sebuah aib

Leora menatap sekali lagi sebuah surat di tangannya. Surat dikeluarkannya ia dari sekolah, tempatnya menimba ilmu. Hamil. Alasan itulah yang membuat Leora di depak oleh kepala sekolah.

"Bagaimana ini? Bapak dan ibu pasti kecewa sekali. Lalu Al? Kenapa dia menjauh dariku? Sikapnya bahkan seolah tak mengenali diriku. Apa Al membuangku? Ah, tidak. Al tidak mungkin membuangku." Leora menggumam di sepanjang perjalanan.

Hingga tanpa sadar, Leora telah sampai di depan rumahnya. Ah, tidak. Itu hanyalah gubuk reyot. Leora menatap pilu rumahnya. Pasti bapak dan ibunya akan kecewa sekali. Bukan prestasi yang Leora raih, akan tetapi sebuah surat di mana anak pertama mereka telah ditendang dari sekolah.

"Jangan masuk ke dalam rumah!" bentak seorang pria paruh baya.

"Ba-bapak?" Leora mematung di ambang pintu. Terlihat sekali sang bapak yang murka.

"Rumah ini haram bagimu. Seorang anak yang telah meruntuhkan seluruh kebanggaan dan mimpi dari kedua orangtuanya. Malah kini melemparkan kotoran ke wajah orangtuanya!" Suara bapak semakin meninggi.

Dalam hati Leora mulai gamang. Dari kata-kata sang bapak, Leora bisa menyimpulkan jika bapaknya telah mengetahui hal besar yang coba Leora sembunyikan.

"Bune! Cepat sini!" Bapak memanggil ibu Leora.

Hingga tiba-tiba datanglah seorang wanita paruh baya dengan kedua mata yang sembab. Air mata bahkan terlihat jelas di kedua pipi wanita itu. Leora tersentak saat wanita itu melemparkan sebuah tas jinjing.

"Pihak sekolah sudah menghubungi kami. Kamu tak perlu menjelaskan apapun. Pergilah! Kamu mengecewakan kami! Kau memberikan aib untuk bapak dan ibumu! Kita ini sudah hina, tapi kamu malah semakin menghinakan kami! Di mana hati nuranimu sebagai anak yang berbakti? Barang-barangmu sudah aku kemasi. Pergilah. Di dalam tas itu, ada uang lima ratus ribu rupiah untukmu bekal. Kami tidak memiliki uang untuk memberimu lebih. Pergilah! Kau aib untuk keluarga ini!" sentak Ibu.

"Bu? Leora anak kandung Bapak dan Ibu. Tolong, jangan tega pada Leora," pinta Leora.

"Tega? Kau bahkan yang lebih tega! Bukan pulang memberikan prestasi, tapi kau malah memberikan aib untuk keluargamu! Kita ini orang miskin. Tapi kamu malah membuat kami menjadi semakin hina! Pergilah, setelah ini aku akan mengurus KK. Kau akan ku-coret dari daftar! Pergi!" Bapak menyeret tubuh Leora keluar pagar rumah.

Leora terus meraung. Akan tetapi nihil. Wajah lelah sang bapak terlihat jelas di kedua mata Leoea. Kekecewaan sang bapak terpampang nyata. Kini pintu rumah itu telah tertutup. Seperti telah tertutupnya pintu hati kedua orangtuanya.

***

Di kediaman Al, tubuh Leora terjungkal di luar gerbang sebuah rumah yang mewah. Seorang wanita paruh baya menatap angkuh serta diliputi kebencian yang mendalam. Dua orang satpam yang melempar tubuh Leora, berdiri di belakang wanita yang masih cantik di usia tuanya.

"Aku sudah memberimu uang! Gugurkan janin haram itu. Jangan sampai aku mengetahuinya lahir ke dunia! Kau itu gadis kampungan! Jangan mimpi untuk menjadi istri dari anakku! Ingat, aku sudah memberimu uang! Pergi kau! Jangan sampai aku semakin murka!" Wanita paruh baya itu memutar tumitnya. Berlalu meninggalkan Leora.

