Pukulan Telak

"Mel takut, Bu."

"Ibu tahu, Mel. Nangis aja kalau itu bisa membuat kamu lebih baik. Tapi ibu mohon jangan sekali-kali berfikir untuk berbuat nekat. Ada ibu, Nak. Ibu akan merawat kamu dan bayi kamu dengan baik. Setelah melahirkan, kamu bisa kembali ke sekolah. Kamu ngga perlu khawatir soal anak kamu. Biar ibu yang urus ya, Nak?"

Jessy merasa sangat beruntung bertemu dengan ibu sebaik Bu Rahma. Wanita penyuka warna hitam itu tidak pernah sekalipun berteriak kepadanya saat marah. Dan ia selalu meluangkan waktu untuk menemaninya ngobrol dan bercanda meskipun sedang sibuk dan lelah membuat kue atau menyetrika pakaian. Tidak seperti ayahnya, yang selalu saja memiliki hal yang lebih penting daripada dirinya.

"Mel, apa boleh ibu tahu? Siapa ayah dari anak ini, Mel?"

Jessy menggeleng. Jessy benar-benar tidak tahu siapa pria yang telah menghamili Melva.

"Ya sudah. Tidak apa-apa, Nak. Bukan hal penting. Yang penting kamu dan anak kamu sehat. Anak ini pasti sangat kuat karena mampu melewati masa oprasi dan pengobatan bersama kamu, Mel."

Jessy mengalami depresi sehingga tidak bisa lagi tersenyum atau tenang dengan bujukan dan candaan ringan dari ibunya. Ia tidak tahu kenapa nasib malang selalu saja datang menghampirinya.

****

Pagi harinya Jessy memutuskan untuk pergi ke sekolah. Pertama karena belum ada seorangpun yang tahu tentang kehamilannya jadi semuanya aman. Kedua, ia merasa perlu tempat untuk menghindari ibunya. Rasa bersalahnya yang sangat besar kepada wanita itu membuatnya semakin tertekan. Ketiga, ia perlu bicara dengan Evan.

"Mel, tunggu!" Fania menghampirinya dan menagih janjinya.

"Lo lihat kan gue baru aja dateng. Kapan gue bisa ngomong sama Pak Evan? Orang ketemu aja belum."

"Awas kalo sampe ingkar!"

Jessy melihat teman-teman sekelasnya yang sepertinya sudah melupakannya begitu saja. Begitu juga dengan Diana, musuh bebuyutannya yang pagi itu terlihat sangat lengket dengan Christian yang dulu pernah mengejar-ngejarnya.

Tapi bukan itu yang harus ia cemaskan sekarang. Dan kebetulan sekali Evan juga baru tiba dengan motornya. Ia langsung menghampiri Evan dan mengajaknya bicara di tempat parkir.

"Pak, ada yang mau saya omongin. Ini soal -"

"Mel, gimana kalau bicaranya nanti aja? Saya ada kelas pagi dan sekarang semua mata sedang memperhatikan kita."

Jessy langsung menghentikan curhatannya dan meninggalkan Evan begitu saja tanpa sepatah katapun. Ia sangat kesal karena Evan lebih mempedulikan pendapat orang lain daripada dirinya. Entah kenapa akhir-akhir ini Jessy selalu merasa kesal jika dinomorduakan.

Jam kedua giliran kelas Jessy yang mengikuti pelajaran olahraga dan semua siswa sudah berkumpul di kolam renang, termasuk Jessy. Hari itu mereka akan berlatih tehnik pernafasan. Setelah melakukan pemanasan, Evan mengabsen dan mengaba-aba muridnya untuk mempraktikkan tehnik pernafasan di dalam air yang sudah diajarkannya.

Semua siswa mencoba bergantian menurut absennya. Rata-rata hanya bisa menahan dua puluh hingga lima puluh detik. Tapi Jessy yang nomer absennya sengaja dilewati oleh Evan langsung mengambil posisi lalu memasukkan kepalanya ke dalam air.

Dua puluh detik berlalu, empat puluh detik, enam puluh detik dan Jessy belum juga muncul ke permukaan. Evan langsung menarik lengan Jessy ketika hampir mencapai angka tujuh puluh detik.

******

Dua puluh detik berlalu, empat puluh detik, enam puluh detik dan Jessy belum juga muncul ke permukaan. Evan langsung menarik lengan Jessy ketika hampir mencapai angka tujuh puluh detik.

"Lo gila ya?!" Evan kelewat emosi sampai tidak sadar bahwa ia baru saja bicara kasar kepada muridnya itu.

Evan langsung membawa Melva naik. "Ganti baju kamu lalu kembali ke kelas."

Sebenarnya Evan ingin menyuruhnya ke UKS tapi ia khawatir bahwa kehamilannya akan terungkap bila petugas UKS memeriksanya.

Tapi Evan masih saja tidak percaya dengan apa yang dilakukan Melva tadi. Bagaimana mungkin gadis seperti Melva mampu menguasai tehnik penafasan dengan begitu baik? Apalagi dalam kondisi hamil seperti itu.

"Anak-anak, Bapak rasa cukup latihan kita hari ini. Sampai ketemu lagi minggu depan."

"Tapi Pak, jam olahraganya kan masih panjang."

"Kalian bisa isi dengan latihan favorit kalian seperti biasanya."

Fania menghadang langkah Evan, "Bapak kenapa sih? Selalu saja sibuk ngurusin Melva? Kalian pacaran?"

"Fania tolong jaga ucapan kamu!" Evan memperingatkan Fania dengan halus

"Bapak marah? Berarti dugaan saya benar?"

"Saya mengakhiri latihan karena ada urusan lain yang saya urus."

"Melva?" Fania tidak mau menyerah.

"Pak Evan. Orang dari dinas sudah menunggu!" Pak Dodik tiba-tiba datang untuk memanggil Evan.

"Baik, Pak Dodik. Tunggu sebentar." Evan meninggalkan Fania begitu saja.

"Sial! Gue ngomong apa sih barusan? Mampus gue!" rutuk Fania pada dirinya sendiri.

"Lo kenapa sih Fan? Kan si upik abu sudah bilang kalau mereka ngga ada hubungan apa-apa?" tanya Mei yang juga kaget melihat tingkah Fania.

"Tapi tadi lo lihat kan reaksinya Pak Evan? Dia itu panik banget waktu Melva masuk kolam."

"Iya wajarlah. Lo ngga inget kalau tu anak hampir dua kali mampus di kolam ini?"

*****

Sore harinya sepulang sekolah, Jessy mencari pakaian Melva yang masih akan muat untuk dipakainya saat perutnya membesar nanti. Ia membongkar-bongkar lemari Melva dan menemukan kotak sepatu.

Jessi membawanya ke tempat tidur dan membukanya. Ia menemukan sepasang sandal hak tinggi berwarna hitam. Sandal yang sama dengan yang dilihatnya di rumah James malam itu. Malam saat ia melihat James sedang bercinta di sofa dengan seorang wanita.

"Ngga mungkin!" Jessy menjatuhkan kotak dan sandal Melva. "Ini ngga mungkin! Ngga mungkiiiin!!!"

"Mel, ada apa?" Bu Rahma buru-buru datang ke kamar karena Melva berteriak.

Jessy hanya bisa menangis. Ia tidak bisa mengatakan apapun kepada ibunya. Rasa sakit kembali menjalari dadanya. Ia tidak menyangka bahwa Melvalah orang yang merebut James darinya. Dan sekarang ia harus mengandung benih perselingkuhan kekasih dan temannya itu.

Rasanya ia benar-benar ingin mati kali itu. Ia tidak sanggup lagi menghadapi kenyataan pahit yang terus saja menghampirinya bertubi-tubi. Jessy merasakan tubuhnya bergetar hebat. Meskipun Bu Rahma berusaha memeluk dan menenangkannya tapi tubuhnya terus gemetar. Ia mengalami kecemasan akut seperti yang dialaminya pada saat lomba hari itu.

"Mel, kamu kenapa, Nak?" Bu Rahma mengusap pucuk rambut Melva. "Mel, lihat ibu. Nak!"

Bu Rahma menangis sambil menggenggam dan menciumi tangan Melva. "Ngga ada yang perlu kamu takutkan, Nak. Ada ibu disini."

Tangis Bu Rahma menyadarkan Jessy dari traumanya. Ia mulai mengatur nafasnya dan Bu Rahma segera memberinya minum. Setelah Jessy stabil, Bu Rahma membantunya tidur di ranjang. Memijit tubuhnya perlahan penuh kasih sayang. Sambil mengajaknya bicara.

Bu Rahma dengan sabar dan penuh perhatian mendengarkan semua keluh kesah dan kekhawatiran Jessy. Beliau bahkan meninggalkan adonan kue yang tengah dimasaknya demi bisa menemani Jessy sampai bisa terlelap.

Tanpa Bu Rahma sadari bahwa Jessy tidak akan pernah sanggup menceritakan dengan jujur bahwa ia hancur karena ulah Melva, putrinya yang berbuat zina dengan James, kekasih Jessy.

*****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!