Malam itu Evan membawa Jessy kembali ke sekolah. Ia sudah mencuri kunci duplikat gerbang milik satpam jadi mereka bisa masuk dengan mudah dan leluasa. Jessy menunjukkan letak kamera cctv dan juga ruangan pengawasan.
Evan duduk di kursi tribun yang tidak jauh dari lokasi kamera cctv berada. Ia lalu membuka laptopnya dan mengetikkan beberapa tombol di keyboard. Layar mulai menampilkan kode-kode yang sama sekali tidak Jessy pahami. Ia terlihat mengunduh sesuatu. Dan setelah komplit ia kembali menarikan jari-jarinya di atas keyboard.
Jessy merasa tertegun melihat pria yang duduk di sampingnya itu. Ia tidak tahu bahwa guru olahraga yang membantunya mengeringkan baju dengan cara aneh ternyata sangat mahir memainkan kode-kode di dalam komputer.
Dan entah kenapa, guru olahraganya itu terlihat sangat keren dengan siluet yang dipancarkan dari layar laptop yang dipangkunya. Keseriusannya memecahkan kode-kode rumit demi membantu Melva dan Jessy membuat hari Jessy berkecamuk.
Jessy segera menggeleng-gelengkan kepalanya agar sadar dari imajinasi gilanya. Bagaimana mungkin ia bisa memikirkan pria yang baru saja dikenalnya padahal ia masih memiliki banyak misi penting. Semua misinya akan gagal jika ia kembali terlena dengan makhluk yang bernama pria. Jadi Jessy segera menepis semua isi kepalanya.
"Kamu kenapa, Mel?"
"Ngga papa, Pak. Sedikit pusing lihat layar laptop Bapak."
Evan hanya tersenyum dan itu membuat hati Jessy kembali berdebar. Ia bahkan lupa kenapa dulu malah mengacuhkannya hanya karena kesal dijodohkan dengan pria yang tidak dicintainya. Andai saja waktu itu Jessy tahu bahwa ternyata Evan sangat baik dan perhatian.
"Done!"
"Apa?" Jessy kaget karena Evan baru saja membuyarkan lamunannya.
Sekarang rekaman cctv sudah berpindah ke dalam laptop Evan dan ia mulai mencari rekaman di hari kejadian Melva tercebur ke kolam.
"Lihat! Itu Mei dan Fania."
"Mereka sengaja menuangkan minyak di dekat kaki kamu."
Evan memperbesar fokus tampilan layar. Tapi bukan pada kedua pelaku melainkan pada posisi saat tubuh Melva jatuh dan bekas lukanya membentur ujung dinding kolam.
"Apa kamu yakin baik-baik saja, Mel?"
"Memang sedikit - ah tidak- sangat sakit saat saya berada di dalam air. Saya bahkan tidak punya cukup tenaga untuk mendorong tubuh saya naik ke permukaan. Nyerinya luar biasa."
"Apa dokter tahu?"
Jessy mengangguk. "Trauma akibat benturan. Tapi dokter sudah memberi obat anti nyeri dan peradangan. Juga menambah jadwal fisioterapi. Jadi saya rasa semua akan baik-baik saja."
Evan terlihat ragu, tapi ia tidak ingin membebani pikiran Melva. "Great! Kamu punya daya tahan yang luar biasa. Saya yakin kamu bisa menjadi atlet hebat."
Jessy tahu Evan sedang berbohong. Tapi Jessy merasa sangat senang mendengar ada orang yang mengatakan hal seperti itu. Dan tanpa ia sadari air matanya mulai menetes tak terbendung.
"Mel, are you okay?! Cukup, Mel. Jangan sampai kejadian waktu itu terulang lagi. Saya ngga punya coklat untuk membungkam kamu."
Jessy menghentikan tangisnya lalu tertawa geli mendengar ancaman Evan. Sementara itu, Evan juga merasa lega karena Melva bisa kembali tertawa. Meskipun ia juga tahu bahwa gadis itu tengah berusaha menyembunyikan luka yang lebih dalam.
"Btw, setelah saya membawa kamu naik dari kolam waktu itu. Kamu malah nangis. Kenapa?"
"Karena aku harus dua kali jatuh ke kolam yang sama gara-gara ngga bisa renang." Jessy merebut earphone dari telinga Evan lalu memasangnya pada ponsel dan telinganya sendiri.
*****
Keesokan paginya, Evan yang baru saja tiba di sekolah melihat Melva sedang berdiri mematung di depan papan pengumuman di lobi sekolah. Ia membaca tes seleksi kelas akselerasi yang akan diadakan lusa sambil mendengarkan musik dari earphone milik Evan. Sehingga ia tidak tahu bahwa sudah beberapa lama Evan berdiri di belakangnya.
Saat hendak berbalik ia menabrak tubuh Evan. "Maaf."
Dan pria dengan tinggi hampir seratus delapan puluh centimeter itu hanya tersenyum lalu kembali menatap pengumuman di papan. "Mau mendaftar?"
Jessy melepas sebelah Earphonnya. "Entahlah. Saya merasa lulus dari sekolah ini lebih cepat akan lebih baik. Tapi -"
"Coba saja. Tidak ada salahnya kan?"
"Entahlah." Jessy meninggalkan Evan lalu kembali memasang earphonnya.
Mereka tidak tahu bahwa sejak tadi Fania dan teman-temannya sedang memperhatikan dari jauh.
*****
Waktu istirahat tiba. Jessy baru tahu bahwa Fania ternyata memiliki otak encer meskipun hatinya sekeras batu. Ia bisa mendapat nilai sembilan untuk ujian matematika yang terbilang sulit. Dan ia dengan sumbarnya memamerkan nilainya ke seisi kelas seakan ia adalah juara dunia.
Jessy melipat lalu memasukkan lembar nilai ujiannya ke dalam saku kemejanya. Ia tidak percaya bahwa kecemerlangan otak Melva masih tertinggal di tubuhnya. Gadis itu memang sangat diberkati. Ia bahkan memiliki kecerdasan genetik yang ia bawa sejak lahir, bukan hanya karena ribuan buku yang dibacanya dan juga jutaan soal yang dikerjakannya sebagai latihan.
Jessy memutuskan untuk makan siang di kantin alih-alih menyendiri di dekat kolam. Ia ingin menghadiahi dirinya sendiri karena hari itu adalah kali pertama Jessy mendapat nilai ujian sempurna untuk mata pelajaran matematika.
Jessy yang dulu menganggap matematika adalah virus memusingkan yang tidak perlu repot-repot didekati. James selalu mengerjakan tugas matematika miliknya dan sisanya, ia serahkan kepada para guru yang merasa bertanggung jawab atas nilainya hanya karena ayahnya membayar mereka untuk mengajar privat.
Jessy tidak pernah benar-benar paham apa itu rumus matematika. Setiap kali ujian, ia hanya perlu menghafalkan kunci jawaban dan menyalin lembar contekan yang sudah dipersiapkan guru privatnya.
Jadi hari itu, Jessy merasa sangat hebat dan berterima kasih kepada Melva atas kecerdasan yang ia tinggalkan untuk Jessy. Ia membeli beberapa makanan lalu menempati meja yang kosong di dekat jendela.
"Wah, wah! Sepertinya si upik abu mulai berani makan di kantin bareng kita."
Jessy terus menikmati lagu dengan earphonnya dan mengabaikan ocehan tidak penting Fania dan teman-temannya. Sudah lama Jessy tidak menikmati makanan favoritnya itu di kantin. Bukan karena ia tidak ingin berurusan dengan banyak orang dan kebisingan seperti dulu, tapi karena ia tahu betul bahwa kini ia tidak boleh boros demi ibunya.
Ia sudah banyak menyusahkan Bu Rahma, jadi ia tidak ingin semakin membebani dengan uang jajan yang banyak setiap hari. Karena itu, Jessy lebih memilih menyendiri di dekat kolam.
Baginya sekarang, sepotong pisang goreng yang ibunya bawakan dari rumah, cukup untuk mengganjal perutnya pada siang hari. Lumayan juga untuk membantu program dietnya. Begitu pikir Jessy.
Jadi Jessy memanfaatkan momen langka itu dan terus menikmati makanannya sambil sedikit menggoyangkan kepala mengikuti irama lagu yang mengalun di telinganya. Jessy sama sekali tidak tahu bahwa Fania merasa sangat terganggu dengan sikap Jessy itu.
Pyar....
Jessy melonjak berdiri karena terkejut. Suara pecahan piring jatuh yang menghantam lantai itu terdengar jelas bahkan ketika ia menutup telinganya dengan earphone dan mendengarkan lagu keras-keras.
Di belakang Jessy sudah ada Fania dengan wajah merah padam dan Evan yang memegangi tangan Fania yang berada tepat di atas kepala Jessy saat duduk tadi. Jessy buru-buru melepas earphonnya.
"Ada apa ini?"
"Dasar kuman! Lo tu harusnya sadar kalau lo ngga punya tempat disini. Gue bakal buat lo pergi jauh-jauh dari sekolah ini. Kalau perlu gue kirim nyokap lo yang upik abu itu ke neraka supaya lo makin menderita."
Jessy reflek melayangkan tinjunya ke arah wajah Fania tapi Evan dengan sigap menahannya. Ia bisa diam saja meskipun Fania mengatainya macam-macam. Tapi ia tidak terima jika ibunya Melva yang begitu baik dihina oleh mulut sampah Fania.
"Fania stop! Sekarang ikut saya ke ruang guru!" Evan melepas tangan Melva lalu menarik tangan Fania yang berusaha mendekati dan balas memukul Jessy.
"Lepas, Pak! Kenapa sih Pak Evan selalu saja belain kuman ini? Bapak suka sama cewek dekil kaya dia?"
"Fania cukup!"
Evan membawa gadis itu ke ruang guru. Sementara Jessy tidak percaya bahwa makanan yang tercecer mengerikan di lantai itu nyaris saja tumpah ke kepalanya jika Evan terlambat menghentikannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments