Korban Perundungan (1)

(Kanada, 14 Februari 2016, hari kematian Jessy dan Melva)

"Maaf ya Om, Evan belum bisa balik sekarang. Evan baru sampai dan Project Evan disini masih belum selesai."

"Iya ngga papa. Om ngerti kok."

"Evan turut berduka cita atas kepergian Jessy."

"Makasih Van."

"Van, kok lo sedih gitu sih? Padahal kan lo sendiri lo sendiri yang bilang kalau ada kemungkinan tu cewek meninggal akibat depresi karena ngga mau dijodohin sama elo." tanya David ketika Evan menutup ponselnya.

"Ngga tahu, Vid. Bingung gue."

"Bukannya lo mau nerima project ini karena ngga mau deket-deket sama tu cewek?"

"Iya, emang awalnya itu tujuan gue. Tapi gue ngga nyangka kalau bakalan kaya gini."

"Emang kalian sempat ketemu?"

"Udah sih, sekali doang. Pas gue dateng ke rumahnya buat pamitan. Tapi dia buru-buru masuk ke kamar katanya mau istirahat karena mau ada lomba renang gitu."

"Jadi dia ngga tahu kalau lo bakalan ke luar negeri?"

Evan menggeleng. "Dia ngga ngomong atau tanya apa-apa. Mukanya langsung bete banget pas lihat gue datang."

"Ckckckck... Dan lo masih aja mikirin cewek yang jelas-jelas nolak lo sampai rela bunuh diri gitu?"

"Ya nggalah, Vid. Gila aja... Lo kira gue cowok apaan?! Gue pengen balik ke sana buat mastiin apa dia bener-bener ngelakuin itu karena gue. Lagian dia juga harusnya tahu kalau gue juga ngga mau nikah sama dia. Jadi dia ngga perlu lah pake acara bunuh diri segala buat nolak perjodohan itu!" tanpa sadar Evan menaikkan suaranya hingga beberapa oktaf.

"Woles, bro! Kok jadi kaya lo ngamuk sama gue yah?!"

"Sori.."

****

Bagi Melva, pindah-pindah sekolah dan tempat tinggal bukanlah hal baru lagi. Jakarta menjadi kota keempatnya setelah Surabaya, Bontang dan Makasar. Sejak ayahnya pergi tanpa kabar, ibunya sering mengajaknya pindah-pindah tanpa sebab dan alasan jelas yang bisa Melva pahami.

Bahkan di satu kota mereka pernah tiga kali pindah kontrakan secara tiba-tiba. Tapi ia hanya yakin bahwa ibunya akan selalu melakukan segala hal demi kebaikannya. Jadi ia hanya perlu menurut dan bersikap kooperatif.

Menjadi korban perundungan di sekolah juga bukan hal mengejutkan bagi Melva. Sering menjadi siswa baru dengan fisik yang memenuhi syarat untuk dijadikan obyek perundungan, membuat Melva terbiasa menerima segala bentuk intimidasi dari teman-temannya.

Awalnya ia marah dan melaporkan kepada guru dan pihak sekolah. Tapi seringkali berujung mengecewakan. Kalau bukan dia yang justru diskors karena dianggap memulai atau memancing aksi perundungan, maka ia akan mendapat "hukuman" yang lebih berat lagi dari teman-teman yang dihukum karena aduannya.

Semua pilihan serba tidak enak dan keadilan tidak pernah berpihak kepadanya. Jadi Melva memutuskan untuk siaga saja mengatasi segala kemungkinan yang timbul akibat ulah teman-temannya. Seperti selalu membawa baju ganti untuk jaga-jaga kalau tiba-tiba ia diguyur air tanpa sebab, atau sekedar menyiapkan pembalut cadangan untuk jaga-jaga kalau ia harus terkunci selama beberapa jam di kamar mandi pada saat haid.

Ia lebih memilih fokus belajar dan mengukir prestasi daripada sekedar mencari keadilan atau menghentikan perundungan. Dan Melva selalu saja berhasil menjadi siswa terbaik dan mengharumkan nama sekolah dengan menjadi pemenang dalam berbagai lomba akademik dan olimpiade sains atau matematika di sekolah lamanya.

Melva memanfaatkan kelebihannya dengan baik, kecuali saat ia bertemu dan memutuskan untuk menjadi mainan James. Bajingan yang membuatnya harus merelakan fisiknya untuk Jessy, sahabatnya.

*****

Hari berlalu dan Jessy sudah mulai bisa melepas gipsnya. Ia jadi lebih leluasa melatih tulang dan otot-ototnya yang kaku. Meskipun masih terasa sakit dan harus ekstra hati-hati, Jessy tidak pernah menyerah dan mengeluh.

Misi pertamanya juga berhasil. Ia bisa mengurangi berat badannya dalam satu bulan, meskipun hanya satu kiloan saja. Tapi catatan itu tidak terlalu buruk untuk kondisi fisik dan lingkungan seburuk Melva.

Sepertinya dugaan Jessy benar, teman-temannya absen merundungnya karena takut dengan gips yang membalutnya. Karena hari itu, setelah ia melepas gipsnya, aksi jahil teman-temannya kembali menimpanya.

Hari itu mereka akan melaksanakan pelajaran olahraga pada jam pertama dan kedua. Fania sengaja membuka botol minumnya dan menabrakkan diri ke arah Jessy. "Ups, sori. Tumpah."

Gadis itu menyeringai kearah Jessy. "Lo ngga ikut olahraga karena lengan cacat lo kan Mel? Tapi bisa kan bantuin gue ngepel lantai aja? Biar kita-kita yang sehat aja yang olahraga, gimana?"

Beberapa teman lain ikut menumpahkan minumannya dengan sengaja ke lantai. "Bantuin kita juga ya, Mel."

"Lo kenapa sih, Fan?" tidak seperti Melva yang akan diam saja lalu bergegas mengambil alat pel agar bisa ikut pelajaran olahraga, Jessy justru menunjukkan perlawanannya.

"Gue ngga mau lo ikut pelajaran olahraga dan sok-sokan ngegodain Pak Evan."

"Apa?"

"Pak Evan itu punya gue. Dan cewek kaya elo ngga pantes buat bersaing sama gue. Ngerti lo?!" Fania keluar kelas diikuti teman-temannya yang lain.

"Wah!! Jadi ini yang Melva rasain selama ini?" Karena kesal, Jessy justru menginjak-injak air di lantai dengan sepatunya sehingga bercak noda hitam semakin banyak berceceran di lantai kelas.

Tidak hanya itu, Jessy juga mengacak-acak bangku kelasnya dan meninggalkannya begitu saja menuju lapangan. Mereka mungkin bisa membodohi Melva tapi tidak dengannya. Ia tidak mau melayani teman-teman bangsat model Fania dan yang lainnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!