Keesokan harinya, Jessy melihat ibunya datang ke sekolah.
"Bu, ibu ngapain disini?"
"Bapak kepala sekolah ingin bicara sama ibu."
Jessy tidak percaya bahwa urusannya dengan Fania juga menyeret serta ibunya.
"Jadi Bu Rahma, apa Melva sudah cerita bahwa kemarin dia bertengkar dengan Fania di kantin?" tanya bapak kepala sekolah.
"Bertengkar? Tidak Pak. Melva tidak cerita apa-apa."
"Jadi, Melva berusaha menonjok wajah Fania. Untung saja salah seorang guru berhasil mencegahnya. Tapi yang ingin kami sampaikan sebenarnya adalah bahwa kami merasa ananda Melva sedang dalam kondisi mental yang tidak stabil. Ia mudah marah dan membahayakan siswa lain. Jika berita ini sampai terdengar ke dewan sekolah dan perkumpulan wali murid, maka beasiswa Melva bisa dicabut. Jadi ibu harus bersiap-siap dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi."
"Tapi Pak. Anak saya hanya mengalami cedera tulang dan otot. Mentalnya baik-baik saja dan dia bukan anak yang akan melawan tanpa sebab."
"Jadi ibu bermaksud menyalahkan anak yang hampir menjadi korban kebrutalan Melva?"
"Bukan seperti itu, Pak. Tapi saya rasa ada yang perlu diluruskan disini."
"Tidak ada yang perlu diluruskan lagi Bu. Besok ada rapat perkumpulan wali murid untuk membahas masalah ini. Sebaiknya ibu datang untuk memohon pengampunan dan belas kasihan jika anak ibu ingin tetap bersekolah disini."
"Tapi Pak, bukankah anak saya menerima beasiswa karena dia cerdas dan berprestasi? Bukan karena belas kasihan orang lain."
Kepala sekolah tertawa terbahak-bahak. "Bu Rahma ini naif sekali. Orang-orang itulah yang memiliki uang beasiswa itu. Kecerdasan dan prestasi adalah dalih dan lambang yang mereka ciptakan untuk meningkatkan citra sekolah."
*****
Malam harinya, Bu Rahma terlihat murung. Bukan karena malu bahwa ia harus memohon belas kasihan orang lain. Tapi malu karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk putri semata wayangnya dengan cara yang terhormat.
"Bu, Ibu kok ngga makan? Keburu dingin mi instannya."
"Ibu ngga laper, Mel. Mel aja yang makan gih."
"Ibu kenapa?"
"Ibu ngga papa, Mel. Cuma sedikit capek karena tadi banyak banget setrikaannya."
"Bu, waktu Mel masuk ke sekolah itu, apa Ibu juga merasa senang seperti Mel?"
"Tentu saja, Mel. Sekolah itu adalah satu-satunya keinginan kamu yang bisa ibu bantu wujudkan. Ibu sudah gagal menjadi ibu yang baik untuk kamu, Nak. Ibu minta maaf karena kamu harus menghadapi situasi yang seperti ini."
"Bu, Ibu ngga boleh ngomong kaya gitu. Mel seneng dan bangga jadi anak ibu. Dulu setiap kali mau mengajak kamu pindah, ibu selalu was-was. Ibu takut kamu akan marah dan kecewa kepada ibu. Tapi membawa kamu kesini adalah pertama kalinya ibu merasa lega karena kamu bisa memiliki kesempatan untuk masuk sekolah impian kamu sejak kecil."
"Mel sudah ngedapetin apa yang Mel mau. Kalau Mel sudah merasa cukup dan ingin pindah sekolah lagi, apa ibu keberatan?"
"Ngga, Mel. Ibu ngga masalah. Kita akan mencari cara untuk mendapatkan uang pendaftarannya. Kamu boleh melakukan apapun yang kamu inginkan, Mel. Ibu akan berusaha membantu kamu mewujudkannya. Kamu ngga perlu merasa tertekan oleh orang-orang mata duitan seperti mereka."
Apa yang dikatakan Bu Rahma benar. Jika pindah sekolah, maka mereka harus mencari uang untuk biaya pendaftaran di sekolah yang baru. Padahal untuk membeli beras malam itu saja mereka kerepotan.
"Hehe, ibu tenang aja. Mel ngga akan pindah dari Galaxy dan ibu ngga perlu datang ke rapat wali murid itu."
"Tahu dari mana soal rapat wali murid, Mel?"
"Mel tahu semuanya, Bu. Besok Mel akan ikut seleksi kelas akselerasi. Kalau Mel bisa lolos, maka Ibu ngga perlu lagi berurusan sama kepala sekolah dan kroni-kroninya. Karena kalaupun harus keluar dari sana, mereka akan kerepotan menghadapi wartawan yang mempertanyakan alasan pemecatan siswa berprestasi."
Saat itulah Jessy bisa melihat senyum kembali mengembang di wajah Bu Rahma, ibunya Melva, si pemilik tubuh yang Jessy pakai sekarang.
Ia merasa sangat yakin setelah memegang kartu As milik Fania, meskipun ia tidak yakin merasa perlu untuk mempergunakannya sekarang.
******
Tes seleksi kelas akselerasi diadakan hari itu. Semua siswa yang telah mendaftar akan melakukan ujian tertulis dengan bantuan komputer untuk menentukan sepuluh siswa yang berhasil meraih nilai ujian tertinggi untuk bergabung dalam kelas akselerasi.
Jessy sudah mempersiapkan semuanya. Ia sudah belajar semalaman meskipun lebih terasa seperti membaca novel saja saat menggunakan otak cerdas Melva. Karena semua materi seakan bisa masuk begitu saja tanpa harus susah payah hafalan jungkir balik sampai kepala harus diikat seperti yang biasa Jessy lakukan dulu.
Ujian pagi itupun terasa sangat mudah bagi Jessy. Ia bahkan menyelesaikan soal ujiannya lebih cepat dari teman-temannya yang lain. Dan setelah hasilnya keluar, sudah bisa dipastikan bahwa ia mendapat nilai tertinggi.
Tentu saja Fania tidak mau diam saja. Ia tidak percaya bahwa Melva mampu bersaing dengannya yang telah mendapat bocoran soal dari para guru sebelumnya.
"Ini ngga mungkin. Melva ngga mungkin bisa mendapatkan nilai paling tinggi. Dia pasti dapat bocoran soal sebelumnya." Fania memutar balikkan fakta dan menuduh Jessy berbuat curang.
Awalnya Jessy hanya diam. Ia tahu betul bahwa meladeni gadis seperti Fania hanya akan membuang-buang waktu dan tenaganya saja. Selain itu Jessy paham betul bahwa Fania lah yang kemungkinan besar berbuat curang seperti dirinya dulu.
"Pak Evan pasti bersekongkol dengan Melva dan membantu Melva mendapatkan bocoran soal ujian kan?"
"Loh, kok jadi bawa-bawa Pak Evan sih?!" Jessy tidak tahan lagi. Ia tidak terima Fania menjelek-jelekkan nama Evan.
Sementara Evan hanya tersenyum saja memperhatikan tingkah Melva dari sudut ruangan.
"Karena ada kecurigaan seperti ini, maka kita akan melakukan penyelidikan lebih lanjut." Ujar Bu Cindi, wali kelas Melva.
"Karena itu, Ibu harus meminta Bapak Kepala Sekolah untuk menunda pertemuan wali murid." tukas Melva. "Bagaimana kalian akan membahas sanksi jika keputusan soal siswa akselerasi saja belum ditentukan."
Bu Cindi berfikir sejenak dan ia tahu bahwa apa yang Melva katakan itu benar. "Baiklah, ibu akan bicarakan ini dengan kepala sekolah."
Seakan belum puas meluapkan emosinya, Jessy kembali mengancam Fania. "Dan elo, kalau sampai tuduhan lo ke Pak Evan ngga terbukti, gue bakal tuntut elo atas tuduhan pencemaran nama baik."
*****
Setelah kejadian siang itu, Jessy terus saja ngomel mengeluhkan kekesalannya kepada Fania.
"Heran gue, sebenernya apa sih masalah Fania sama gue?!"
"Mungkin karena kamu terlalu pintar, Mel." jawab Evan sekenanya.
"Trus masalah buat dia?! Melva pintar karena emang udah dari sononya. Ngapain juga dia sibuk ngalahin Mel dengan cara licik kaya gitu?!"
Evan terlihat bingung menelaah perkataan Jessy barusan. "Maksud kamu?"
Jessy sedang malas mengoreksi dan juga menjelaskan panjang lebar jadi ia memilih untuk bersikap normal dan pura-pura bodoh. "Ya emang bener gitu kan? Gue emang udah pinter dari sononya."
"Oh ya, Mel. Ngomong-ngomong ayah kamu kemana? Kok saya belum pernah lihat beliau di rumah kamu?"
"Emang sesering apa Pak Evan ke rumah saya?" ledek Jessy. "Sejak kecelakaan itu, banyak hal yang saya ngga ingat tentang masa lalu saya, termasuk soal ayah saya. Ibu bilang ayah saya meninggal beberapa tahun lalu."
"Oh, maaf soal itu..."
"Its ok."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments