“Aku... di mana?” Perlahan, Steven membuka matanya. Tampak samar-samar keramaian, terdengar gaduh juga di sekelilingnya, dengan sigap Steven pun melebarkan matanya agar ia tahu di manakah dirinya berada. Terkejutlah ia tatkala dirinya berada di tengah-tengah tavern atau warung bagi para petualang.
Semua orang bersuka cita seraya menikmati makanan yang dihidangkan di tavern ini. Orang-orang duduk berkelompok sambil bermain permainan papan, sekadar makan, atau mengobrol saja.
Namun, ada hal yang membuat Steven merasa sedih. Ia memang duduk di salah satu kursi dengan meja bundar. Beberapa orang yang sebelumnya ia temui duduk bersantai ria seraya melakukan permainan dadu.
“Kali ini giliranku. Jangan menangis ya, kalau kalah!” Varl bersiap mengocok dadu yang berada di tangkupan tangannya. Kedua matanya menantang kepada teman-teman yang telah duduk melingkar.
“Kau akan menang jika mendapat enam titik, Paman,” kata Yuya, kemudian ia menyeruput segelas susu hangat.
Steven menggelengkan kepalanya mendapati pemandangan ramai yang mengacuhkannya. Ia tak percaya, bukankah tadi ia mendengar bahwa dirinya sudah tak bernapas?
“Hoi, kenapa jadi seperti ini?!” Steven berteriak hingga membuat sekelilingnya terdiam. Orang-orang yang tadi tengah menikmati waktu istirahat, kini menengok ke arah Steven yang telah mengambil perhatian banyak orang. “Heh, bukannya tadi aku dikira mati oleh kalian?! Lantas, mengapa kalian malah bersenang-senang?!”
Steven bermuram durja, ibarat kata ada tanduk iblis yang muncul di atas kepalanya. Seram. Menakutkan. Suara Steven membuat suasana menjadi hening, hanya ia yang berbicara dan protes di tengah-tengah kerumunan para petualang yang sedang menikmati hidangan di tavern sebelum mengambil misi lagi yang disediakan oleh guild.
“Ck,” decak Varl. “Siapa juga yang bilang kau mati?”
“Kau! Kau yang bilang aku sudah tidak bernapas!” Telunjuk Steven mengarah ke Varl yang masih memegang dua dadu. “Aku memang mendengarnya, tapi mataku tidak bisa dibuka dan mulutku terkunci!”
“Kami tahu, Pangeran,” kata Leonie seraya menepuk-nepuk pelan pundak Steven yang terasa tengah mengemban beban berat.
“Lalu, kenapa tidak ada satu pun dari kalian yang khawatir dan peduli padaku?! Kalian malah bersenang-senang sendiri selama aku pingsan! Yang benar saja!” Steven sudah kadung kesal. Hatinya seperti diremas-remas karena ia selalu saja begini, merasa terasing dan tidak dipedulikan oleh orang lain, terutama Charlotte meski Steven hanyalah keponakannya.
Hening.
Steven berkeluh kesah, bahkan bulir bening di sudut matanya hendak keluar saking ia sudah muak dengan tingkah semua orang. Meski jabatannya tinggi, tak ada satu pun yang menghargainya. Steven selalu ditinggalkan oleh orang-orang, bahkan sekarang ia tengah diasingkan oleh Charlotte, bibinya sendiri.
Setelah Steven sampai di ujung kalimat keluhnya, semua orang yang ada di tavern itu menunduk hormat dengan menekuk salah satu kaki mereka laiknya prajurit. Tidak ada yang tidak melakukan penghormatan itu, bahkan Ellena pun melakukannya. Ia sudah tahu bagaimana memberikan salam penghormatan ala warga Everfalls.
Kepala Steven bergerak ke sana kemari, ia tak menyangka dengan keadaan yang sangat tiba-tiba ini. Suasana menjadi hening dengan seluruh orang menunduk hormat padanya.
“Maafkan kami, Yang Mulia. Kami hanya terlalu senang karena telah menemukan Anda.” Salah satu orc membuka suara.
Sementara Steven masih kebingungan dengan keadaan ini. Bukankah tadi orang-orang tengah menikmati kesenangan mereka sendiri. Lantas mengapa menjadi seperti ini?
Namun, mendengar pengakuan mereka membuat hati Steven luluh seketika. Ia pun menyuruh semua orang mengangkat kepala karena merasa tak enak sendiri diperlakukan begitu mulia padahal selama ini ia hanyalah pangeran yang statusnya masih belum jelas karena Charlotte. Mereka pun bangkit dari tunduk hormat mereka pada Steven. Semua mata tertuju pada ‘pangeran yang terbuang’. Menyedihkan memang, tetapi inilah kenyataannya.
“Pangeran.” Ruby mendekat dengan melayang di udara. “Jika kau memang mati, maka sudah dari awal kami meninggalkan kau di tengah hutan tadi.”
Steven menautkan alisnya. “Berarti kalian semua memang benar-benar berniat meninggalkanku?!” Baru saja Steven memaafkan perilaku teman-temannya, kini ia malah ditindas kembali. Harga dirinya sebagai pangeran memang sudah hilang sejak ia dilahirkan, mungkin?
“Tidak, Pangeran.” Kini Ellena yang berbicara. Ia sudah tidak tahan lagi karena semua orang selalu menjahili Steven yang tampangnya seperti pangeran yang sangat malang. Ellena pun mengatakan hal yang sebenarnya daripada Steven terus-terusan merasa tersisih dan tak dipedulikan.
Sebab, ‘merasa sendirian’ sangatlah tidak nyaman dan Ellena tahu rasanya. “Kami tahu bahwa Anda tidak mati, Pangeran karena memang efek sihir Ruby yang membuatmu seakan tak bernapas. Jadi, daripada kami meninggalkan Anda di tengah hutan sendirian, lebih baik kami membawa Anda ke tavern terdekat. Lalu, kami menghabiskan waktu seraya menunggu Anda siuman.”
Ellena menjelaskan panjang lebar agar Steven tak salah paham lagi. Semoga, dengan ini Steven dapat memaafkan kejahilan teman-temannya.
Hiks.
Hiks.
Hiks.
Tak disangka, Steven menangis. Martabatnya sebagai seorang pangeran yang berwibawa benar-benar telah hilang! Meski begitu, biarlah ia begini dahulu. Sebab, sudah hampir setengah tahun Steven diasingkan di tengah hutan tanpa bertemu dengan ras lain kecuali binatang-binatang hutan.
Steven tidak makan dengan baik, ia selalu tertimpa masalah saat mencoba mencari jalan keluar dan pikirannya selalu dihantui Griffin.
Selain dihukum untuk diasingkan, Steven juga ditugaskan untuk menangkap Griffin sebagai syarat ia bisa kembali ke istana. Namun, sudah ratusan ribu tahun lalu Griffin tidak muncul lagi.
Jadi, mau mencari berapa lama pun Steven tidak akan pernah menemukannya. Charlotte memberi sihir kutukan di otaknya sehingga Steven percaya terus menerus bahwa Griffin masih hidup dan ia tak akan pernah kembali ke istana sebelum mendapatkannya.
Untung saja, Ruby membebaskan sihir kutukan tingkat rendah itu dan menyelamatkan Steven dari hukuman pengasingan. Sangat menyedihkan jika menjadi Steven.
“Benar-benar, jika dilihat dengan seksama, kau memang tidak ada sisi keren sebagai pangeran,” goda Varl lagi. Entah mengapa menjahili Steven sangat memuaskan hatinya, atau memang dia yang nakal? Entahlah.
“Aku memang sudah tak layak menjadi pangeran, kau tahu!” Steven memajukan bibirnya. “Saat ini dan sampai kapan pun, Ratu Charlotte adalah penguasa Everfalls, bukan aku. Jadi, aku hanyalah pion saja. Semua orang mencintainya, tidak dengan diriku yang bahkan warga Everfalls tidak mengenaliku.” Kepala Steven menunduk dalam.
Selama ini ia tidak pernah mendapat perhatian warga karena ia selalu berada di istana Charlotte sejak kecil, sehingga warga tidak mengenalinya. Mau pamer Berkah pun, tanda mahkotanya meredup. Jadi, beginilah nasib Steven.
“Siapa bilang tidak ada yang mengenal dan mencintaimu?” Ellena menyergah. “Kami semua, aku, Yuya, Leonie, Ruby, Varl, Manu, serta orang-orang yang ada di sini mencintai dan mengenalimu, Pangeran.”
“Tidak mungkin.”
“Kau berharga bagi kami dan tugas utamamu sebagai keponakan Ratu Charlotte adalah membawanya kembali kepada rakyat Everfalls. Aku yakin, setelah kalian kembali ke daratan ini, rakyat akan sangat bahagia karena penguasa negeri ini telah bersama dengan mereka. Kau akan menjadi raja dan semua orang mencintaimu.” Ellena berusaha meyakinkan Steven karena dialah satu-satunya kunci utama untuk menuju ke istana.
“Membawa Ratu... kembali?” tanya Steven tak yakin.
Semua orang mengangguk seraya memasang mata yang berbinar-binar, penuh harap. Steven sampai terkejut karena orang-orang sangat antusias, bahkan memohon dengan sangat padanya. Melihat mereka seperti itu, membuat semangat di dalam diri Steven pun membara.
“Yosh, baiklah aku akan berusaha membawanya kembali kepada kalian!” teguh Steven dengan yakin. Tangannya mengepal kuat.
Namun, tiba-tiba saja seorang elf mendobrak pintu tavern.
Brak!
“Eits, tidak semudah itu!”
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments