Sambil meratapi nasib yang sudah seperti anak tiri, Naya membawa kembali baju-baju yang harus ia cuci ulang ke arah kamar mandi yang berada tepat menempel di bagian dekat dapur, hanya saja letaknya memang keluar dari pintu rumah bagian belakang.
Seharian ini ia cemberut, bibirnya itu loh macam paruh bebek, tak ada gairah hidup apalagi untuk makan, layaknya manusia normal yang sedang patah hati ia mengurung diri di kamar seharian, *kali aja abis ini telornya netes* *atau pas keluar-keluar udah ganti kulit*.
Rumah dengan bergaya panggung setengah bilik ini menjadi saksi bisu kehidupan keluarga Kanaya Dewi Kusumawardani.
*Kruyukkk*---
Ayolah perut, bisakah kamu bekerja sama untuk hari ini. Anggap saja sedang berpuasa. Tapi rupanya sang perut tak mau tau---karena sejak pagi tadi lambungnya hanya diisi secentong nasi dengan lauk tumisan kangkung dan tempe goreng, sungguh bukan makanan mewah namun sarat akan gizi. Hanya saja nav suu nya itu seperti tak pandai bersyukur, bisa-bisanya ia tak ada minat dengan menu yang tersaji di atas meja makan keluarga hari ini.
Tak ada ponsel yang ia miliki sebagai alat komunikasi atau hiburan. Naya bagai hidup di jaman dinosaurus masih mainan po ker. Bukan karena ia tak *up to date* melainkan masalah ekonomi yang selalu jadi faktor utama tersendatnya keberlangsungan siklus hidup Naya.
Dengan pelan, Naya membuka pintu kamar yang sudah termakan usia. Ia mengedarkan mata diantara gelap malam, mengendap-endap bak tuyul yang hendak mencuri uang. Langkah kaki tanpa alas itu keluar dari kamar langsung ke arah ruangan yang tak memiliki ruang tamu dan tengah terpisah, dimana sosok Arif terlelap diatas kasur palembang usang dengan selembar sarung lebaran 2 tahun lalu, ia bahkan belum sempat berganti celana, masih celana seragam SD merah selutut dan kaos bertuliskan Noah. Arif, sosok pria jantan lainnya berusia 10 tahun setelah bapak di rumah ini, tidur dengan mulut yang sedikit menganga menandakan jika kenikmatan hakiki tidak harus berada di atas ranjang mahal dengan bantal bulu angsa.
Naya begitu memelankan langkah agar tak mengganggu para penghuni rumah, meski tetap saja suara decitan beberapa lantai berbahan kayu tak dapat diredam. Ia melewati Arif menuju dapur. Tapi matanya sempat menyipit melihat satu benda yang begitu jelas terlihat.
Selembar undangan berwarna putih dengan aksen salem menjadi pukulan terberat dalam kurun waktu 19 tahun ini. Awalnya ia tak berniat sama sekali untuk melihat, tapi kayanya kalo sedihnya ngga pol-pol'an, kurang bikin jos! Biarlah ia sedih hingga stok air matanya kering kaya di drama sinetron, agar setelah ini ia bisa move on. Maka ia ambil kartu undangan yang telah terbuka plastik segelnya itu dari atas buffet, entah ibu atau mungkin upa yang sudah membukanya.
Belum ia buka lembarannya saja air mata Naya sudah kembali menganak sungai bak aliran irigasi, cocok kayanya buat dijadikan sumber irigasi sawah sekampung, biar padinya ikutan asin.
"Ya Allah gusti, kuat Naya---kuat!" gumamnya dengan tangan bergetar menepuk-nepuk dada layaknya dapat ujian maha dahsyat. Melihat Nama Salman bersanding dengan nama wanita lain saja bawaannya pengen datengin dukun. Undangan indah itu begitu jelek di mata Naya, karena bukan nama dan fotonya yang tertera di sana.
...SALMAN NUHA SYUHADA...
...DAN...
...DESI FITRIANI...
...Minggu, 7 Mei 202X...
...Turut Mengundang : Bpk. Aziz...
...Bpk. Uus...
...Ust. Saepul...
...Kepada :...
...Bpk. Acep Budiman...
...Di tempat...
...Mohon maaf apabila ada kesalahan pada nama/gelar...
Ia kembali terisak begitu dalam, cerita cinta bersama Salman harus kandas di tengah jalan hanya karena sang pangeran telah dikodratkan bersama perempuan yang satu lingkungan pergaulan dengan keluarganya, bukan upik abu seperti Naya, ternyata satu visi, misi hidup saja tak cukup untuk menyatukan dua insan yang tengah dibuai dawai cinta, butuh kekayaan dan tahta demi bisa membuka mata hati, mata batin dan mata-mata duitan manusia.
Ia sesenggukan dan menangis terisak, hingga ingusnya keluar tak karuan, tak ada tissue apalagi lembaran uang untuk menyeka hidungnya, cukup dengan ujung kaos saja yang berbau masam karena seharian ia pakai, baru ingat, ia belum mandi hari ini untung saja ngga *di lalerin*. Naya menaruh kembali kertas undangan itu dan melanjutkan tujuannya menuju dapur, matanya sukses bengkak sebesar baso goreng yang merekah.
Kedua kelopak mata yang sudah lelah seharian mengurus rumah dan mencari daun cengkeh, kini harus diganggu oleh suara isakan perempuan di tengah malam. Apakah ia lelembut atau sejenisnya? Ibu sudah bersiap dengan amunisi ayat suci yang siap ia semburkan ke setiap sudut rumah.
Pintu kamar terbuka kencang, menimbulkan suara yang tak halus terkesan engsel berkarat dan ujung pintu yang telah rapuh.
"Astaghfirullah!" suara ibu membuat gadis itu cukup terkejut dibuatnya. Bagaimana tidak, ia ketauan sedang mengais sisa-sisa menu yang tersisa di atas meja kayu berbentuk persegi di dapurnya. Netra tua ibu melihat isian piring yang sudah tinggal setengahnya lagi hanya berteman sepotong tempe goreng dan garam. Bagaimana pun hati seorang ibu tetap akan luluh melihat sang anak begini.
Naya menelan kunyahannya sulit, kepergok lagi curi-curi makan itu sungguh bikin muka tebal bak kulit gajah, "bu, Naya minta makan," cicitnya.
Wanita itu menggulung rambutnya dan mengikat dengan karet bekas nasi kuning kemudian ia berjalan menuju lemari dapur, mengambil sebutir telur dari kaleng bekas kue lebaran entah tahun mana, karena warna dan gambar si prajurit kerajaannya saja sudah pudar.
Kemudian ia menyalakan kompor dan menaruh wajan diatasnya, menuangkan minyak dari dalam botol bekas sirop jeruk pemberian warung setiap tahunnya saat akan menjelang lebaran yang ibu ubah jadi tempat minyak goreng curah.
Terdengar suara cangkang telur dipecahkan dan taburan garam, tanpa banyak bicara ibu membuat gerakan kilat membalikkan telur goreng.
Sekejap telur yang masih panas dan mengucurkan minyak itu mendarat di atas piring nasi Naya.
"Makan, piring bekasnya kamu cuci, jangan ditinggal banyak tikus," ucap ibu.
Naya semakin menunduk dibuatnya, meski tak banyak berkata tapi dari sikap ibu sudah jelas terlihat kasih sayang seorang ibu tak akan lekang oleh waktu walaupun semalam ini, meski apapun yang telah dilakukan oleh putra-putrinya.
Segelas air putih ikut tersaji di samping piring Naya seiring ibu yang duduk di sebrangnya, sorot mata sayu itu menyiratkan kelelahan, "terima nasib Naya, bukan ibu melarang kamu memiliki mimpi setinggi-tingginya, tapi semuanya harus mengukur kemampuan. Apalagi untuk bisa bersanding dengan lelaki seperti a Salman. Ibu sudah mewanti-wanti sejak awal, tapi kamu tak mau dengar. Besok ibu mau bantu-bantu di rumah pak Kades, ngga enak sama warga lain kalau tidak ikut membantu. Kalau kamu memang tak mau keluar jangan keluar, jangan bikin ulah macem-macem lagi."
Naya mengangguk lemah, ibu memang ada benarnya. Ia sudah terlalu lama melanglang buana di dunia mimpi bersama Salman, jadi saat ini anggap saja jika ia baru terbangun dan jatuh ke lantai yang sukses membuat pan tatnya sakit.
Ibu sudah kembali ke dalam kamar menyisakan Naya dengan perasaan hancur leburnya, dengan cepat gadis itu menyelesaikan acara makan kemalaman, berlama-lama sendirian di tengah malam lumayan membuat nyalinya ciut, kemudian ia kembali ke kamarnya.
Ia harus segera tersadar dari keterpurukan ini.
.
.
..."*Selamat tinggal cinta pertama, mengisi waktuku memberi rasa tak terlupakan*"...
...~**Salah satu bait lirik band Flanella**~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Julia Juliawati
sabar nay dpt pengganti yg lbh dr salam khan .tuh kang andro si kasep dr othor buat naya
2024-12-02
1
Winda Kurnia
thor di audio-in oleh kak ana atau kak pimoy cocok nih cerita
2024-04-18
4
Lia Bagus
ngakak Thor 😅😅😅
2024-04-02
1