Rencana Balas Dendam

Jessy duduk di tepi ranjang sambil memandangi sandal hitam milik Melva. Ia kembali teringat kali pertama bertemu dengan gadis kutu buku itu, bagaimana ia tidak pernah menyerah demi mengajak Jessy bicara, mendengarkan semua keluhan Jessy dan menemani Jessy berdiam diri di pinggir kolam sekolah padahal ia sangat takut dan trauma.

'Dasar bodoh! Lo punya otak jenius tapi mau aja dibodohi James.' gumam Jessy.

Jessy kembali menangis karena ia sama bodohnya dengan Melva. Ia sudah lama mengenal James dan sama sekali tidak tahu bahwa pria itu sangat keji.

******

Sepulang sekolah, Jessy buru-buru pergi untuk menemui James. Ia sampai tidak menyadari sedang berpapasan dengan Evan di lobi sekolah.

'Tumben banget dia ngga nyapa? Apa mungkin sengaja balas dendam karena gue cuekin?' batin Evan.

"Woi, Mel! Tunggu!" Fania terengah-engah turun dari tangga untuk menghentikan Melva tapi sia-sia karena gadis itu sudah pergi.

"Ada apa, Fan?" tanya Evan

"Ais! Cepet banget sih perginya." Fania masih mengatur nafasnya yang ngos-ngosan setelah berlari menuruni banyak anak tangga. "Mel, Pak. Dia bawa cutter saya."

"Cutter buat apa?"

"Ngga tahu, Pak. Dia tiba-tiba ambil cutter saya, dimasukin tasnya terus lari keluar."

******

(Di tempat latihan renang James)

"Sori, kalian lihat James?" tanya Jessy

"James?" tanya Roy, salah satu teman James yang juga Jessy kenal. "Lo, yang kapan hari kesini kan?"

"Iya. Gue ada perlu sama James."

"Nah itu dia."

Jessy langsung menghampiri James dan menamparnya dengan sangat keras.

"Mel, lo apaan sih?"

"Dasar bajingan! Tega-teganya lo lakuin ini ke gue!"

"Maksud lo apa sih, Mel? Ngga ngerti gue."

"Gue hamil! Lo denger kan? Gue hamil!!!" teriak Jessy kepada James dengan penuh emosi.

"Ya, terus kenapa? Bisa aja kan itu bukan anak gue?"

Jessy kembali memukul James. "Bajingan lo! Lo udah merkosa gue, ngekhianatin Jessy dan sekarang lo mau lepas tangan gitu aja?"

James dengan sigap menahan serangan dari Melva yang sedang mengamuk. "Denger, Mel. Kita ngelakuin itu atas dasar suka sama suka. Dan soal Jessy, dia bunuh diri. Semuanya ngga ada urusannya sama gue."

"Denger James! Gue bakal lihat apa lo masih bisa ngomong kaya gitu kalau media tahu soal ini!"

James mencengkeram lengan Melva dan menariknya mendekat sehingga wajah mereka hanya berjarak beberapa centimeter saja. "Lo kira media bakal percaya gitu aja sama lo? Ngga ada bukti. Orang bakal lebih suka menganggap lo penguntit yang ngefitnah gue demi mendapatkan popularitas. Dan lo sendiri yang bakalan malu karena semua orang bakal tahu kalau lo hamil di luar nikah. Apa menurut lo ngga masalah kalau lo sampai dikeluarin dari sekolah?"

Jessy berusaha melepaskan cengkeraman James, menendang selangkangannya dengan kuat lalu menonjok wajah James dengan sangat keras. "Rasain lo bajingan!"

"Anj**g lo! Jangan lari lo!!"

Jessy berlari sekuat tenaga. Tapi James berhasil mengejar dan menangkapnya. "Mau lari kemana lo?! Lo pikir gue bakal diem aja kalau ada orang gila kaya lo berani nyentuh muka gue."

James bersiap melayangkan tamparan kerasnya untuk Jessy tapi Evan dengan sigap menahannya.

"Lo lagi?! Jangan ikut campur urusan gue!"

"Orang waras ngga bakal diem aja ngelihat banci kaya elo mukulin cewek. Kalau emang berani sini lawan gue!" Evan menghempaskan tangan James dengan kasar.

James langsung menyerang Evan. Keduanya berjibaku, saling tonjok dan tendang tapi Evan lebih gesit dan sigap karena ia berhasil menangkis tendangan James berkali-kali. Setelah James terlihat kelelahan menyerang, Evan langsung melayangkan bogem mautnya ke wajah Evan hingga hidungnya berdarah.

"Itu buat Jessy!"

Lalu Evan kembali menarik krah baju James dan menonjoknya sekali lagi hingga tersungkur di lantai. "Dan itu buat Mel."

Evan meninggalkan James yang segera ditolong oleh teman-temannya, lalu membawa Melva pulang.

"Tunggu! Bapak bawa laptop?"

"Buat apa?"

"Kita harus menghapus rekaman cctv. Kalau Bapak ketahuan menghajar atlet nasional, urusannya bakal panjang."

