Siuman

Melva pulang dari rumah James dengan gontai. Ia tidak mungkin naik bus dalam keadaan seperti itu. Jadi ia memutuskan untuk naik taksi. Setelah berjalan cukup jauh dari rumah James ia akhirnya bisa menemukan taksi yang sedang mangkal di depan sebuah toserba.

"Pak, jalan pinang 21 ya?"

"Maaf Neng, tapi -"

Pintu taksi kembali terbuka dan seorang pria masuk dengan kantong berisi bingkisan coklat di tangannya. "Kamu siapa? Ini taksi saya, jadi tolong turun karena saya buru-buru."

"Saya yang duluan naik. Jadi ini taksi saya. Anda saja yang turun."

"Wah!" Pria itu mulai geram. "Pak, siapa penumpang Bapak?"

"Maaf Neng, tapi Mas ini penumpang saya."

Melva tidak bisa lagi membendung air matanya. "Tolong jalan, Pak! Bapak antar aja Mas ini setelah itu Bapak bisa langsung antar saya."

"Tapi arahnya berlawanan, Neng."

"Ngga papa, Pak. Saya akan bayar berapapun tarifnya. Asalkan saya bisa menangis disini."

"Wah! Anak muda jaman sekarang benar-benar ngga punya etika yah? Saya pemesan taksi ini jadi kalau mau numpang mestinya ijin saya dulu."

Melva bergeming dan terus saja menangis menatap ke luar jendela taksi. Dan hal itu membuat si pria tidak tega lagi untuk mendorongnya keluar.

"Ya sudah, jalan aja Pak! Agak cepet ya Pak? Calon istri saya sudah nunggu." Pria itu mengambil tisu dan meletakkannya di pangkuan Melva.

"Baik Mas."

Taksi sudah pergi jauh dan hampir tiba di tempat tujuan pria itu tapi Melva masih saja menangis.

"Kamu ngga papa?"

Melva mengambil tisu di pangkuannya, mengeluarkan semua ingusnya lalu menggeleng.

"Mas mau kemana sih? Kok ngga nyampe-nyampe? Sudah malam, saya mau pulang."

"Set dah, yang nyuruh kamu ikut kesini siapa?"

"Harusnya sebagai laki-laki Mas itu ngalah sama perempuan. Mas kan tahu saya lagi nangis, sudah malam dan butuh banget taksi ini. Mas kan bisa cari taksi lainnya?"

"Wah! Makin ngelunjak aja nih anak. Denger ya! Saya ini buru-buru karena calon istri saya sudah nunggu buat makan malam."

"Calon istri? Bukan tunangan?"

Pria itu benar-benar kesal sekarang, "Kami memang belum tunangan tapi kami sudah lama dijodohkan dan akan segera menikah."

"Semua pria pembohong! Jahat!" Melva kembali menangis meraung-raung di dalam taksi.

"Stop it! Gila ya lo?! Orang bakal ngira gue merkosa elo!"

Dan tangis Melva kian pecah membahana dan memekakkan telinga.

"Mas, tolong diemin dong! Saya ngga fokus nyetirnya."

"Iya, Pak. Maaf." pria itu kembali membujuk Melva untuk diam lalu ia sempat melihat beberapa bekas ciuman di leher dan dada Melva yang belum juga mau berhenti menangis.

Pria itu kemudian membuka kantong belanjaannya dan menyerahkan bingkisan berisi coklatnya kepada Melva.

"Apa ini?"

"Selamat hari valentine."

Melva menatap pria itu penuh curiga tapi ia merasa lapar karena terlalu banyak menangis dan belum sempat makan apa-apa saat di rumah James. Tanpa mengucapkan terima kasih, Melva membuka bungkus coklat batangan itu dan melahapnya hingga tak bersisa.

Meskipun kesal karena ia jadi tidak punya buah tangan untuk dibawa ke rumah calon istrinya, tapi ia merasa lega karena Melva tidak menangis lagi.

"Sudah sampai, Mas."

Pria itu menyerahkan sejumlah uang kepada pengemudi taksi lalu turun. Tapi Melva malah menahannya dan menarik lengannya.

"Apa-apaan sih?!"

"Kok cuma segitu?"

"Apanya?"

"Ongkos taksinya."

"Lah kan emang segitu? Bener kan Pak?"

"Bener kok, Mas."

"Bayakin aku sekalian kek. Jadi cowok pelit banget sih?"

"Lah kan tadi kamu bilang mau bayar berapapun ongkosnya. Ya kan Pak?"

Lagi-lagi si sopir taksi mengangguk.

"Kalau ngga mau bayarin, aku bakal ikut turun dan nemuin cewek kamu."

"Wah!" Pria itu menyeringai. "Dikasih hati malam minta jantung!"

Melva melepaskan lengan pria itu lalu turun dari taksi. "Tunggu sini dulu ya, Pak. Saya mau ikut ke dalam."

"Lo gila ya?!"

Melva bergeming dan hanya menjulurkan tangan kanannya ke hadapan pria itu. Pria itu menatap lengan Melva dengan seksama.

Meskipun sangat kesal tingkat dewa, tapi ia benar-benar tidak ingin malam itu berantakan gara-gara gadis gila yang malang itu. Ia akhirnya memberikan dua lembar uang seratus ribuan lalu masuk ke dalam rumah mewah di hadapannya.

"Anggap saja amal sebelum berangkat ke Kanada." gumam pria itu sambil berlalu.

****

(Beberapa hari setelah kecelakaan)

Jessy mengerjap-ngerjapkan matanya menahan sinar matahari yang memaksa masuk melalui celah-celah gorden.

"Mel! Kamu sudah sadar nak?" Seorang wanita menyapanya dengan wajah sumringah. "Dokter! Melva sudah sadar!"

Jessy menyaksikan wanita itu berlari keluar ruangan untuk memanggil dokter. Ia merasa pernah melihat wajah itu tapi entah dimana. Kepalanya masih berdenyut dan ia tidak ingin berfikir terlalu keras.

'Apa yang terjadi? Melva?'

Jessy melihat sekeliling. Ia tengah berada di sebuah ruangan di rumah sakit. Ia mendengar irama suara monitor juga merasakan sebuah ventilator yang terpasang di mulutnya dan membuatnya sedikit kesulitan untuk berbicara.

Tak lama kemudian seorang dokter dan perawat mendatanginya dan memeriksa keadaannya.

"Ini keajaiban, Bu. Luar biasa. Detak jantungnya mulai stabil, tekanan darah kadar oksigen juga cukup baik. Tanda vitalnya juga berfungsi dengan baik."

"Ah, syukurlah." Wanita itu bernafas lega seakan baru terbebas dari belenggu baja.

"Kami masih perlu melakukan beberapa pemeriksaan untuk memastikan kondisinya."

"Baik Dokter, terima kasih."

"Mel, terima kasih karena kamu mau berjuang dan bertahan demi ibu." Wanita itu mulai menangis, Jessy tak tahu apakah itu tangis sedih atau bahagia.

'Mel? Ibu? Apa yang sebenarnya terjadi?' kepala Jessy kembali berdenyut.

"Mel, kamu kenapa, Nak? Apa ada yang sakit?"

Jessy akhirnya ingat. Ia pernah melihat wajah wanita itu di dompet Melva. Wanita itu adalah Bu Rahma, ibunya Melva.

'Tapi kenapa dia ada disini dan memanggilku dengan sebutan Mel? Lalu kenapa tubuhku terasa remuk begini?'

"Mel, jangan terlalu banyak bergerak dulu. Kamu istirahan aja ya, Nak? Supaya kondisi kamu segera membaik."

Dan entah kenapa senyum wanita itu membuat Jessy tenang dan tidak lagi memaksakan diri memikirkan banyak hal.

****

Jessy sangat terkejut mendapati dirinya tengah berada di dalam tubuh Melva. Meskipun bisa dibilang keduanya cukup dekat, tapi mereka adalah dua orang yang berbeda. Ia tidak pernah menyukai Melva meskipun juga tidak pernah bisa benar-benar membencinya.

Gadis itu punya semangat juang yang luar biasa. Selain itu, ia memiliki apa yang tidak ia miliki, yaitu otak yang sangat cemerlang. Tapi otak itu sama sekali tidak akan membantunya untuk menjadi seorang atlit renang kelas dunia. Dan itu benar-benar membuatnya frustasi.

Jessy berusaha mengingat kembali apa yang terjadi padanya sebelumnya. Hari itu ia tengah bersiap untuk lomba renang, lalu kemudian James, kekasihnya muncul di hadapannya. Ia kemudian merasa cemas dan gelisah dan membuatnya tidak bisa masuk ke dalam kolam saat pistol ditembakkan ke udara.

Jessy ingat betul bahwa ia berlari kembali ke ruang peserta dan James menemuinya, menenangkannya lalu memberinya sebuah obat penenang. Ia kemudian merasa sedikit lebih baik lalu kesulitan bernafas dan ia tidak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!