Siang itu Evan mengajak Fania makan di kantin. Fania merasa di atas awan karena bisa berdua saja dengan Evan meskipun hanya di kantin sekolah.
"Fan, maaf yah, Bapak hanya bisa ajak kamu makan di kantin. Bapak ini cuma guru pengganti jadi ngga mampu ajak kamu jalan-jalan ke mall."
"Oh ngga masalah, Pak. Di kantin aja juga saya sudah seneng kok. Btw, apa Mel yang minta Bapak buat ngajak saya makan berdua?"
Evan mengangguk. "Katanya dia takut catoknya kamu minta lagi."
Fania tertawa. "Bego banget sih tu anak. Ya ngga mungkinlah gue minta balik barang bekas dia."
Tapi ia segera menghentikan tawanya ketika Evan melayangkan tatapan tajam kepadanya.
"Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud mengumpat."
"Oh, ya Fan. Apa kamu tahu soal Ayahnya Melva?"
"Lah Bapak kan deket sama dia, kenapa ngga langsung Bapak tanya aja sama yang bersangkutan?" tanya Fania sambil menyedot jus stoberinya. "Emangnya Bapak mau tahu apa soal bokapnya Mel?"
"Tentang keberadaan beliau, apa pekerjaannya dulu dan seterusnya. Bapak tidak enak menanyakan hal seperti itu kepada Mel."
"Bapak mau saya tanyakan itu sama Mel?"
Evan cepat-cepat menggeleng, "Ngga usah. Nanti biar Bapak tanya sendiri aja."
Evan memesan roti lapis isi sayur dan beef dengan ekstra keju kepada pelayan kantin.
"Maaf, Pak. Tapi saya ngga suka keju."
"Oh, maaf, Fan. Tapi Bapak mau nitip ini buat Melva. Dia pasti ngga sempat makan siang. Tolong kamu kasiin yah?"
"What?!"
****
Fania melempar kotak berisi roti lapis ke meja Melva.
"Apa ini, Fan?"
"Titipan roti lapis isi cinta dari Pak Evan buat lo!!"
Melva membuka kotaknya dan tiba-tiba saja perutnya terasa mual. Ia buru-buru lari ke toilet dan muntah-muntah.
Evan mendengar Melva muntah-muntah di dalam toilet dan ia merasa cemas. Sementara itu ia melihat Pak Jefri, guru BK sedang berjalan mendekat hendak ke toilet pria yang berdekatan dengan toilet wanita.
"Eh Pak Jefri. Akhirnya ketemu disini."
"Ada apa Pak Evan?"
"Ada yang mau saya omongin. Kita duduk di sana yuk!"
"Tapi Pak, saya mau ke toilet dulu."
"Sebentar saja, Pak. Penting banget!"
Pak Jefri terpaksa ikut karena Evan terus saja memaksanya.
Tak lama kemudian Melva keluar dari toilet dan kembali masuk ke kelasnya.
"Jadi apa yang mau Pak Evan bicarakan?"
"Ngga tahu kenapa, tapi beberapa hari ini Pak Jefri terlihat keren, gagah dan ganteng."
Pak Jefri sedikit menjauhkan duduknya dari Evan sambil bergidik. "Maaf Pak. Tapi saya sudah menikah dan suka wanita."
Pria itu buru-buru pergi ke toilet.
*******
Sejak hari itu, Melva jadi lebih sering merasa mual dan muntah. Ia jadi susah konsentrasi dan menyembunyikan rasa mualnya di hadapan teman-temannya.
"Bu, sepertinya kita harus segera pindah dari sini. Mel ngga bisa nyembunyiin kehamilan Mel lebih lama."
"Iya sayang. Malam ini orang yang akan membeli rumah kita akan datang kesini untuk melihat-lihat."
"Ibu mau menjual rumah ini? Ini kan peninggalan orang tuanya ibu? Masa harus dijual sih, Bu?"
"Iya, Mel. Ibu harus melunasi hutang rumah sakit kamu dulu sebelum pergi."
"Maafin Mel ya Bu?"
"Ngga papa sayang. Kita akan bekerja keras untuk memiliki rumah lagi. Tapi untuk sementara kita akan mengontrak seperti dulu lagi."
"Memangnya kita akan pindah kemana, Bu?"
"Bagaimana kalau ke Denpasar atau Semarang? Ibu punya kenalan yang bisa dipercaya di sana."
*******
Evan baru tiba di rumahnya dan ia terus saja terngiang-ngiang percakapan Melva dan ibunya tadi. Tak lama kemudian sebuah panggilan masuk ke ponselnya.
"Ya Vid."
"Dimana lo?"
"Kamar."
Dan tiba-tiba saja pintu kamar Evan terbuka lalu David masuk dengan membawa sekotak pizza dan minuman kaleng.
"Gimana Vid?"
"Beres. Semua rekaman sudah gue hapus."
"Thanks ya Vid."
"Van, soal file itu gimana?"
"Gue sudah periksa semua data manual siswa di sekolah. Tapi gue ngga nemuin anak Pak Tama. Apa mungkin informasi awalnya salah? Apa mungkin dia ngga sekolah di SMA Galaxy?"
"Ngga mungkinlah! Mr.Joe sudah memastikan petunjuk terakhirnya dan dia ngga mungkin salah." Tukas David dengan mulut penuh pizza.
"Oh ya, minggu depan gue bakal ajuin surat pengunduran diri dari Galaxy. Gue bakal nikah sama Melva dan tinggal di luar kota sementara waktu."
"Lo gila?! Lo belum nuntasin tugas lo dan tiba-tiba mau pindah gitu aja?! Van gue ngga bisa bantu lo lagi kali ini. Lo pasti bakal dipecat sama Mr.Joe. Lo kelewatan Van."
"Lo tenang aja! Lo tahu kan gue orang yang sangat bertanggung jawab dan berdedikasi tinggi. Gue ngelakuin ini demi misi kita."
"Maksud lo apa, Van?"
"Gue belum yakin tapi gue ngerasa bakal segera menemukan titik terang."
"Van, lo ngelakuin ini bukan hanya karena lo jatuh cinta sama tu cewek kan? Sadar Bro! Dia Melva, bukan Jessy, tunangan lo."
"Gue ngga tahu, Vid. Tapi gue ngerasa kalau Melva itu mirip sama Jessy."
"Mirip dari mananya? Gila lo Van. Bener-bener gila!" David menempelkan minuman kaleng dingin ke jidat Evan.
"Harusnya lo kasih gue selamat, Vid. Gue mau nikah."
"Terserah lo! Mulai sekarang gue ngga mau ikut campur urusan lo lagi. Dan inget jangan wa-wa gue lagi buat beresin kekacauan yang lo buat!"
"Gue bakal jadi suami dan bokap, Vid."
"Dan pengangguran paling merana di dunia."
********
Setelah David pergi, Evan kembali menemui mamanya yang sedang beristirahat di kamarnya.
"Ma! Boleh Evan masuk?"
Tarisa membuka pintu kamarnya dan membiarkan putra semata wayangnya itu masuk.
"Ma, Evan mau nikahin Melva bukan tanpa alasan."
"Kalau kamu nemuin mama cuma buat bilang kamu cinta sama dia, mending kamu keluar aja. Mama muak dengan alasan payah seperti itu."
"Ma, bisa ngga mama dengerin penjelasan Evan dulu sampai tuntas?"
Tarisa menghembuskan nafas kasar lalu duduk di kursi di dekat Evan.
"Jadi, Evan sudah berusaha menyelidiki tentang anaknya Pak Tama. Tapi data yang Evan temuin ngga ada yang sinkron. Evan yakin kalau semua fakta mengarah pada Melva. Tapi Evan harus pastiin semuanya dulu sebelum melaporkan semuanya pada Mr. Joe, Ma."
"Apa ngga ada cara untuk mencari tahu tanpa menikahi anak itu?"
"Ma, sejak kepergian suaminya, Bu Rahma jadi sangat waspada kepada semua orang yang dia temui. Ngga gampang buat Evan nanyain semuanya sama Bu Rahma gitu aja. Mama masih pengen Evan tetap kerja di MicroChip kan, Ma?"
Tarisa menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia tahu bahwa tindakan Evan terlalu berlebihan, tapi ia setuju dengan pendapat Evan. Cukup masuk akal untuk mendekati Melva demi mendapatkan apa yang mereka inginkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments