Malam tiba.
Hanya terdengar beberapa hewan yang bersiul menemani sepinya malam. Mereka menjadikannya sebagai melodi alam yang begitu harmoni. Awan gelap dengan taburan bintang yang berkelip-kelip menambah keindahan tersendiri. Bulan juga tak mau kalah, sinarnya yang terang memberikan harapan kedamaian bagi seluruh makhluk Wolestria.
Hawa dingin berembus, tetapi sangat sejuk. Beberapa hewan kecil mendekat pada tenda-tenda yang didirikan oleh party atau tim Ellena. Sebab, saat ini mereka tengah memasak banyak makanan.
Para tupai malam, kupu-kupu, ular, bahkan penghuni hutan lainnya duduk menanti dengan ‘pesta’ dadakan ini. Padahal, sebenarnya Ellena tidak berniat mengundang mereka, tetapi ikan di sungai tersebut benar-benar melimpah.
Tak hanya itu, hutan yang berada di atas bukit tanpa nama ini memang jarang sekali dikunjungi oleh ras biasa sebab Charlotte telah memasang jebakan yang hanya bisa ditaklukkan oleh ras dengan Berkah tinggi.
Bau harum makanan begitu lezat, mampu membuat lidah berlumur air liur. Sudah tidak sabar. Namun, Varl masih terus mengaduk kendi dengan sup yang asapnya sudah mengepul, membawa bau kelezatan tersendiri.
Ah, kendi itu memang sudah ada di dalam tas Varl si pengembara yang sudah dimodifikasi dengan sihir. Meski tas ajaib miliknya itu tampak kecil, tetapi mampu diisi ribuan benda mulai dari yang kecil sampai besar sekali pun. Fantastis!
“Cepatlah, Varl! Berapa lama lagi kami harus menunggu?” tanya Leonie tak sabar, di sampingnya para tupai liar, ular melata, Momo si Quinkana kecil, dan hewan lainnya memandang dengan mata yang lapar. Lidah mereka juga sudah meneteskan saliva. Sungguh, sangat menggoda bau makanan yang dibuat oleh Varl.
“Iya, Paman! Cepatlah sedikit, Navi juga mau makan!” Yuya ikut protes atas masakan Varl yang terlalu lama. Ia mengelus Navi si tarantula yang berbulu.
Melihat itu, Varl bergidik ngeri. Ia berusaha secepat mungkin menyelesaikan pekerjaannya agar Yuya tidak melakukan hal yang membuatnya tak bisa tidur nanti malam. Bulu tipis milik Navi membuatnya merinding, ia tak bisa bayangkan jika kulitnya bersentuhan dengan tarantula super besar itu.
Beberapa kali Varl menyendok sup, mencicipinya. Kiranya kurang asin, ia akan menambahkan esensi laut yang menurut di dunia Ellena bernama garam. Jika pun kurang manis, ia akan membumbui lagi dengan esensi dari ekstrak buah seperti tebu dan semacamnya.
“Ya, ya. Ini sudah jadi,” kata Varl setelah masakannya dirasa pas. Ia pun menuangkan satu persatu ke dalam mangkuk kecil.
Sup ikan dengan sayuran sudah jadi! Uh, begitu menggoda hingga membuat lidah bergoyang asyik.
“Yeay, akhirnya kita makan!”
“Selamat makan!”
Semuanya menyerbu, tak terkecuali. Melihat itu, hidung Varl seakan memanjang. Ia menyeringai dengan puas, berbangga hati.
Di sisi lain, sepasang mata cemburu menatapnya. Ia masih memegangi mangkuk kecilnya seraya menaruh iri di hati. Siapa lagi jika bukan Steven. Melihatnya memendam kekesalan, Varl melirik pada Steven.
“Hehehe, bagaimana? Aku keren, bukan?” Varl menggesek ujung hidungnya yang mancung, merasa bangga. Ia memamerkan seberapa hebat dirinya dibanding Steven yang hanya berperan sebagai putra mahkota manja.
“Ya, ya. Aku akui kau hebat.” Steven membalas dengan sungkan. Kemudian, ia melangkah maju untuk mendapatkan sup sebab ini sudah gilirannya.
Semua pun makan dengan lahap sampai perut mereka sedikit membuncit. Beberapa kali suara sendawa terdengar lolos. Ah, sungguh hari yang melelahkan dan juga makanan yang sangat mengenyangkan. Ini nikmat yang patut disyukuri.
Hari semakin malam, semua kembali ke tenda masing-masing. Sementara hewan-hewan tadi yang menjadi ‘tamu’ sudah kembali ke habitatnya juga.
Saat ini, Ellena tengah berbaring dengan Ruby dan Yuya di dalam tenda. Namun, tatkala Ellena hendak memejamkan mata untuk mengistirahatkan dirinya, ia mendengar seseorang keluar dari tenda mendekat ke api unggun yang masih berkobar karena Berkah dari Ruby The Fire.
Ellena pun melongok, mengintip keluar dari dalam tenda. Ia terkejut tatkala melihat Hanae tengah duduk di dekat api. Melihatnya seperti itu, Ellena hendak bertanya. Namun, saat Ellena baru membuka mulut, Hanae bangkit dengan penuh semangat.
Tangannya mengepal kuat. Meski begitu, Ellena tidak melihat bagaimana ekspresi Hanae saat ini sebab gadis itu memunggungi tenda Ellena.
Kemudian, Hanae berjalan entah ke mana. Sangat mencurigakan. Tanpa ragu, Ellena yang selalu penasaran itu pun membuntuti Hanae tanpa sadar. Tubuhnya seperti bergerak sendiri dan ia tak dapat menolaknya begitu saja.
Suasana sekitar hutan memang sepi dan gelap, apalagi jika sudah menjauh dari api unggun. Rasanya mata tidak bisa melihat seketika. Namun, Ellena terus mengekor, mengikuti ke mana Hanae pergi menggunakan instingnya.
Gadis dengan ikat kepala yang dihiasi bulu burung itu memang keluar tak jauh dari lingkup tenda teman-temannya. Sehingga Ellena masih bisa melihat gerak-gerik Hanae yang tangannya mulai memunculkan panah besar andalannya setelah gadis The Archer itu merapalkan mantra.
Kemudian, Hanae juga memanggil busurnya dengan rapal sihirnya. Panah besar dengan ukiran kayu dan hiasan bulu elang menjadi panah khas milik Hanae. Gadis itu mengarahkan busurnya pada sebuah pohon besar di ujung sana yang berjarak sekitar 1 kilometer.
Apa?
1 kilometer?
Ellena tercengang. Ia juga baru sadar bahwa matanya bisa menembus dan tahu mana target yang dituju oleh Hanae. “Kenapa tiba-tiba mataku tertuju pada pohon besar berjarak satu kilometer itu?! Apa mataku mengalami peningkatan?!” batin Ellena. Ia sebenarnya tidak yakin akan hal itu, tetapi ia sadar bahwa matanya lebih jernih dari sebelumnya!
Sementara Hanae masih membidik. Netranya menyipit satu untuk memfokuskan antara ujung anak panahnya dengan target yang berada jauh di depan sana.
Wus!
Anak panah itu melesat dengan cahaya biru terang yang menyelimutinya. Sudah pasti itu sihir milik Hanae. Kedua mata Ellena pun berbinar, ini sungguh luar biasa!
Senyum Ellena juga perlahan mengembang, ia menaruh keyakinan pada Hanae yang menatap tajam pada anak panahnya yang melesat cepat itu. Namun, tatkala anak panah berbalut sihir itu hampir beberapa meter sampai di pohon besar tersebut, tiba-tiba saja ia berbelok ke bawah. Melemah.
“Cih.” Hanae kecewa. Ia sudah tahu bahwa ini akan terjadi. Meski dirinya sudah menyiapkan ruang di hatinya untuk kekecewaan, tetapi ia tidak bisa terima begitu saja. Kesal.
Hanae pun melihat tanda Berkah di punggung tangannya dengan tatapan penuh kebencian. Hatinya sengit, ia muak dengan nasib yang menimpanya.
“Aku sudah tahu jika ini akan terjadi! Tapi kenapa kau membuatku seperti menjadi makhluk yang tidak berguna?!” teriak Hanae. Suaranya begitu lantang, menggema di hutan nan gelap ini.
Ia terisak, tetapi bulir beningnya tak dapat keluar. Hatinya sudah mati sebagaimana Berkahnya yang mulai tak berarti. Hanae kehilangan cahaya hidupnya. Ia kesal.
“Aku harus segera menemui Yang Mulia Ratu! Atau... atau aku tidak akan pernah hidup lagi!” Hanae semakin terisak. Ia sudah lelah dengan semua ini. Baginya, untuk apa hidup di Wolestria sedangkan Berkah yang menjadi hidupnya perlahan direnggut oleh sihir kutukan dari penguasa tanahnya, Sinu.
Saking bencinya ia mengingat masa-masa pelariannya dari pemimpin bertangan besi itu, Hanae berniat melempar busur Berkah yang baginya tak berguna. Ia mengangkat tangannya, siap melempar dan berharap busur itu patah.
Namun, Ellena menahan lengan Hanae. “Hentikan!”
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments