Mata Andro tajam memicing, arah tatapannya sesekali ke arah tas selempang yang sedang Naya pegangi mirip-mirip tatapan seorang jambret, "coba keluarin, kamu dapet saweran berapa, saya liat ada lembaran birunya tadi?" sebenarnya untuk apa juga Andro ngotot mau uang Kanaya, toh uangnya di dompet jelas lebih banyak, ketimbang uang receh Naya saat ini.
Sejak tadi Naya mengerucutkan bibirnya mirip penganan bernama burayot, justru itu yang membuat Andro semakin gencar menjahili Kanaya. Seolah, pada Kanaya lah ia bisa menumpahkan seluruh keusilan yang biasanya sulit ia lakukan pada keponakan atau kakaknya.
Kanaya memang cantik, Andro akui itu, dan cantik itu relatif untuk semua wanita. Tapi bukan itu yang membuat Andro tertarik saat ini pada gadis 19 tahun itu, karena nyatanya ia tak pernah mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat kecantikan seorang perempuan.
Hanya saja, pada akhirnya Andro menyadari sebuah kenyataan, jika gadis macam Kanaya patut dilestarikan, kalo bisa...Andro akan kirim Kanaya ke cagar alam.
Umumnya, gadis-gadis di sekeliling Andro yang beberapa diantaranya pernah dekat, memiliki paras cantik, pendidikan cukup tinggi, berasal dari keluarga berkecukupan, circle pertemanan sama, dan memiliki pekerjaan. Namun cukup membosankan, manja, well ! Bagi Andro itu sangatlah...biasa. Kebanyakan seperti itu, hingga membuat Andro sulit menyeleksinya karena satu tipe! Entahlah, mengenal Kanaya belakangan ini seakan membuka matanya akan karakter wanita yang berbeda, membuatnya menimbang-nimbang untuk mencari seorang pendamping yang mampu menghibur dan menjadi partner di kala ia lelah akan pekerjaan.
Kini keduanya sudah duduk sedikit menjauh dari tenda ataupun gedung acara, lebih menjorok ke pojokan dekat dengan pohon nangka.
Kanaya memicingkan matanya sinis nan singkat sebelum akhirnya harus dipaksa pasrah membalikan tas selempang miliknya lalu menggoyangkan seluruh isian tas, persis pengamen simpang lima yang lagi unboxing kantong duit hasil ngamennya. Tak banyak benda yang berjatuhan dari dalam, hanya ada liptin yang isinya sudah hampir kering, parfum murah yang isinya ia awet-awet, karena ngga tau kapan bisa beli lagi dan tissue serta dompet kecil miliknya yang isinya hanya sisa-sisa kehidupan laba-laba. Padahal maunya Naya sih muat buat bawa barang besar macam golok bapak atau clu rit buat nebas leher Salman.
Andro melihat cukup banyak lembaran yang terkumpul, ada hijau, biru beberapa, bahkan abu juga ada. Tangan besarnya mulai memunguti dan merapikan satu-persatu dengan diiringi reaksi tak rela Naya, "yahhh jangan dong pak! Seenggaknya sisain buat beli beras gitu, ngasih ibu!" pernyataan itu lolos dari mulut Naya, tapi sayangnya tak membuat si pria kaku ini menghentikan aksinya.
"Berani berjanji, harus berani menepati!" angguk Andro. Melihat wajah memelas Kanaya membuat Andro geli ingin tertawa.
Ia mulai menghitung, "10---20---wah lumayan nih!" Andro mengambil selembar biru lalu menyerahkannya pada Kanaya, "nih, buat beli beras!" sementara sisanya ia ambil dan melipatnya kemudian dengan tak berperasaan memasukan itu ke dalam saku kemeja batiknya.
Kanaya mendelik sinis, ngga apa-apa! Untung barusan udah masukin beberapa lembar ke dalem sakunya.
"Yuk jajan cingcau!" ajak Andro. Tak sulit menemukan pedagang kaki lima saat sedang ada hajatan begini, bahkan sekurang-kurangnya ada 10 pedagang yang berjejer disana menjajakan dagangannya, aji mumpung ada acara hajatan dan dangdut.
"Kang!" panggil Andro lalu menunjukan dua jarinya yang diokei oleh si akang pedagang cingcau.
Makan cingcau di bawah pohon nangka bareng Kanaya, tidak termasuk ke dalam agenda kegiatannya selama berada di Cianjur, namun nyatanya sekarang Andro menikmati itu.
Kanaya hanya mengaduk-aduk potongan cingcau hijau bersama air gula berwarna merah muda di gelasnya, namun tatapannya kosong ke arah depan. Andro meliriknya, "kenapa ngga ikhlas?"
Kanaya menggeleng, "bukan gitu pak. Hari ini saya masih bisa makan cingcau disini, ketemu ibu, upa, bapak sama Arif. Terus besok saya gimana?" ia menunduk mengamati cingcau yang sedang ia acak-acak.
Semilir angin di tengah cuaca panas siang ini, membawa kesejukan di kulit Naya maupun Andro, anak-anak rambut yang mencuat keluar dari gelungan memberikan efek menyapu kulit mulus Naya.
"Bapak tau sendiri, barusan bu Lurah udah ngusir saya dari sini kaya ngusir lalat. Belum lagi bapak saya...."
Naya jadi memikirkan jalan pintas, apakah ia harus menerima bantuan pak Agung yang ia tau pada akhirnya ia akan berujung di pelaminan bersama duda itu, mengubur semua mimpinya untuk kuliah dan membuat kampung Giri Mekar jadi desa agrowisata, memupuskan semua cita-cita dan semua harapannya yang selama ini selalu ia gantungkan setinggi langit?
"Kenapa sama bapak kamu?" Andro mengernyit penasaran.
Kanaya langsung menggeleng mantap, "ah! Engga! Ngga mungkin kan saya bilang kalo bapak saya Rhoma Irama?" tawanya berkelakar.
"Ngga lucu!" cebik Andro tertipu, lalu melanjutkan meminum es.
"Ha!" Andro menaruh gelas yang masih tersisa seperempat isinya di samping kaki.
"Saya baru inget, kalo kamu waktu kemaren nawarin buah apa? Sama ikan impun?! Gimana tuh rasanya?!"
"Maruk!" hardik Naya mencibir Andro.
Udah uang, sekarang mau juga ikan impun sama kersen, bener-bener nih laki-laki, nehi!
Andro tertawa kecil, "saya kasih uang kamu setengahnya," ia menepuk kantung saku kemeja di dadhanya.
"Tapi dengan syarat, saya mau rasain buah tadi sama ikan impun!" tawar Andro, sejujurnya ia hanya ingin tau seberapa survivenya Kanaya.
"Bapak yakin, mau makanan orang melarat? Ngga akan bikin alergi kan, orang kota makanin yang begituan?!" tanya Naya menyebalkan dengan wajah nyinyirnya.
Andro membalas tak kalah smirknya, "ya gampang, kalo saya kenapa-napa, paling kamu orang pertama yang saya cari!"
Si al banget! Naya mencebik lalu dalam gerakan cepat ia menghabiskan seluruh es cingcau di dalam gelasnya.
"Ya udah! Buru! Mumpung masih ada waktu!" Ia bangkit dari duduknya lalu mengajak Andro.
"Tapi saya nyari dulu upa, keponakan saya, biar ada temen yang bisa bantuin. Saya ngga yakin soalnya kalo bapak bisa bantuin! Yang ada bapak malah jadi beban!" ujar Kanaya, sontak saja setujunya Kanaya membuat sebuah senyuman mengembang di wajah Andro. Pembalasan yang kedua, sebelum besok saya benar-benar pulang!
"Yuk! Mau cari dimana?" tanya Andro.
Kanaya mendelik lalu menunjuk lubang hidungnya, "disini!" ia tertawa.
"Upa!" Kanaya menepuk tangannya memanggil sang keponakan yang sedang bermain bersama anak lain.
"Ceceu!" balasnya berteriak dan berlari ke arah Naya dan Andro, bocah perempuan ini mengernyit dan menatap asing pada Andro yang tersenyum tipis padanya.
"Ceceu itu siapa?" bisik Upa mencicit seperti tikus, bersembunyi di samping lain dari Naya.
"Ini bapak-bapak!" jawaban Naya sontak membuat Andro terkesiap, "saya belum jadi bapak-bapak."
Upa tertawa kecil, "bapak-bapak, kaya pak Lurah? Tapi kok kaya om Salman," jawab upa polos.
Naya menghela nafasnya lelah, *nama itu lagi---nama itu lagi, baru ngasih boneka barbie murah dan martabak sekali aja namanya selalu diingat upa*, Naya merotasi bola matanya.
"Upa dengerin ceceu," ia menangkup kedua pundak keponakannya seraya berjongkok, menyamakan tingginya dengan Upa.
"Jangan pernah sebut-sebut lagi nama om Salman, nanti ceceu dimarahin abah sama enin, dimarahin pak lurah juga." Upa mengangguk, mungkin bagi Upa, moment bersama Salman lah yang cukup indah untuk ia kenang selain dari abah yang terkadang memarahinya. Ia tak pernah memiliki kenangan bersama seorang pria dewasa, terkhusus seorang *ayah*.
"Jadi, om Salman ngga akan pernah ketemu upa terus bawain upa martabak sama boneka barbie lagi?" tanya gadis kecil yang kini berwajah memelas itu.
Naya merasa pasokan oksigennya habis saat itu sampai ia harus menghela nafas kasar ke lain arah, "Upa, dengerin ceceu....kalau upa mau boneka, mau martabak, nanti ceceu beliin! Sebanyak yang upa mau! Tapi jangan pernah inget lagi om Salman, nanti ibu Desi-nya marah, oke? Janji sama ceceu?!" Naya menyodorkan kelingkingnya ke depan wajah polos nan lugu Upa.
"Janji."
Dan semua moment itu tak luput dari pandangan Andromeda, sedikit-sedikit ia bisa menarik benang merah masalah hidup Kanaya, dan semakin penasaran dengan kehidupan gadis ini.
"Upa, nama kamu upa?" tanya Andro ikut berjongkok, Puspa memang tak sebesar si kembar juga tak sekecil Arion, tapi ia pernah mengalami menjadi babysitter para keponakan kembarnya saat usia sebesar Puspa.
Upa mengangguk.
"Namanya Puspa, pak!" jawab Kanaya.
"Upa. Saya Andromeda, mau panggil om boleh---"
"Upa mau boneka barbie? Mau martabak?" tanya Andro, tentu saja gadis kecil ini mengangguk mantap meski awalnya ia takut menatap sosok asing Andro dan melihat ke wajah Naya, seolah meminta ijin. Tak mau sembarangan mengiyakan ajakan orang asing.
Andro melihat arloji di tangannya, "kalau jam segini, martabak kayanya belum ada---biasanya sore kan ya?" Andro melirik Naya, yang diangguki Naya.
"Kalau sekarang bantuin dulu ceceu-nya mau ngga? Nanti om Andro beliin boneka sama martabak?" tawar Andro.
"Mau, bantuin apa?" tanya Upa.
Awalnya Kanaya tersenyum lebar, namun sedetik kemudian wajahnya mulai merasa asin dan kecut, kemudian ia berbisik pada Andro, "sebentar! Ini nantinya ditagih ngga nih?!" Kanaya menoleh dengan raut wajah khawatir.
Andro menarik senyuman usilnya.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
aas
wkwkw carinya yg kaya mama shania sama gale yaa 😂😂
2025-03-07
0
Land19
hahah dikatain Maruk
🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2024-10-15
0
Lia Bagus
utangnya nambah lagi ya nay😅😅
2024-04-03
3