12

Ditengah zona simulasi itu, seorang pria gemuk berbadan besar terlihat tengah bertatap muka dengan seorang gadis cantik berambut hitam panjang.

Gemerlap sorotan lampu diiringi sorak sorai penonton yang menggema menunjukkan bahwa mereka sedang berada ditengah stadion zona simulasi.

“Berjuanglah!”

“Kerahkan seluruh kemampuanmu, nona!” sebagian besar penonton tampak memihak pada sang gadis.

Lalu karena perselisihan yang terjadi, kedua pihak itupun mulai mempersiapkan dirinya untuk sebuah duel.

“Kami guild Tinju Besi sudah ada sejak akademi ini didirikan. Apa rencanamu dengan ruangan kami setelah menghancurkannya nanti?” pria itu bertanya pada sang gadis dengan nada tinggi.

“Gedung pelatihan pribadi. Karena gedung kelima terasa begitu sempit, aku butuh gedung keenam untuk menyelesaikan rencanaku.” Jawab gadis itu dengan nada tenang.

“Jangan main-main! Gedung itu dipenuhi semangat sejarah yang diteliti oleh leluhur. Kau sebut dirimu ksatria meski itu?” pria itu marah besar mendengar jawaban tak memuaskan dari gadis tersebut.

Fiuhh...

Gadis itu menghela nafas. Sebuah guild yang hanya beraktivitas dengan menirukan para pendahulu dan melakukan pemborosan akan anggaran yang diberikan akademi, sang gadis tidak ingin perkumpulan seperti itu tetap berdiri di akademi ini.

“Tanpa pencapaian besar dalam beberapa tahun terakhir, guild yang hanya terpaku pada kejayaan masa lalu tak ada gunanya di akademi Meeden!” tanpa basa-basi lagi, gadis itupun mulai serius dan menunjukkan tujuan yang sebenarnya.

Sebagai salah satu dari anggota sepuluh peringkat terkuat, dirinya memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga akademi agar tetap berdiri dalam visi misinya. Dan tanpa membandingkan dirinya dengan para anggota yang lain, gadis itu terus memenuhi kewajibannya dengan tekad miliknya.

“Kau pikir bisa bertindak sesukamu? Aku tidak akan membiarkanmu lagi! Jika aku menang, turunlah dari kursi peringkat sepuluh terkuat. Ayo Duel, Luna Luminaries!” pria besar itu telah mengambil sikap bertarungnya.

“Baik, jika aku menang, aku akan melanjutkan rencananku! Kita telah sepakat loh, senior!”

Gadis itu, Luna Luminaries, kursi kesepuluh dari sepuluh peringkat terkuat mulai memasuki mode bertarungnya.

***

Sambil menikmati sarapan yang telah disiapkan oleh nenek Ryano, perbincangan mereka masih berlanjut ditempat dan dengan topik yang sama.

“Ngomong-ngomong hebat juga dirimu ingin merebut kursi ketujuh.” Erna kagum dengan keberanian Meiga.

“Itu gila loh, Mei.” Saaya khawatir.

“Saaya, kurasa dia ini hanya orang bodoh loh.” Sedangkan Schnee mengejeknya.

“Selain itu, kau tidak bisa berbuat sesukamu –Obi menambahkan sedikit– ada tiga syarat untuk melakukan pertarungan. Pertama, wajib akan adanya seorang wasit. Kedua, keadilan dalam pertarungan. Dan ketiga, kesepakatan kedua penantang dalam pertarungan. Itulah syarat tantangan formal.”

“Wahh... Merepotkan sekali.”

“Tapi disisi lain, selama ketiga syarat itu terpenuhi, kau bisa menantang siapapun untuk bertarung. Siapapun yang menentangmu harus ditaklukkan dengan kekuatan! Tradisi bertarung di akademi itu disebut...”

DUEL!

“Juri telah memutuskan, Luna Luminaries sebagai pemenang Duel ini!”

Sorak Sorai penonton seketika langsung bergema saat komentator mengumumkan hasil pertarungan tersebut. Fakta akan kekuatan dari sepuluh peringkat terkuat akhirnya sedikit demi sedikit mulai menampakkan wujudnya.

“Apa? Aku dikalahkan secara telak? Guild, bagaimana dengan guildku?” pria besar itu mulai berlutut tak berdaya dihadapan Luna yang sedang berdiri menunjukkan sosok anggunnya.

Ekspresinya yang biasa saja itu mengatakan bahwa kemenangan itu sudah sewajarnya. Dan seakan tidak akan ada yang dapat menghalanginya, Luna sebenarnya telah menyiapkan kelangsungan rencananya.

“Ya, ini aku. Lanjutkan rencananya!” Luna berbicara lewat telepati kepada orang-orang yang ikut serta akan rencananya. Tidak hanya itu, dia bahkan memproyeksikan apa yang sedang terjadi pada guild tinju besi lewat layar besar yang ada dalam zona simulasi.

“Berhati dingin, sangat tidak manusiawi!” dihadapan kekuatan mutlak, pria besar itu hanya bisa meratap tak berdaya. “Inikah, kekuatan dari sepuluh peringkat terkuat?” ketidakadilan, di dunia tersebut tidak ada istilah tersebut. Siapa yang kuat, maka dialah pemenangnya.

“Selamat tinggal!

....

Beberapa saat setelah perbincangan mereka diruang makan, Meiga bersama Saaya berangkat bersama ke akademi.

“Duel ya? –Meiga membuka pintu asrama– Padahal aku juga ingin menantang peringkat sepuluh terkuat suatu saat nanti.” Gumamnya masih terusik dengan pembicaraan barusan.

“Mustahil kau bisa menang loh.” Saaya gugup karena khawatir Meiga akan melakukan hal yang sembrono.

Lalu, dibalkon lantai dua asrama, Obi terkekeh sambil mengawasi mereka berdua. “Mulai sekarang, situasinya akan menarik. Dia pasti akan memiliki catatan yang luar biasa.

Bagaimanapun dia bertarung dengan seimbang melawanku, kursi ketujuh dari sepuluh peringkat terkuat. Kau juga berpikir seperti itukan, Kuo?”

“Cihh, membual terus. Kau bahkan tidak mengerahkan kemampuanmu dan hanya menggunakannya teknik-teknik dan senjata biasa. Gaya bertarungmu malam itu, bukankah itu terlalu aman untuk orang sepertimu?”

Sebagai salah satu orang yang mengenalnya dengan cukup dalam, Kuo sama sekali tidak senang dengan cara berpikir Obi yang seperti itu. Ia pun hanya bisa menggerutu karena tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya untuk menghadapi sikap Obi.

“Apa maksudmu? Aku benar telah mengerahkan kemampuanku malam itu.” Obi menolak pemikiran Kuo tersebut.

“Kau aneh, senior.” Ucap Kuo sembari meninggalkan tempat tersebut.

Mei, saat bertarung denganmu aku punya firasat. Kau adalah pemula yang akan memicu era baru pertarungan diakademi ini!

Sambil mengawasi mereka dari kejauhan, keyakinan itu semakin tak terbantahkan didalam hati Obi.

....

“Kerja bagus, Luna!” Iris menunggu Luna dipintu keluar zona simulasi. Dari posisi tangannya dilipat dan tubuhnya yang bersandar pada pintu tersebut, sepertinya dia sudah cukup lama menunggu Luna.

“Dengan lawan seperti itu, biasa saja. Itu jauh dari mudah. Orang yang tak sempurna tidak dibutuhkan diakademi ini. Siapa target berikutnya dalam daftar?”

“Ini.” Iris memberikan selembar kertas yang dipegangnya pada Luna.

Tak, tak, tak...

Seseorang terdengar sedang berjalan mendekati mereka yang baru keluar dari zona simulasi. Luna dan Iris yang menyadari itu berhenti dan melihat kedatangan orang tersebut.

“Nona Luna, kenapa tak biarkan saya bertarung? Tak perlu membuang waktumu dengan kroco-kroco itu. Dengan senang hati saya akan mengisi peran itu untuk anda.” Dia yang berbicara pada Luna ditengah lorong itu adalah seorang gadis berkulit gelap dengan badan yang cukup seksi.

Dari suaranya yang agak serak dan rambut perak pendek yang dikuncir itu menciptakan kesan tomboi yang cukup kental terhadapnya.

Pandangan Luna menatap tajam kearah gadis tersebut. Lalu dirinya mulai menanggapi sang gadis. “Ya, kurasa itu menarik. Tapi kuharap kau mengerti konsekuensinya.” Luna menegaskan pada sang gadis tersebut.

Gadis itu tampak begitu senang bahkan merasa terhormat saat mengetahui Luna mau mempercayai dirinya. Dan sambil memainkan belati ditangannya dengan sangat lihai, gadis itu mulai menjilat bibirnya layaknya seseorang yang sudah tidak sabar ingin mencicipi sebuah makanan.

Lalu dengan nadanya yang sombong, dia menyatakan. “Mereka memanggilku sang pemotong. Aku akan meraih kemenangan sempurna dan hidup sesuai nama itu!”

.

.

.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!