"Biar saya yang urus. Ayo pulang!" Evan mengirim sebuah pesan singkat sebelum akhirnya memacu motornya ke rumah Melva.

******

Sesampainya di rumah, Jessy mengobati luka memar Evan. "Tadi itu keren banget! Serasa nonton Jacky Chan."

"Au! Pelan-pelan!" pekik Evan ketika Jessy mengobati lukanya.

"Iya, maaf. Tapi Pak, gimana kalau sampai ketahuan? Bapak bisa dipecat. Malam ini kita kembali kesana buat meretas kamera cctv kaya waktu itu."

"Sekarang juga mereka pasti sudah melihat rekamannya. Ngga ada gunanya dihapus nanti malam. Kamu takut?"

"Ngga. Meskipun bukan karena James saya akan tetap dikeluarkan karena hamil. Jadi apa bedanya?"

"Are you okay?"

Jessy mengangguk. "Saya akan tetap belajar meskipun ngga di sekolah. Toh kami akan segera pindah, jadi ngga masalah kalau harus cuti sekolah setahun. Anggep aja liburan musin panas hehe.."

"Not bad. Kamu punya otak jenius. Jadi sekolah atau ngga sepertinya bukan masalah. Hanya saja, kemanapun kamu pergi fakta bahwa anak itu akan lahir tanpa ayah akan selalu menghantui kamu, Mel. Orang akan selalu mempertanyakannya dan melabeli kamu sebagai gadis nakal korban free ****."

"Apa Bapak selalu bicara selugas itu?"

"Maaf, saya -"

"Saya hanya perlu berbohong kalau ayahnya sudah meninggal."

"Boleh juga." Evan mengambil krim penghilang rasa nyeri dan memasangnya di tangan. "Tapi Mel, anak itu akan tetap membutuhkan ayah yang membelanya dari ibu segalak kamu. Dia juga butuh ayah yang akan mengajarinya cara mencintai ibunya yang galak."

Cup.

Melva tiba-tiba saja mengecup bibir Evan sampai krim penghilang rasa sakit terlepas begitu saja dari tangan Evan. "Apa ini?"

"Hukuman karena Bapak bicara lebih banyak dari saya."

"Aish! Seharusnya saya mencari kalimat yang lebih panjang tadi."

Melva tertawa. Dan Evan merasa semua rasa lelah dan sakitnya terbayar dengan tawa itu.

"Oh ya, ngomong-ngomong kenapa Bapak cuekin saya beberapa hari ini?"

"Mamanya Fania bikin laporan ke sekolah soal kedekatan kita. Bapak kepala sekolah marah besar dan mengancam akan mengeluarkan kamu dari daftar siswa aksel kalau kita ketahuan pacaran."

"Saya ngga nyangka Mamanya Fania bakal berusaha sekeras itu untuk menyingkirkan saya."

"Kamu terlalu pintar dan mencolok, Mel."

"Loh ada Pak Evan toh?" Bu Rahma yang baru kembali dari mengantar pakaian ke rumah pelanggan kaget melihat ada banyak kompres dan obat di meja.

"Tenang aja, Bu. Tadi cuma berantem biasa." Evan tahu apa yang Bu Rahma khawatirkan.

"Bu, Boleh Mel nikah sama Pak Evan?"

"Apa?" Tanya Evan dan Bu Rahma bersamaan.

"Bapak ngga mau nikahin saya? Karena saya hamil?"

"Bukan. Bukan itu, tapi -"

"Mel. Nanti kita bicarakan lagi soal ini ya, Nak?" Bu Rahma cukup kaget dengan permintaan Melva. "Pak Evan, kami mohon maaf, yah? Anggep aja Mel hanya main-main. Jangan dimasukkan hati."

"Ngga papa, Bu. Kan saya juga sudah pernah melamar Mel sebelumnya."

"Iya, Bu. Hanya sampai anak ini lahir. Meskipun Mel marah dan benci dengan anak ini yang membuat sekolah dan cita-cita Mel hancur, tapi anak ini ngga berdosa. Ngga adil kalau dia harus dicemooh karena lahir tanpa ayah." ujar Melva dengan wajah memelas.

"Bagaimana ini Pak Evan?"

"Saya setuju."

"Bukan itu. Tapi bagaimana dengan pekerjaan dan keluarga Pak Evan?"

"Bu, Pak Evan ngga bakal dipecat kalau kita nikah diem-diem dan tinggal di luar kota sampai anak ini lahir."

"Saya setuju." Evan kembali mengulangi pernyataannya.

"Sebaiknya Pak Evan pikirkan dulu baik-baik. Jangan buru-buru bilang setuju sama ide konyolnya Mel."

"Saya sudah memikirkan semuanya baik-baik, Bu."

Setelah tidak ada lagi yang bisa dikatakan, Bu Rahma memilih untuk masuk ke dalam kamarnya.

"Cih, jadi Bapak ini tunangannya Jessy atau Melva?" goda Jessy.

"Dua-duanya."

********

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!