Tak lama Al muncul. Membuat tubuh Leora menegang. Bukannya simpati, Al malah menatap sinis ke arah Leora. Seolah Leora begitu hina untuk dirinya.

"Naif sekali kau, Leora. Gadis miskin yang begitu bangga karena menjadi kekasihku. Ah, aku lupa mengatakan sesuatu. Kamu pikir aku sudi bersamamu? Aku dan teman-temanku taruhan. Siapa yang bisa menjadi pacarmu dan membuatmu memberikan tubuhmu, maka dia sang casanova sejati. Lihat, aku berhasil bukan? Ingat 'kan? Sebelum aku menembakmu, sahabat-sahabatku sudah lebih dulu mengejarmu. Pergilah." Al melenggang meninggalkan pintu gerbang begitu saja.

Tangis Leora semakin tumpah. Teganya Al mengatakan hal itu. Leora menatap dua orang satpam yang telah menutup pintu gerbang itu. Lalu pandangannya mengarah pada segepok uang yang bertulis lima puluh juta. Sebenarnya Leora tak ingin mengambilnya. Akan tetapi, untuk kehidupannya kelak tidak mudah. Terlebih, ia juga membutuhkan tempat tinggal dan makan. Mengingat Al saja membuang dirinya setelah berhasil menodainya. 

"Apa aku gugurkan saja?" lirih Leora putus asa. 

Sesaat kemudian, Leora menggelengkan kepala. "Aku sudah berbuat dosa besar. Apakah aku masih ingin menambah dosaku? Aku harus mempertahankannya apapun yang terjadi."

Leora pun bangkit berdiri. Gadis itu menyeka air matanya. Kemudian menyambar tas jinjing dan juga segepok uang. Untuk terakhir kalinya, Leora menatap sakit hati ke sebuah rumah mewah. Kedua tangannya mengepal. Kedua iris coklat itu menampakkan kilatan kebencian.

"Al. Aku akan mengingat hari ini. Di masa mendatang, aku tak akan sudi mengenalmu. Seujung kuku, aku tidak akan memberikanmu kesempatan melihat anak ini. Aku bersumpah!" Leora segera memutar tumitnya. Berjalan menjauh dari rumah besar yang memberinya luka menganga.

Entah sudah berapa lama, Leora berjalan menyusuri jalanan berdebu. Sesekali Leora menghela napas. Gadis itu tanpa sengaja melihat ATM setor tunai. Setidaknya ia harus menyimpan uangnya. Jangan sampai di tengah jalan ia dirampok. Bisa-bisa ia tak memiliki apapun. Nampaknya di sela kerumitan, Leora masih bisa berfikir cerdas.

Setelah menyetor tunai senilai empat puluh tujuh juta, Leora berjalan kembali. Hari sudah sore, nampaknya ia telah berjalan jauh di sebuah kampung yang asing bagi Leora. Gadis itu segera menuju warung. Perutnya keroncongan sekaligus tenggorokannya terasa kering.

"Loh, Neng. Kok bawa-bawa tas?" tanya pemilik warung saat ia menyodorkan makanan pesanan Leora.

"Iya, Bu. Lagi cari kontrakan. Em. Apa di sekitar sini ada ya?" balas Leora.

"Ada sih. Tapi sempit, Neng. Kebetulan punya ibu sendiri," jawab pemilik warung.

"Boleh! Tidak apa-apa, Bu! Tolong saya, ini sudah hampir malam," ujar Leora dengan kedua mata yang bersinar.

---

"Bella! Ben! Mama pulang," seru Leora.

"Mama!" teriakan dua bocah berumur 6 tahun terdengar menggema di seluruh ruangan.

"Aduh anak-ank mama." Leora segera memeluk tubuh mungil Bella Larasati dan Ben Ardiansyah.

"Mbak, saya pulang ya," ucap seorang wanita paruh baya. Mbak Sumi.

"Iya, Bu Sumi. Terima kasih ya, sudah menjaga Ben dan Bella. Jangan lupa, Bu. Bawa sebagian makanan yang Ibu masak," kata Leora dengan nada lembut.

"Terima kasih lo, Mbak Leora. Sudah dikasih kerjaan, dikasih makanan. Alhamdulillah." Bu Sumi berlalu.

Setelah Bu Sumi menghilang dalam gelapnya malam, Leora segera menutup pintu. Wanita yang kini berusia 25 tahun itu, segera membawa Ben dan Bella menuju ke kamar. Sebuah meja belajar dengan gambar kartun larva, kini menjadi tujuan Leora. 

Rutinitasnya setelah pulang bekerja, Leora akan menyempatkan waktu untuk mendampingi Ben dan Bella belajar. Saat ini Leora bekerja di sebuah butik dengan penghasilan tak seberapa. Akan tetapi cukup untuk kehidupan sehari-hari. 

Setidaknya Leora mendapatkan gaji selain dari menulis novel. Lagi pula pekerjaannya hanya paruh waktu. Setidaknya ia tak pernah kelaparan, sekalipun hidup pas-pasan.

Ketika jam menunjukkan pukul jam sembilan malam, Leora segera menidurkan putranya. Saat wanita itu hendak berlalu menuju kamarnya, tangan mungil milik Ben mencekalnya.

"Ma, apa aku benar-benar tidak punya Ayah?" tanya Ben.

"Benar, Ma. Mengapa kami berdua tidak pernah bertemu dengan ayah kami?" Bella pun ikut meninpali.

Leoea tersentak. Setelah kelahirannya, Ben maupun Bella tak pernah menanyakan tentang ayah. Tak sekalipun putranya itu bertanya kemana sang ayah. Mungkin saja, setelah Ben dan Bella memasuki taman kanak-kanak ia sedikit mengerti. Bagaimana bisa Leora menjelaskan, jika ayahnya sendiri tak menginginkan ia hadir di dunia ini?

"Ma?" cicit Ben. "Maafkan Ben, Ma. Maaf sudah membuat Mama sedih. Ben bobok dulu ya. Ayo, adik. Kita tidur saja. Mama pasti lelah. Selamat malam, Ma." Ben mengakhiri pertanyaannya. Bocah laki-laki itu tidur ambil memaksa sang adik agar mengikutinya.

"Selamat malam, Mama!" Bella melebarkan senyuman.

"Selamat malam, Ben dan Bella." Leora memilih pergi menuju ke kamarnya saat kedua matanya terasa buram.

Setelah sampai di kamar, Leora segera meluapkan kesedihannya. Perjuangan dalam membesarkan Ben dan Bella tidaklah mudah. Cibiran maupun makian kerap terdengar. 

Terlebih, kala itu ia hanya berada di rumah kontrakan. Akan tetapi bisa menghidupi dirinya dan Ben maupun Bella. Tentu saja dibantu uang dari mama bajingan itu. Ah, Leora lagi-lagi mengingat kejadian kelam itu.

Padahal, pekerjaan Leora sebagai menulis memiliki gaji yang lumayan setiap bulannya. Bahkan Leora masih mencari pekerjaan lain, Leora bekerja di butik hanya untuk makan dan membayar Bi Sumi. 

Namun, kebutuhan yang lainnya masih bisa dicukupi dengan tabungan yang selalu bertambah setiap bulannya. Karena jika hanya mengandalkan gaji dari menulis ataupun dari bekerja di butik, rasanya tak akan cukup.

"Sekarang, aku harus bagaimana dengan pertanyaan Ben dan Bella ketika mereka sudah bisa memahami keadaan?" cicit Leora di sela tangisnya.

Terpopuler

Comments

Siti Nurjanah

Siti Nurjanah

katakan saja kalau papanya dan keluarga papa nya TDK menginginkan biar tau rasa besok kalau anaknya udah besar

2023-05-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!