Esok harinya, semua berkumpul setelah membereskan tempat bermalam mereka. Ya, perjalanan akan dimulai kembali. Mereka yang dipersatukan oleh misi yang sama semakin mengobarkan semangat.
Namun, di sisi lain Ellena merasa sedih, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Varl yang sedari tadi memasang peralatan di tubuh Manu pun menoleh. Ia sadar bahwa gadis dari dunia lain itu tengah bersusah hati.
“Kenapa kau cemberut? Apa Steven menolak cintamu?” goda Varl seraya masih mempersiapkan barang di atas punggung Manu. Ia terkekeh dan berpikir akan reaksi Ellena seperti apa.
Kedua pipi Ellena pun memerah semu. Kedua matanya melotot pada Varl yang seenaknya berkata tanpa fakta sementara Steven malah berteriak. Ia saat ini tengah digoda oleh Yuya, sama seperti saat Varl pertama kali bertemu dengan gadis kecil yang sangat nakal itu.
Namun, bukan Ellena yang membalas kalimat Varl, tetapi Leonie.
Buk!
Ia meninju perut Varl. Meski tidak keras, tetapi Varl sempat terbatuk-batuk karena terkejut dengan tindakan Leonie yang mendadak itu.
“Jangan bicara yang sembarangan, Varl! Dia itu ras tertinggi, kau jangan main-main dengannya!” Leonie membekuk leher Varl. Lengannya yang besar tak melepaskan Varl sedikit pun.
Uhuk!
Varl terus terbatuk dan mencoba untuk melepaskan diri dari singa betina yang bergelar Raja Hutan Kutukan itu. Namun, ia tak bisa. Lengan Leonie terlalu kuat baginya meskipun Varl adalah seorang pria dan Leonie hanya seekor singa betina. Namun sungguh, perbedaan kekuatan mereka sangat signifikan.
“Lantas, apa yang membuatmu sedih, Ellie?” tanya Mae yang sedari tadi diam. Gadis elf itu juga penasaran karena sejak sarapan tadi wajah Ellena tampak pucat. Padahal sedari semalam Ellena amat bersemangat dan menikmati petualangan ini. Lantas, apa yang membuat tatapan Ellena sendu?
“Aku.” Ellena melirik pada Hanae yang saat ini tengah bermain dengan Momo yang melingkar di lehernya. Meski tidak lebar, tetapi senyum Hanae seperti menandakan bahwa gadis itu tengah berbahagia sekarang. “Kau akan berpisah dengan kami ‘kan, Hanae?” tanya Ellena langsung ke intinya pada Hanae.
Sontak saja Hanae berhenti melakukan aktivitasnya dengan Momo.
“Berpisah? Kenapa?” Hanae kebingungan dengan pertanyaan Ellena yang tidak pernah terlintas di pikirannya.
“Loh, bukannya Berkahmu sudah kembali?” Ellena mengingatkan. “Alasanmu mengikuti kami sampai di sini bukannya karena kau ingin bertemu dengan Ratu untuk membebaskan kutukan itu?”
“Benar.” Mata Hanae melirik ke semua teman-temannya dan ia sama sekali tidak menafikan bahwa tujuan utama dirinya ikut adalah karena ingin bertemu Charlotte untuk membebaskannya dari kutukan. “Berkahku memang kembali, tapi aku tidak berniat berpisah dengan kalian.”
Kedua netra Ellena melebar. “Benarkah?” Ia sangat senang mendengarnya sampai meminta validasi yang lebih meyakinkan.
Hanae pun mengangguk. “Ya, tentu. Alasan pertamaku gabung dengan kalian adalah karena kita memiliki misi yang sama, tetapi ternyata Berkahku pulih lebih cepat karena Ellie dan aku tetap akan bersama kalian untuk bertemu dengan Ratu!”
Semuanya pun bersorak bahagia. Memang ini party yang sudah lengkap. Tidak ada yang perlu pergi karena kelompok ini sudah sempurna.
Tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, mereka pun kembali berjalan untuk menjalankan misi. Mereka menembus gelapnya hutan, menerjang badai, bahkan melewati halang rintang jebakan yang dibuat oleh Charlotte.
Mendadak saja, di tengah perjalanan terdengar kembali nyanyian Penyihir Buta yang dilantunkan oleh Charlotte. Namun, lantunannya lebih keras dan seakan mengirimkan nada ancaman meski lirik yang dinyanyikannya tetap sama.
Suara Charlotte menggema, bahkan di tengah hutan ini masih terdengar betapa Charlotte seperti merasa terganggu. Lantunan melodi yang ditemani oleh harpa membuat orang-orang Everfalls bertanya, kiranya siapa yang membuat Charlotte merasa terusik.
Dan jawabannya tentu pada Ellena dan teman-temannya yang saat ini tidak menyadari betapa terganggunya Charlotte. Mereka hanya menikmati merdunya suara sang Ratu tanpa memahami makna di baliknya.
Ya, di sisi lain. Istana Charlotte ramai. Mulai dari pelayan, hingga prajurit wanita merasa cemas akan kondisi Charlotte yang berdiri pada podium. Ia berdiri di tengah-tengah lapangan upacara untuk persembahan.
Ia bermandikan cahaya rembulan. Gaunnya yang hitam karena kutukan keabadian tidak berkilau sama sekali, menyimpan banyak kesedihan di sana. Begitu pula Charlotte. Maniknya yang perak seperti kehilangan cahayanya sendiri.
Di tengah podium itu, Charlotte terus bersenandung. Jemarinya memetik harpa dengan lentik. Sebenarnya, Charlotte ingin menangis acapkali menyanyikan lagu Penyihir Buta ini. Namun, ia juga seperti kehilangan arah.
Hati Charlotte semakin mati. Ia tak merasakan apa pun lagi. Tempo hari ia mendengar suara tawa makhluk lain di luar istananya membuat ia murka. Tawa mereka terdengar mengasyikkan, tetapi Charlotte semakin memenjarakan dirinya sendiri.
Seluruh pelayannya menatap sendu, mereka ingin menghentikan sang Ratu Agung. Namun, tak ada yang memiliki kekuatan untuk sekadar menghentikan Charlotte yang terus memaksakan dirinya.
“Ratu... berhentilah menyiksa diri,” sedih salah satu pelayan pribadinya.
“Aku sedih melihatnya terus menyanyi sementara penyelamatnya tidak datang-datang.”
“Ratu seperti terpenjara dalam dirinya sendiri.”
“Aku sangat sedih.”
Beberapa pelayan bahkan meneteskan air mata mereka yang berubah jadi mutiara. Mereka berusaha menghentikan itu, tetapi melihat kesedihan Charlotte dari matanya yang meredup membuat sesak dada mereka.
Di sisi lain, seorang pria berjanggut dengan perawakan besar berdiri dengan kesal. Ia mengepal tangannya. Giginya mengerat. Pria dari ras orc tua itu mendecap beberapa kali. Pemandangan yang ia lihat saat ini sangat menyakitkan.
Ia sudah tak sanggup lagi. Tanpa berpikir ulang, ia pun bertekad untuk mengambil tindakan dengan cepat. Ia yakin bahwa keputusannya kali ini sudah benar.
“Tenang saja, Yang Mulia. Saya akan segera menyingkirkan hama-hama yang sebelumnya tidak bisa ditemukan oleh anak buahku!” katanya di dalam hati. Ia pun angkat kaki dari istana dan menyiapkan pasukan yang semuanya adalah wanita.
Ya, hanya orc itu yang seorang pria di istana awan Charlotte. Ia adalah komandan tetap yang mendapat Berkah sebagai prajurit istana. Punggung tangannya terlukis tameng dan dua pedang menyilang di depannya.
Ia sudah ditakdirkan sebagai prajurit tetap istana. Orc tua itu tak akan pernah berkhianat meski dirinya sebagai seorang pria, terlebih seluruh hidupnya sudah dipertaruhkan demi istana kerajaan.
Semenjak ia lahir, hidupnya hanya didedikasikan untuk istana Charlotte. Sampai kapan pun, ia adalah prajurit istana hingga akhir hayatnya.
“Mari semuanya bersiap!” komandonya pada prajurit wanita dari berbagai ras yang sudah ia latih sedemikian rupa. Bahkan, ada yang ototnya melebihi dirinya.
Sekitar dua puluh prajurit wanita terjun ke lapangan untuk ‘memberantas hama’ yang mengganggu kedamaian Charlotte.
Orc itu pun menyeringai puas. Ia sudah duduk di atas punggung kuda hitam bersayap. “Aku akan menyampaikan salam kalian pada Ratu!” Seringainya semakin buas. Ia seperti membayangkan bagaimana tangannya siap melenyapkan siapa saja yang menyakiti Charlotte.
“Impetum!” teriaknya pada prajurit terlatihnya yang berarti ‘serang’. Semua pun bersorak. Kemudian, mereka berbondong-bondong terjun ke bawah untuk menemukan hama itu dan berniat untuk menghancurkannya.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments