Ellena dan teman-temannya terus berjalan menyusuri hutan yang seakan tiada ujungnya ini. Sembari sesekali mereka mengambil beberapa bahan makanan dan istirahat sejenak. Dan tentunya, tiada momen yang benar-benar tenang. Selalu saja diselingi dengan kegaduhan dan kejahilan. Tentu korbannya Steven dan Varl.
Entah mengapa di Everfalls rasanya martabat lelaki sudah mulai memudar, atau mungkin itu hanya berlaku bagi Steven dan Varl saja. Entahlah.
Namun, di sini sangat menyenangkan. Ellena membatin, “Bertemu dengan mereka secara langsung lebih mengasyikkan daripada sekadar membaca novel. Meski aku bukan pemeran utama yang memiliki kekuatan super, tetapi teman-teman baruku adalah kekuatan itu sendiri dan aku merasa hidup. Miko, lihatlah, aku bukan gadis anti sosial lagi. Aku menemukan rumahku sendiri.”
Senyum Ellena merekah, pikirannya terbayang Miko seakan-akan ia memang tengah berbincang dengan sahabatnya itu. Mae yang menyadari keanehan dari wajah Ellena pun menyahut, “Kau baik-baik saja, Ellie?”
Ia merasa kebingungan sebab Ellena mendadak saja menyunggingkan senyum. Apakah Ellena akan merencanakan sesuatu? Ah, pikiran Mae berakhir dengan kecurigaan yang tak berarti.
“Aku hanya senang bisa berteman dengan kalian.” Jawaban Ellena membuat teman-temannya yang sedari tadi masih berjalan menembus semak tanaman yang menghalangi perjalanan pun berhenti. Mereka menoleh pada Ellena yang tengah dirasuki apa karena tiba-tiba berkata demikian.
“Apa kau sehat, Ellie?” tanya Hanae. Ia juga merasa bahwa Ellena sedikit aneh. Namun, respons Varl jelas tentu sangat berbeda.
“Lebay!” Ia memaki karena sebelumnya ia sudah sering bertemu orang-orang dan rasanya biasa saja. Tidak seistimewa itu.
Dari kalimatnya tersebut, Leonie pun melingkarkan tangannya kembali di leher Varl, membekuknya agar si mulut kurang ajar itu berhenti melantur dan menyakiti hati teman lainnya.
“Mulutmu tak bisa dijaga, hah?!” kesal Leonie. Ia benar-benar geram karena sedari awal Varl selalu menyebalkan dan merusak suasana!
Namun, Ellena tidak peduli akan hal itu. Ia tahu bahwa tidak semua orang akan mengerti perasannya.
Di keheningan itu, tiba-tiba saja Yuya menunjuk ke sebuah arah.
“Hei lihat, di sana ada Pasar Kota!” Yuya berjingkrak kegirangan. Disusul Navi, Momo, dan Manu. Meskipun mereka adalah ras hewan, tetapi mereka juga paham artinya kesenangan.
Semuanya pun menyibak semak yang menghalangi pandangan mereka. Benar saja, sebuah kota kecil begitu ramai. Tidak, sebenarnya itu bukanlah sebuah kota kecil biasa, sebab kota tersebut adalah Everfalls!
Ya, sebuah kota di negeri Everfalls. Akhirnya mereka bisa tiba di daratan Everfalls. Sebelumnya memang ada tavern di dekat hutan. Namun, ini adalah sebenar-benarnya Everfalls yang dahulu pernah ditinggali oleh Charlotte. Bahkan, di tengah perkotaan ramai itu terdapat tanah cekung yang mengering. Sebuah tanah bekas berdirinya istana Charlotte.
Bau harum makanan tercium. Tentu saja perut Ellena dan teman-temannya pun saling berdendang. Lapar.
“Ayo kita serbu!” seru Yuya bersemangat.
“Aku ingin makan yang banyak.” Air liur Mae bahkan sampai menetes. Ia sudah tak tahan lagi ingin mencicipi hidangan Everfalls.
Tanpa berbasa-basi lagi, Ellena dan timnya pun segera berlari menerjang dedaunan dan pohon yang menghalangi jalan keluar itu. Sejenak mereka melupakan tujuan utama, yaitu mencoba untuk menemukan portal Charlotte.
Siapa suruh mereka sampai di dekat kota, tentu mereka akan terlena.
Mereka pun mulai memasuki pasar kota. Ya, di sana tentu banyak orang-orang dari berbagai ras. Ada yang human, half human, dan ada juga yang non-human. Namun, semuanya hidup berdampingan dengan damai.
Beberapa dari pedagang di kios-kios terus berteriak, memamerkan barang-barang yang mereka jual. Ada juga anak-anak kecil yang hanya berlarian mengganggu aktivitas perekonomian di sini, tetapi itu tak menjadi masalah besar sih.
Di sini, hampir semua orang melakukan transaksi jual-beli pada barang apa pun, bahkan makanan yang begitu lezat sekalipun. Tak hanya itu, orang-orang juga ada yang hanya bermain kartu atau dadu dalam kelompok-kelompok kecil di pinggir kios atau di dalam kedai.
Ellena pun terus berjalan. Bau lezat makanan menusuk hidungnya, sementara matanya terpana akan keindahan pakaian yang dipamerkan kios-kios. Tak hanya itu, banyak suvenir langka yang tak pernah ia temui di dunianya sekali pun.
Ada asap sihir, sebuah botol yang diisi dengan sihir. Ada penangkal mimpi yang terbuat dari kayu yang hidup berjuta-juta tahun lalu.
Mata Ellena sampai tak berkedip sedikit pun. Semuanya terasa indah. Namun, rupanya tidak seperti itu.
Hati semua orang terasa kosong sebab mereka kehilangan penguasa negerinya, sang Ratu Charlotte. Semakin bertambah hari, makin sering orang mulai melupakan Everfalls. Padahal, setiap incinya adalah keindahan.
Tatkala Ellena tengah berpikiran seperti itu, tiba-tiba saja Mae berjalan memisahkan diri. Ia menembus kerumunan, tetapi tidak ada yang tahu apa tujuan gadis itu.
Tanpa disadari, semua temannya mengikuti ke mana Mae pergi. Ellena sampai tercengang atas kesigapan yang lain. Ia pun sama-sama mengekor pada Mae.
Rupanya, gadis elf tingkat tinggi itu mendekat pada tanah cekung kering yang memang seperti tak ada kehidupan di sana, bahkan organisme kecil seakan enggan menginjakkan kakinya di sana.
Kemudian, Mae merapalkan sebuah mantra yang mengundang sihir hijaunya. Ia mengarahkan katapelnya. Satu mata Mae menyipit, membidik target yang entah di mana. Hal itu mengundang perhatian orang-orang di sekitar.
Semua berbisik, bahkan ada yang hendak protes pada Mae.
“Apa yang hendak kau lakukan pada tanah peninggalan Ratu Charlotte?!”
“Hei gadis kecil, hentikan itu!”
“Siapa pun, tolong singkirkan dia!”
Bahkan, ada yang langsung menyerang Mae dengan tangan kosong. Namun, dengan sigap gadis itu menghentikan tatapan membidiknya dan melemparkan sihir pada orang-orang yang menyerangnya. Sontak saja tiga orang yang menyerbunya terpental.
Hal itu membuat takut yang lain. Tak ada yang bisa menghentikan perilaku Mae yang mendadak berubah aneh. Mata hijau Mae menyala, begitu pula kristal di dahinya. Cahaya hijau mengelilinginya. Gadis itu kembali membidik.
Mae yang berkulit putih pucat merasakan sebuah kehangatan di tubuhnya. Ia memejamkan mata sejenak untuk lebih merasakan esensi rasa hangat itu. Kemudian, tatkala matanya terbuka, tatapannya mendadak tajam.
Mata hijaunya menandai satu titik. Hingga pada akhirnya... wus!
Kerikil kecil melesat cepat dan plom!
Seketika tanah cekung itu ditumbuhi tanaman nan indah. Warna hijau mendominasi, mengundang kupu-kupu, bahkan serangga kecil merasa ‘terundang’ oleh tanaman yang ditumbuhkan Mae dengan sihirnya.
Setelah dedaunan dan bunga di tanah itu mekar sempurna, senyum Mae pun ikut merekah bersamaan dengan tumbuhnya kembang-kembang nan harum dan indah itu.
Semua mata pun terbelalak, tetapi menaruh kekaguman juga. Ini sungguh indah, pikir mereka. Selama ini, tanah cekung tersebut ditinggalkan sebab tidak ada yang berani menodai tanah milik Charlotte sejengkal pun.
“Kau hebat, Mae,” lirih Ellena merasa kagum. Baru kali ini ia melihat seorang gadis menumbuhkan tanaman yang begitu indah. Bahkan, mampu mengundang serangga kecil dan itu membuat Yuya berjingkrak senang.
Gadis kecil si Pawang Serangga itu pun segera berlari dengan cepat menuju cekungan yang sekarang sudah ditumbuhi tanaman hijau. Tentu saja Yuya lebih senang karena ada serangga di sana yang ibarat kata sudah menjadi ‘keluarganya’ dan menjadi bagian dari hidupnya.
Namun, mendadak saja.
“Apa yang kau lakukan pada tanah Ratu?!” seorang pria tua mengarahkan sebilah pedangnya pada leher Mae. Tatapannya tajam seakan siap menghabisi gadis elf itu.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments