“Ellie...”
Sebuah suara samar-samar terdengar, menyahut Ellena.
“Ellie... cepat buka matamu, kau akan ketinggalan sesuatu yang indah loh.”
Lagi, Ellena tidak tahu suara siapa itu, tetapi suara tersebut seakan memaksa Ellena untuk membuka matanya. Padahal, tubuhnya terasa kaku, pandangannya menghitam. Hanya terdengar suara asing yang terus memanggilnya dan menyadarkannya untuk bangun.
Apakah Ellena saat ini tertidur?
“Ini pasti mimpi, bukan? Aku hanya berhalusinasi dan mengira bahwa Miko mengirimku ke suatu tempat!” batin Ellena masih dengan mata terpejam. Perlahan, ia berusaha merasakan udara sekitar yang begitu damai. Sangat damai sampai membuatnya nyaman dan tak ingin membuka mata.
Terpaan angin yang menyentuh kulitnya membuat Ellena semakin terselimuti perasaan nyaman. Terdengar kicau burung yang bersahutan dan nyanyian rerumputan yang mendamaikan. Ah, ini seperti mimpi indah saja yang diinginkan semua orang. Ellena merasa terlalu menikmati hal ini.
Namun, ia ingin membuktikan bahwa tadi hanyalah mimpi semata. Ellena yakin, setelah ia membuka matanya, pertama kali yang dilihatnya adalah atap kamar miliknya, bukan suatu hal yang tak masuk akal seperti itu.
Pikiran Ellena menafikan tentang novel dan portal yang menariknya entah ke tempat mana. Ia berusaha untuk tak percaya, bahkan berniat untuk melupakannya dengan menganggap bahwa hal tersebut adalah mimpi semata. Bahkan rasa nyaman yang ia rasakan sekarang adalah bagian dari mimpi itu juga.
Ellena hanya perlu membuka matanya dan membuktikan bahwa dugaannya benar. Namun, perkiraan Ellena hancur seketika tatkala ia benar-benar membuka matanya untuk pertama kali.
Bukan atap kamarnya yang ia lihat. Namun, sebuah pohon rindang melindunginya dari terpaan cahaya mentari yang menyilaukan. Kedua mata Ellena pun terbelalak. Tanpa aba-aba, ia bangkit. Pakaiannya masih sama, seragam sekolah yang sebelumnya ia pakai. Namun, suasana di sekitar bukanlah sekolah maupun kamarnya!
Ellena pun berdiri. Ia baru sadar bahwa dirinya tengah berada di atas bukit yang menampakkan sebuah pemukiman penduduk. Tampak ramai, tetapi di tempat Ellena berdiri, hanya kedamaian yang ia rasakan. Angin sejuk menerpanya, membuat hati seorang Ellena si gadis figuran itu merasakan kenyamanan.
Meski Ellena merasakan keanehan akan hal ini, tetapi ia masih mengira bahwa sekarang pun, pemandangan yang ia lihat ini juga bagian dari mimpinya yang terlalu indah.
Perlahan, Ellena menutup matanya, merasakan melodi angin yang menyentuh kulitnya. Ia mencoba untuk menikmati saja mimpi yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. Untuk sekarang, ia hanya perlu menerimanya. Toh, nanti ketika sudah bangun dari tidur, semua akan kembali normal.
Ellena terbuai akan kedamaian dan rasa nyaman yang ia dapatkan. Padahal hanya mimpi, tapi terasa begitu nyata dan menyenangkan, pikir Ellena.
Tatkala Ellena terlena dengan suasana ini, tiba-tiba saja angin membawakan sebuah kesedihan yang dilantunkan seseorang. Telinga Ellena bergerak sejenak, berusaha mendengarkan dengan seksama dan mencoba untuk menangkap sebuah makna. Ia masih menutup mata, tetapi telinganya tajam mendengarkan.
Waktunya telah tiba.
Gelap dan terang menjadi satu.
Aku buta. Berjalan tak tentu arah.
Penyelamat, datanglah.
Bantu aku menemukan jalan.
Penyelamat, datanglah padaku.
Selamatkan jiwa yang tersesat ini.
Luka ini membunuhku.
Berikan aku kesempatan.
Kegelapan.
Kegelapan.
Kegelapan terus menghantuiku.
Waktunya telah tiba.
Datanglah. Datanglah padaku.
Begitulah kiranya lagu yang dinyanyikan. Lantunan melodi itu mengalun merdu menguar bersama angin dengan diiringi petikan harpa yang entah berasal dari mana. Suara itu seperti mengawang di udara dan memenuhi seisi tempat nan indah ini. Tiba-tiba saja kedua mata Ellena mengalirkan bulir bening. Terasa sangat menyakitkan.
“Itu adalah nyanyian klasik seorang penyihir yang buta.” Mendadak saja ada seseorang yang mengatakan sebuah fakta. Sontak Ellena membuka mata, ia terkejut bukan main tatkala melihat seorang anak kecil dengan sedikit jambul kemerahan di rambutnya. Bahkan, ada ekor seperti ekor burung. Di bagian punggung gadis kecil itu juga tampak sayap yang melebar.
Ellena semakin mematung. Bahkan, matanya sampai tak berkedip sekali pun. Terlalu mengejutkan baginya.
“Hei, Ellie. Apa kamu tahu, lagu Penyihir Buta terkenal sejak ribuan tahun lalu loh. Dan yang kamu dengar adalah suara Ratu. Setiap hari dia menyanyikannya. Aku senang sekali mendengarnya karena sangat merdu, begitu pula orang-orang di sini. Mereka merindukan sang Ratu,” jelas gadis berjambul merah itu.
Ellena tak merespons. Ia masih membeku melihat suatu hal yang ganjil di sini. Berulang kali ia menelan salivanya dengan kasar, membasahi tenggorokannya yang mulai mengering. Ellena syok berkepanjangan.
Gadis kecil dengan jambul merah itu pun melebarkan sayapnya, lalu terbang mendekati Ellena. “Hei, Ellie!”
Deg.
Ellena terkejut kembali. “S-siapa yang k-kau panggil dengan E-Ellie? Dan kau ini s-sebenarnya makhluk apa?!” Ellena benar-benar tidak menyangka dengan semua ini. “Mimpi. Aku pasti sedang bermimpi, ‘kan?!”
“Aku, Ruby The Fire.” Gadis kecil itu tersenyum seraya menunjukkan punggung tangannya di depan dada yang di sana terlukis gambar api. Ia juga masih dalam keadaan terbang dan terus-menerus mendekati Ellena yang gemetar karena ketakutan. Bahkan, rasanya Ellena ingin sekali mengompol. Gadis berambut pendek itu tak menyangka dengan apa yang dilihatnya di sini.
Baru pertama kali ini Ellena melihat manusia setengah burung, seperti di film-film fantasi yang sering ia tonton bersama Miko. Namun, jika makhluk itu muncul di hadapannya secara langsung, bukankah itu sangat aneh?
“S-siluman!” tebak Ellena tanpa berpikir. Ya, tanpa berpikir pun semua sudah jelas bahwa jika bukan ‘siluman’ atau monster yang ada di film-film fantasi lantas apa lagi yang bisa menamai makhluk semacam itu?
Gadis kecil bernama Ruby itu menghela napas. Meski begitu, ia tak tersinggung karena ia tahu bahwa Ellena tidak akan mudah mengakuinya. Manusia mana pun pasti akan terkejut dengan situasi yang tiba-tiba saja berubah seperti negeri dongeng.
Ruby pun mulai menginjakkan kakinya di tanah. Lalu, dia menyembunyikan sayap dan ekornya, tetapi tiga jambul bulu burung masih berada di rambutnya. Agaknya memang ‘aksesoris’ di kepalanya itu tidak bisa hilang seperti salah satu identitas Ruby yang sebenarnya.
“Jika begini, apa kamu masih menganggapku sebagai monster?” Ruby menatap Ellena dengan tatapan memelas, seraya memohon agar Ellena dapat menerimanya dengan lapang.
Ellena yang selalu kalah dengan tatapan mata seperti seekor kucing yang meminta makan itu pun akhirnya menyerah. Ia memberanikan diri untuk menyentuh gadis kecil berambut oranye agak kemerahan.
Setelah dilihat-lihat dengan seksama, gadis bernama Ruby itu cukup menggemaskan. Senyumnya yang menawan dan badannya yang mungil seperti anak usia tiga tahun itu membuat Ellena kini menarik pelan kedua pipi Ruby, merasa gemas.
“Aw, sakhit, Ellie.” Ruby tak dapat berkata dengan jelas karena saat ini pipinya menjadi tempat Ellena melampiaskan kegemasannya pada gadis kecil itu.
“Ah, ternyata kamu gemas sekali, Ruby. Kamu anak siapa?” Kini Ellena memeluk Ruby yang mungil seraya menciumi pipinya beberapa kali. Padahal sebelumnya Ellena mengatakan bahwa Ruby adalah salah satu siluman atau monster, bahkan Ellena gemetar melihat makhluk yang tampak baru baginya itu.
Sementara Ruby hanya bermuka datar, pasrah menerima ‘serangan kegemasan’ Ellena yang tadinya sempat ketakutan terhadap dirinya.
Ellena semakin menikmati pelukan itu. Sejak dulu, dia menginginkan seorang adik perempuan. Namun, orang tua yang tersisa sejak Ellena kecil adalah ayahnya saja. Sedangkan sang ayah tak mau menikah lagi. Sehingga saat ini, Ellena menjadi anak tunggal, bahkan sekarang ia meninggalkan sang ayah untuk menempuh studi di negeri orang.
“Ellie, apa sudah selesai?” tanya Ruby yang merasa sudah bosan karena Ellena terus memeluknya tanpa memberi kesempatan untuk bicara.
“Belum, Ruby. Hei, kamu jadi adikku, ya.” Ellena mencoba untuk mengecup pipi Ruby. Bibirnya sudah mencucu ke depan, siap mencium pipi Ruby yang empuk seperti bakpao.
Namun, mendadak Ruby menahan bibir Ellena dengan telapak tangannya yang kecil. “Siapa yang mau jadi adikmu, Ellie! Dengar, aku mau memberitahumu sesuatu!” Ruby tampak marah.
Meski begitu, kemarahan gadis kecil macam Ruby bukanlah sebuah masalah untuk Ellena. Ia malah semakin gemas dengan Ruby. Kedua tangannya pun kembali membentang, berusaha memeluk Ruby, tetapi gadis kecil berjambul itu terus menolak.
Ruby kabur, sementara Ellena terus mengejarnya. Ia seperti sudah dibutakan oleh kelucuan Ruby yang sudah seperti adiknya.
“Ruby, kemarilah, Sayang.” Ellena semakin tak henti mengejar Ruby yang kini membentangkan sayapnya kembali. Lalu gadis kecil itu terbang ke atas, menjauh dari Ellena. Senyum Ellena semakin mengerikan bagi Ruby karena Ellena senyum penuh obsesi seperti seorang psikopat yang telah menemukan mangsanya.
Bahkan, Ellena melupakan bahwa ia sekarang bukan berada di tempat yang seharusnya. Ellena hanya mengira bahwa semua ini sekadar mimpi dan pasti akan segera berakhir. Namun tidak dengan Ruby, ia ingin sekali membawa Ellena kepada kenyataan.
Ruby kewalahan dengan tingkah Ellena. Hingga pada akhirnya, ia pun berkata pada Ellena dengan lantang agar gadis itu tahu mengapa ia berada di tempat ini, “Ellie, kamu tidak bisa pulang ke duniamu!”
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments