"Mel, apa kamu baik-baik saja? Kenapa kamu menghilang setelah hari itu? Aku khawatir banget sama kamu."
Jessy melepaskan tangannya dari genggaman James. Pria itu baru saja memanggilnya Mel. Apa mungkin ia salah dengar?
"Mel, kamu kenapa?"
"Apa yang terjadi hari itu?" tanya Jessy mengkonfirmasi perkataan James. Ia harus memastikan sesuatu.
James tertawa, "Kamu selalu saja suka bercanda. Aku hampir ngga bisa bedain candaan dan serius kamu."
"Apa yang terjadi hari itu?" bentak Jessy kembali mengulang pertanyaannya.
"Mel, kamu beneran lupa?" James mendengus. "Aku kecewa sama kamu. Apa hanya aku yang merasa bahwa malam itu sangat istimewa? Aku bahkan ngga bisa ngelupain kamu sedetikpun. Kamu luar biasa, Mel. I love you."
Jessy berdiri dari duduknya, dadanya naik turun, nafasnya memburu tak katuan, detak jantungnya berpacu kencang.
Plak.
"Jadi ini yang lo bilang cinta hanya ada satu di dunia?"
"Jessy?" James tidak tahu kenapa Melva bisa tahu kalimat yang selalu diucapkannya kepada Jessy.
James berusaha mengejar Melva tapi langkah gadis itu lebih cepat dari dugaannya.
Bruk.
Melva menabrak Evan yang hendak berjalan menuju mobilnya.
"Mel, kamu ngga papa?"
"Pak, mana mobil bapak?"
Evan menekan tombol di kuncinya dan mobilnya berbunyi mendandakan kuncinya sudah terbuka. Melva langsung masuk ke dalam mobilnya, menguncinya dan menangis tersedu-sedu.
"Mel, buka pintunya! Kita harus bicara."
"Maaf, anda bisa merusak mobil saya kalau terus seperti itu."
"Diem lo! Ini urusan gue sama Mel. Lo ngga usah ikut campur."
"Tapi gadis itu memilih untuk meninggalkan anda dan masuk ke mobil saya. Apa anda masih belum paham?"
"Sial!" James berusaha meninju Evan tapi Evan dengan gesit menghindar dan malah menangkap bogem James dengan tangannya.
Evan kemudian meninggalkan James dan masuk ke dalam mobilnya lalu pergi bersama Melva.
****
Karena Melva tidak juga mau diam, Evan kemudian memarkirkan mobinya di depan sebuah toserba. Beberapa menit kemudian ia kembali dengan sekantong coklat di tangannya.
"Bapak mau membuat gigi saya berlubang?" Jessy menolak menerima coklat sebanyak itu.
"Apa yang salah? Waktu itu kamu menghabiskan lebih banyak dari ini dan akhirnya bisa berhenti menangis."
"Bapak ini sebenarnya suka siapa sih? Jessy atau Melva?"
Evan cukup kaget mendengarnya. Ia sama sekali tidak menyangka akan mendengar pertanyaan seperti itu dari seorang Melva yang sedang frustasi. "Kenapa harus suka atau memilih salah satu jika bisa memiliki keduanya?"
Jessy melempar semua coklatnya ke arah Evan. "Ternyata semua laki-laki sama saja. Kalian semua bajingaaaaaan!"
Jessy lega akhirnya bisa mengumpat juga.
"Berhenti! Saya mau turun disini."
Evan memberhentikan mobilnya meskipun tidak yakin bahwa ia berhenti di tempat yang benar. Mereka sedang berada di pinggir lapangan yang gelap dan sepi. Tapi gadis itu keluar dari mobil dan berjalan ke tengah lapangan dengan penuh percaya diri.
Alih-alih pergi, Evan membenahi tempat duduknya lalu berbaring sambil memainkan ponselnya untuk menunggu Melva kembali ke mobilnya.
*****
Waktu berlalu dan gadis itu belum juga kembali. Karena khawatir, Evan menyalakan mobilnya dan lampunya menyorot ke arah Melva yang duduk meringkuk di tengah lapangan sambil memunggunginya.
"Ngapain Bapak masih disini?"
"Mel, ini sudah malam. Bisa saja penjahat tiba-tiba muncul kan?"
"Kalau takut bapak pulang aja."
Evan merasa tidak enak jadi ia menoleh ke arah mobilnya dan tampak seorang pria tengah mendekat dan berusaha masuk. Evan segera menghampiri pria itu dan perkelahian tidak bisa dielakkan lagi. Maling itu dihajar habis-habisan oleh Evan.
"Berani-beraninya lo maling di hadapan gue?! Lo ngga tahu kalau mobil ini belum lunas?"
"Ampun bang! Ampun!"
Jessy takut kalau Evan akan menghabisi maling itu. Jadi ia mendekat untuk melerai agar Evan mau melepaskan maling yang tertangkap basah itu. Dan akhirnya Evanpun menyerah. Ia melapaskan pria itu dan membiarkannya pergi.
Bukannya pergi, maling itu malah mengambil bambu yang tergeletak di tanah dan hendak memukul punggung sebelah kiri Melva yang membelakanginya. Evan berusaha menarik dan melindungi Melva dengan tubuhnya tapi terlambat.
Evan terkena pinggiran bambu hingga punggungnya terluka. Dan bagian ujung bambu mengenai bagian tengkuk Melva hingga membuatnya pingsan. Sementara si maling berlari karena takut telah membunuh Melva.
*****
Bu Rahma baru tiba ketika Melva siuman dari pingsannya. Evan terpaksa membawanya ke IGD terdekat karena khawatir bekas lukanya kembali terkena hantaman bambu.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?"
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bekas operasi pasien tidak terkena. Dan pasien pingsan karena hantaman yang cukup keras di bagian tengkuk. Hanya saja ada yang lebih penting adalah kondisi janin di dalam kandungan pasien. Detak jantungnya sangat lemah."
"Apa? Janin?" Bu Rahma tidak peraya dengan apa yang baru saja dokter katakan. "Maksud dokter apa?"
"Jadi ibu belum tahu kalau pasien sedang hamil dan usia kehamilannya sudah masuk tiga belas minggu."
"Apa?! Ngga mungkin!" Jessy menangis histeris. "Dokter pasti salah."
Dokter kemudian menyerahkan hasil usg Melva. Dan gadis itu menangis kian histeris sehingga mengganggu seisi IGD.
"Dokter apa boleh saya membawa anak saya pulang?"
"Silakan, Bu. Saya akan memberikan resep obat untuk ibu dan janinnya."
"Baik Dokter, terima kasih."
Bu Rahma menghampiri Evan. "Pak Evan, tolong bawa Mel ke mobil dulu yah?"
Lalu melanjutkan langkahnya menuju meja dokter untuk mengambil resep obat.
"Baik, Bu."
*****
Perjalanan pulang ke rumah malam itu terasa sangat panjang bagi Jessy. Pikirannya berkecamuk. Impiannya hancur di tubuh Melva. Ia tidak akan bisa lagi kembali menjadi atlet renang setelah melahirkan. Tidak hanya itu, citranya sebagai bintang renang akan hancur begitu tahu bahwa ia pernah hamil dan melahirkan.
Bukan hanya itu yang mengganggu pikiran Jessy malam itu. Ia takut menghadapi kenyataan siapa ayah dari bayi yang dikandungnya itu. Bagaimana jika ia dipaksa menikah dengan bajingan yang telah menghamilinya meskipun tidak cinta?
Lalu bagaimana dengan sekolah dan misinya untuk membalas dendam dan memperbaiki keadaan? Semuanya akan hancur berantakan karena bayi di perutnya itu.
Ia tidak percaya bahwa ia harus menyerah secepat itu hanya karena keberadaan anak yang tidak pernah diharapkannya itu di dalam rahimnya. Tanpa sadar Jessy mulai membentur-benturkan kepalanya ke kaca mobil Evan.
"Mel! Jangan Mel! Jangan!" Bu Rahma menghalangi kepala Melva dengan tangannya lalu memeluk tubuh anaknya yang sedang goyah itu.
Jessy lupa bahwa Bu Rahma tak kalah hancur dan menderita dengan apa yang terjadi. Wanita paruh baya itu bahkan tidak tahu bahwa anaknya sudah lama meninggal dan raganya ditempati oleh jiwa temannya sendiri yang frustasi, penuh dendam dan ambisi, tapi juga bodoh.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments