lalu? Dimana?"
Bu Rahma mengangguk. "Kami tidak tahu dimana pastinya."
"Jadi Bu Rahma juga tidak tahu dimana ayahnya Mel dimakamkan?"
Bu Rahma menggeleng dengan wajah penuh kesedihan.
*****
(12 Februari 2016)
Malam itu Evan datang terlambat ke rumah calon mertuanya gara-gara Melva. Ia bahkan terpaksa datang dengan tangan kosong gara-gara gadis itu memakan semua coklat yang hendak ia berikan kepada Jessy.
"Hai, Van! Masuk!" Tomi Abraham yang sudah lama menunggu kedatangan Evan langsung mengajaknya ke ruang makan.
Disana sudah ada seorang gadis cantik berambut lurus yang sedang makan roti lapis dengan keju dobel. Tapi ada yang aneh disana, ia memakan roti lapisnya secara terpisah, roti dulu, keju, sayur, daging lalu keju yang kedua.
Setelah kenyang, gadis itu hanya menatap Evan sesaat lalu pamit, "Jess ke kamar dulu ya Pa? Mau istirahat karena lusa ada lomba."
Setelah itu Evan tidak bisa lagi menemuinya karena ayahnya mengabarkan bahwa gadis itu telah meninggal karena overdosis. Tapi tatapan dan kebiasaan menggemaskan gadis itu selalu melekat di dalam benak Evan.
******
Seperti biasa, pagi itu Melva yang masih belum juga mau bicara dengan Evan, kembali berlatih renang. Ibunya tidak menyangka bahwa putrinya yang sangat takut dengan air kolam itu tiba-tiba saja berubah rajin berenang.
Bu Rahma kemudian memanggil Evan dan mengajaknya bicara di meja makan.
Bu Rahma menyodorkan akte kelahiran Melva kepada Evan.
"Apa ini, Bu?"
"Data diri Mel yang asli. Semua dokumen sekolah sejak ayah Mel pergi sudah saya palsukan. Karena saya tahu betul ada banyak orang seperti Nak Evan yang mencari Mel."
"Apa yang sebenarnya terjadi Bu?"
"Ayah Mel pergi sepuluh tahun lalu karena tidak ingin hidup Mel berakhir sepertinya. Sekitar dua tahun setelah beliau meninggalkan kami, saya mendengar bahwa beliau meninggal karena kecelakaan. Saya bahkan tidak tahu apakah itu murni kecelakaan ataukah ada yang sengaja menghilangkan nyawanya. Saya pikir semuanya sudah berakhir tapi nyatanya tidak. Karena itu saya membawa Mel berpindah-pindah rumah dan sekolah karena saya tidak ingin hal buruk menimpa Mel seperti ayahnya. Tapi apa yang terjadi? Mel juga menjadi korban tabrak lari."
Bu Rahma tidak kuasa lagi membendung air matanya. Isak tangisnya mulai terdengar menyayat hati dan membuat Evan tidak sanggup menanyakan banyak pertanyaan yang sudah disusunnya rapi di benaknya.
"Ibu mau kembali ke kamar?"
"Ngga. Nak Evan harus tahu siapa kami sebenarnya."
"Ngga perlu buru-buru, Bu. Saya bisa menunggu sampai Bu Rahma siap."
"Saya menyimpan file yang Nak Evan cari di tempat yang aman. Tapi hanya Mel yang bisa memecahkan kata kuncinya."
"Tapi bagaimana ibu tahu tentang file itu?"
"Kami sudah hampir sepuluh tahun menikah. Jadi saya tahu betul isi kepala suami saya."
"Lalu apa ibu tahu, kenapa Pak Tama malah memilih membawa pergi dokumen itu daripada mengembalikannya kepada MicroChip atau menyerahkannya kepada pemerintah? Bukankah itu akan lebih mudah daripada harus menjadi buronan MicroChip seperti ini?"
"Saya yakin ada hal besar yang ingin dilindunginya. Suami saya adalah orang yang sangat berdedikasi dan berintegritas. Meskipun kadang loyalitasnya kepada perusahaan justru disalahartikan dan dimanfaatkan. Suami saya sudah lebih dari lima belas tahun bekerja di MicroChip dan sudah memberikan kontribusi yang sangat besar kepada MicroChip. Tapi lihat! Apa yang mereka lakukan kepada kami?"
"Kita harus membuka dokumen itu untuk tahu alasannya. Tidak boleh ada orang lain yang menemukannya sebelum kita tahu isinya. Jika tidak, maka semua yang Pak Tama korbankan akan sia-sia."
Evan bergegas menemui Melva di kolam renang dan ia sangat terkejut karena lagi-lagi gadis itu mampu menahan nafas cukup lama di air. Tehnik tahan nafas yang sangat khas Jessy gunakan dalam setiap perlombaan yang dia ikuti. Meskipun gerakan Melva belum sebaik Jessy karena cedera tulang dan ototnya, tapi tehnik pernafasannya masih sama baiknya.
*******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments