Awan jingga menghiasi langit Everfalls. Burung-burung kecil beterbangan menuju sarang masing-masing untuk kembali kepada keluarga mereka dan bersiap untuk menyambut hari esok lagi.
Angin segar begitu lembut menyapa kulit. Saat ini, Manu dan Ruby terbang standar. Mereka mengepakkan sayap dengan perlahan dan menikmati begitu hangatnya mentari senja setelah melakukan perlombaan di atas awan ini. Tak hanya baskara yang bersembunyi di ufuk barat saja yang terlihat indah dan menenangkan, tetapi awan lembut dan angin Everfalls juga sungguh mendamaikan.
Tidak ada gelisah, angin itu membawa kesegaran tersendiri. Keringat yang tadi mengucur deras akibat permainan kecil pun kini mulai mengering. Meski Everfalls dikenal sebagai Negeri di Atas Awan, tetapi lembut anginnya juga menjadi khas negeri ini.
Mereka terus menghadap pada baskara yang perlahan mulai terbenam di belakang istana Charlotte. Sangat luar biasa. Kicauan burung menjadi melodinya. Semburat mega tampak menghias, semakin membuat langit menjadi indah.
Ah, Everfalls adalah surga dunia. Pemandangannya, keharumannya, bahkan suasanannya memberikan ketenangan bagi penghuninya seakan tidak ada yang namanya kesusahan hati walau sebenarnya rakyat Everfalls menanti kepulangan sang ratu.
Wus.
Perlahan, angin berembus menyentuh kulit. Sungguh sebuah keberkahan yang sangat mendamaikan hati. Ellena memejamkan matanya, merasakan lembutnya angin yang menerpanya. Bau harum senja juga memberi kedamaian tersendiri bagi Ellena.
“Miko, kau harus melihat ini. Sungguh, Everfalls sangat indah. Maha Suci Sang Pencipta,” batin Ellena seraya memuji Tuhan pencipta alam yang telah membuat semesta yang begitu indah.
Seperti surga.
Ya, keindahan ini mungkin hanya seujung surga saja. Namun, sedikit keberkahan ini membuat Ellena bersyukur karena memiliki kesempatan untuk bertualang di dunia Wolestria yang memang seperti surga dunia.
Setelah beberapa saat mereka menikmati senja sambil mengeringkan keringat, mereka pun mendarat di sekitar sungai jernih di dalam hutan. Ya, tepat sekali di bawah mereka sebuah sungai bersih mengalir. Sungai tersebut memiliki tujuh air terjun kecil.
Suara gemerciknya saja mampu membuat badan terasa segar, apalagi saat mereka benar-benar menyelam di air sungai tersebut.
“Ternyata lelah juga, ya.” Ellena membaringkan tubuhnya di atas tanah seraya menatap langit senja yang amat indah. Begitu pula Manu, Momo, Ruby, Yuya, Mae, dan Hanae. Mereka semua mengatur napas sembari merasakan betapa hangatnya cahaya mentari yang mulai terbenam.
Mereka tidak langsung menyerbu air sungai itu. Namun, mereka beristirahat sejenak di tepian sungai.
“Apa kamu menikmatinya, Ellie?” tanya Ruby.
“Hm, tentu. Jika memang ini hanya sekadar mimpi, maka aku tidak ingin bangun lagi, Ruby.” Ellena berharap bahwa ia akan senantiasa hidup di dunia yang indahnya bagai ujung surga. Ia teringat bahwa dirinya tidak bisa tinggal lama di Wolestria. Material tubuhnya akan hancur jika ia berlama-lama di sini. Padahal, Wolestria adalah surga kecil yang indah bagi Ellena.
Sungguh, jika boleh memilih, Ellena ingin jadi bagian Wolestria meski ia tidak memiliki Berkah apa pun seperti yang lain. Dunia ini terlalu nyaman baginya. Ellena seperti tengah mengistirahatkan jiwanya di dalam surga ini.
“Kau... tampaknya tidak terbiasa dengan pemandangan ini, Ellie?” tanya Mae seketika. Ia bangkit dari rebahannya, disusul Hanae dan Yuya. Gadis itu merasa aneh karena Ellena seperti orang yang tidak pernah melihat Wolestria saja. Reaksi Ellena juga terlalu berlebihan baginya sehingga gadis elf itu bertanya demikian.
Semua mata pun tertuju pada Ellena. Sontak saja gadis itu menjadi panik. Ia ikut bangkit, lalu melirik pada Ruby, meminta persetujuan apakah saatnya Ellena membocorkan identitasnya atau belum. Ruby pun mengangguk sebagai jawabannya.
Senyum Ellena mengembang, kini ia tak perlu lagi menyembunyikan apa pun pada teman-temannya. Sebelum Ellena menyatakan identitasnya, ia menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, mencoba untuk mempersiapkan dirinya. “Ya, sebenarnya aku memang bukan berasal dari dunia ini.” Tatapan Ellena lurus ke sungai yang mengalir dengan deras. Beberapa ikan sesekali melompat.
Sementara teman-temannya yang lain melotot lebar. Bahkan, mereka meneguk saliva secara bersamaan.
Glek.
“K-kau bukan dari dunia ini?! J-jangan bercanda, Ellie!” Hanae tak mempercayai itu. Selama gadis itu hidup, ia hanya percaya bahwa Wolestria adalah satu-satunya dunia yang ada. Jadi, mana mungkin ada makhluk asing yang berasal dari dunia lain? Apakah dunia ini memiliki banyak ‘dunia’ yang bermacam-macam? Sebenarnya, seberapa luas dunia ini?
Namun, Ellena mengangguk untuk menjawab pertanyaan Hanae. “Ya, kau tahu bukan, bahwa aku tidak memiliki ‘Berkah’ seperti kalian? Aku juga tidak punya kekuatan apa pun. Bahkan, di duniaku sendiri, aku hanyalah pemeran figuran. Jadi, tidak perlu menganggapku ras tertinggi atau apalah itu. Aku ya aku, Ellena. Aku hanya manusia biasa.” Ellena menjelaskan sekali lagi siapa dirinya yang sebenarnya.
Mendadak.
Krek!
Terdengar ranting yang terinjak. Telinga Mae yang lancip bergerak karena ia mendengar ranting-ranting itu tengah menjerit.
“Siapa itu?!” Mae bangkit, ia memungut kerikil yang berada di samping kakinya. Kemudian, bibirnya merapalkan mantra sehingga sihir hijau mengelilingi kerikil kecil yang berada di tangannya.
Mae menarik pelatuk katapel yang menjadi senjatanya. Selama ini ia membawa katapel itu sebagai alat tembak. Biasanya para elf tidak bisa lepas dengan busur dan panah, tetapi Mae lebih mahir menggunakan katapel.
“Tunjukkan dirimu!” Mae mulai serius. Ia tidak seperti gadis yang pemalu. Bahkan, Mae seperti tidak pantas disebut sebagai gadis pemalu yang polos. Matanya yang hijau menatap tajam. Fokus pada target yang sempat membuat geger.
Tak berapa lama setelah itu, sang target pun keluar.
“Maaf, ini hanya kami.”
Varl, Leonie, dan Steven muncul dari balik semak-semak. Mereka mengangkat tangan sebagai tanda menyerah.
“Apa yang dikatakan oleh Ellie adalah benar adanya?” tanya Leonie. Tatapannya penuh dengan kecemasan. Namun, Ellena tidak akan membiarkan teman-temannya menaruh curiga atau akan berpikir buruk lagi tentangnya. Ellena juga tak mau semua orang menganggap bahwa ia adalah ras tertinggi. Bagi Ellena, semua sama. Tak ada yang berbeda. Baginya, yang membedakan satu sama lain hanyalah ketaatan pada Sang Maha Pencipta.
“Ya, aku manusia dari dunia lain. Tujuanku ke sini adalah untuk membawa Ratu Charlotte kembali. Tapi, itu tidak akan mudah. Jadi, apa kalian mau membantuku?” Ellena menaruh harapan besar.
Semua mata membulat, mengarah pada Ellena yang berharap penuh dengan teman-temannya itu. Ia sudah tak punya waktu lagi. Mau tak mau Ellena harus mempersatukan kekuatan demi keberhasilan misinya bersama.
“Ya, tentu saja, Ellie!” jawab Leonie dengan penuh semangat. “Kami akan membantumu. Lagi pula, itu juga misi kami bersama!”
Semua mengangguk menyetujui apa yang dikatakan oleh Leonie. Ya, pertemuan ini diakibatkan karena satu misi yang sama. Jadi, mari bekerja sama dengan baik!
“Ayo bawa Ratu kembali!” Yuya sangat bersemangat.
Semua orang bersorak, kecuali Varl yang berdecih lirih seraya menatap sungkan pada rombongan yang membuat perjalanannya menjadi terhambat. “Cih, sungguh merepotkan! Aku akan segera menyingkirkanmu!”
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments