Semua mata tertuju pada pria itu.
“Buang sihir ilusimu! Jangan kau kotori tanah Ratuku!” Ia memaksa Mae, bahkan pedangnya saat ini menggores kecil leher Mae. Darah segar pun mengalir. Mae sempat meringis kesakitan, tetapi ia tetap berdiri dengan tegap.
Kemudian, dia berkata dengan tegas, “Kalian hanya berdalih bahwa tanah kosong yang luasnya hampir memakan setengah kota itu sebagai tanah Ratu! Ya, memang sebelumnya begitu, tetapi bukan berarti kepergian Ratu Charlotte membuat kalian terus berduka!”
Semua mata terbelalak. Mereka juga saling berbisik seraya menaruh banyak pertanyaan yang mencengangkan. Entahlah, gadis elf itu benar-benar di luar dugaan!
Bahkan, Steven saja tidak bisa bertindak lebih. Sejujurnya, ia setuju akan kalimat Mae. Tanah cekung yang luas itu sudah mengering selama beberapa tahun. Mereka mengeramatkannya seraya berharap bahwa Charlotte akan kembali.
Tidak semudah itu!
“Berhentilah berduka dan buka lembaran baru!” Mae terus berkata dengan lantang.
Namun, pria yang mengarahkan pedang itu semakin bermuram durja. Ia kembali menyayat leher Mae. Lagi, gadis elf itu memejamkan mata dan melenguh kesakitan. Namun, ia juga tidak gentar begitu saja. Hatinya sangat yakin bahwa langkah yang diambilnya ini memanglah benar.
“Sebuah negeri tanpa seorang penguasa hanyalah akan menjadi negeri yang terbuang dan terlupakan! Pohon Atma akan segera menghapus sejarah Everfalls dan semua orang akan melupakan kita seakan Everfalls tidak pernah ada!”
Mendengar itu, Ellena melotot. Rupanya tugas Pohon Atma seperti itu. Tidak hanya menyimpan semua hal tentang Wolestria, tetapi juga bisa menghilangkan dan menghapus sejarah yang ada seakan memang tidak pernah ada.
Glek.
Ellena meneguk salivanya. Jika Everfalls dihapuskan dari Pohon Atma, maka semua orang ini seakan lenyap. Bahkan, mungkin saja Charlotte juga tidak akan pernah ada. Semua orang akan melupakannya dalam sekejap.
Ia tak mau itu! Ellena pun hendak melangkah maju, ingin menghentikan kegaduhan yang Mae buat. Namun, Ruby menghentikannya. Ia mengode pada Ellena untuk tetap diam dan melihat saja.
Kedua tangan Ellena pun mengepal. Ia tidak menginginkan alur yang seperti ini.
“Aku tahu itu. Sangat tahu!” Kemudian, tiba-tiba saja Mae mengaktifkan sihirnya. Kristal di dahinya menyala. Pedang itu seperti terikat. Pria tadi yang berkumis tak bisa berkutik. Tubuhnya seakan membeku.
Ia menjerit kesakitan, tetapi ia benar-benar tak bisa melakukan apa pun. Sihir Mae begitu kuat mengikatnya. Sejenak, pria tersebut tersiksa. Tubuhnya tak dapat bergerak sedikit pun.
Kemudian, tak lama setelah itu, sihir hijau pun melemparkan pedang yang menggores Mae ke arah samping, menjatuhkannya dengan keras.
Prang!
Semua terkejut, lalu mereka berbisik lagi. Ketakutan. Sementara Mae berjalan maju, mendekat pada Yuya di depan sana yang saat ini tengah berkumpul dengan para serangga meski wajah Yuya juga tegang. Kepala dan badannya dikelilingi para serangga yang bergetar ketakutan.
Setelah sampai, Mae berdiri tegap di samping Yuya. “Jika kita hanya terus berkabung tanpa melakukan apa pun, maka percuma saja! Membiarkan tanah kering dan mati juga sebuah dosa!” Mae melirik Yuya sejenak. Lalu kembali menatap para rakyat yang sudah tak memiliki ratu.
Sementara yang lain masih kebingungan akan pendapat gadis elf tingkat tinggi itu. Mereka yang hanya sebagai ras biasa tidak bisa melawan begitu saja, seperti pria berkumis tadi yang ujung-ujungnya dikalahkan oleh Mae karena kekuatannya tak sebanding dengan ras tingkat tinggi.
“Bagaimana mungkin Ratu Charlotte akan kembali sedangkan kalian melakukan dosa! Bahkan, membiarkan tanah ini kering selama bertahun-tahun lamanya! Sungguh biadab! Bahkan, aku saja muak melihatnya, bagaimana Ratu Charlotte? Beliau pasti tidak akan pernah memaafkan kalian!”
Sorot netra Mae begitu tajam. Warna maniknya yang hijau menampakkan sebuah keyakinan. Bahkan, mampu membuat orang-orang yang tadinya berselisih pendapat, kini menyetujui argumen Mae.
Beberapa kepala pun mengangguk. Mereka mulai memahami apa yang dilakukan oleh Mae. Benar, jika menelantarkan tanah juga berarti sebuah kesalahan karena membuat tanah mati dan tidak memberikan kehidupan pada ras-ras kecil.
Senyum Mae pun mengembang sedikit demi sedikit melihat orang-orang mulai sependapat dengannya. Namun, di sisi lain, Ellena berusaha percaya padanya, tetapi ia malah terus menerus merasakan sebaliknya.
Entah mengapa ia malah merasa bahwa tindakan Mae adalah sebuah kesalahan. Namun, ia tak bisa bertindak lebih sebab Ruby juga sedari tadi menahannya. Alhasil, Ellena hanya bisa berdiam diri dan memendam semuanya.
Biarkanlah, mungkin saja itu hanya bayangan Ellena. Ia pun segera menepis pemikirannya itu dan kembali ikut mendukung seperti yang lain. “Mungkin, aku hanya terlalu banyak berpikir,” batin Ellena menyerah.
Setelah itu, semua pun kembali kepada aktivitas masing-masing. Pasar Kota tampak lebih hijau. Rasanya segar dan damai. Bau harum dari bunga-bunga yang ditumbuhkan oleh Mae lewat sihirnya sangat wangi dan menyegarkan. Serangga-serangga jadi menyukainya, membuat Yuya ikut bersemangat. Sementara Varl bergidik ngeri.
“Sini Paman Varl! Aku punya keluarga baru, namanya Pyon!” Yuya memamerkan seekor kelabang yang besar dan panjangnya seperti lengan Varl. Geli. Varl bergidik ngeri.
Pria berambut ikal itu segera menyembunyikan diri di balik tubuh kurus Ellena. Ia pun merengek, merutuki Yuya yang senang sekali menjahilinya.
Semuanya pun tertawa melihat Varl si Pengembara yang penakut dan kalah dari gadis kecil. Entah ke mana rasa percaya diri itu jika Varl dihadapkan dengan serangga.
Mendadak, terdengar trompet dari atas awan. Suaranya melengking memenuhi langit Everfalls. Semua orang yang mendengarnya jadi merinding. Begitu pula Ellena yang baru pertama kali mendengar bunyi trompet yang seakan mengisi seluruh Everfalls.
“Apa ini trompet sangkakala?!” pikir Ellena demikian. Ia mengira akan terjadi sebuah kiamat besar. Ah, tidak! Ellena tidak menginginkan itu. Petualangannya masih belum kelar. Ia harus menyelesaikan misinya untuk membawa Charlotte kembali pada rakyatnya.
Ah, jangan dulu kiamat!
Ellena terus berdoa demikian. Ia tak mau itu terjadi dahulu.
Mendadak.
“Enyahlah dari Everfalls, hama-hama kecil!” kata seorang orc yang berbadan kekar. Ia dikawal oleh dua puluh prajurit wanita. Mereka masih terbang di atas sana seraya menatap sengit ke arah Ellena dan teman-temannya. Bahkan, kehadiran mereka menghalangi cahaya mentari, membuat kota Everfalls gelap seketika sehingga saat ini kota tampak mendung.
Orang-orang ketakutan. Mereka berusaha berlindung di tempat yang kokoh.
“Murka! Apakah sang Ratu murka pada kita?”
“Aku mohon jangan siksa kami.”
“Ratu mengirim prajuritnya!”
Semua orang berdoa agar Cahrlotte tidak menghukum rakyatnya. Sudah cukup kepergian Charlotte, sekarang mereka ingin hidup damai meski masih menunggu sang ratu kembali pada mereka.
Sementara Ellena mengerutkan dahinya. Tatapannya tajam menatap orc yang tampak angkuh dengan kuda hitamnya. Begitu pula para prajuritnya yang bersayap hitam. Mereka seperti bidadari dari kayangan, tetapi mereka berhati iblis.
“Mortuus!” teriak orc tersebut yang berarti ‘mati’. Seketika dua puluh prajurit wanita terjun bebas ke bawah dengan cepat, menyerang Ellena dan teman-temannya.
“Lindungi diri kalian!” teriak Varl seketika.
Namun, Ellena tidak bergeming. Ia tetap berdiri kokoh seraya menunggu serangan mereka tiba. “Atau melawannya!” Seringai Ellena tampak memukau dan meyakinkan. Meski ia tak tahu harus melakukan apa, tetapi tubuhnya seakan bergerak sendiri untuk melawan orc dan prajuritnya.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments