“Hah, Momo?” Ellena keheranan. Sementara gadis asing itu memeluk Quinkana yang sudah mengecil.
“Momo, kamu tidak apa-apa?” tanya gadis itu seraya mengelus kepala Quinkana yang bernama Momo. Quinkana itu malah bergelayut manja pada sang empu.
Sementara di sisi lain, Ellena dan Mae berdiri dengan banyak pertanyaan. Mereka masih mencerna keadaan yang mendadak berubah drastis. Si pengacau Quinkana bertransformasi menjadi reptil kecil yang polos dan tampak tidak berdosa.
Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki yang berlarian, mendekat kepada sumber kegaduhan. Siapa lagi jika bukan teman-teman Ellena. Mereka kembali ke tempat Ellena dengan cepat setelah mengetahui Quinkana tiba-tiba menghilang pasca suara Ellena yang merapalkan mantra gadungannya.
“Kenapa kalian kembali?” tanya Ellena sungkan karena ia sudah ditinggal jauh sebelumnya, bahkan Ruby sendiri tidak memikirkannya. Wajar sih, namanya juga panik. Pasti kebanyakan orang akan memikirkan dirinya sendiri.
“Hehehe, maaf Ellie. Aku tak sengaja meninggalkanmu.” Ruby menautkan dua telunjuknya, berusaha bersikap polos seakan memang dia tidak bersalah.
Beberapa saat kemudian, gadis asing itu sudah puas memeriksa keadaan Quinkana tadi. Kemudian, ia pun bangkit dari duduknya selepas mengecek reptil ganas yang berubah jadi menggemaskan itu.
“Terima kasih karena sudah menolong Momo,” katanya seraya menatap Ellena dan Mae. “Aku Hanae The Archer. Salam kenal.” Gadis itu menunjukkan Berkah yang terukir di punggung tangan kanannya, sebuah Berkah berbentuk anak panah yang ukirannya dikelilingi simbol sihir.
Gadis itu tampak memakai pakaian yang berbeda dari warga Everfalls yang lain. Ia memakai banyak aksesoris burung elang di pakaiannya. Sementara pakaian khas warga warga Everfalls adalah pakaian kasual.
“Kau dari Esaland?” tanya Varl seketika. Ia yang sudah banyak menjelajah pastinya langsung menyadari pakaian khas dari negeri musim dingin itu.
Everfalls adalah negeri di atas awan, Nolaria juga disebut negeri musim gugur, Holand negeri musim semi, dan Rustford negeri musim panas. Sebab, kelima negeri itu selalu bermusim sesuai namanya. Tak pernah berubah, tetapi tetap mendapat hujan meskipun setahun sekali, kecuali di ujung negeri Everfalls.
Di sana terdapat Hutan Tropis, tempat tinggal Mae. Hutan itu selalu hujan dan lembap dengan pepohonan raksasa dan tanaman hijaunya.
Gadis bernama Hanae mengangguk. “Ya, aku dari Esaland.” Maniknya yang hitam pekat tampak menyorotkan kesedihan yang mendalam. “Kedua orang tuaku telah dibunuh oleh Kaisar Sinu!” Gigi Hanae mengerat. Ia seperti menyimpan kebencian tersendiri.
Ia juga mengepalkan tangannya, terlintas di pikirannya bagaimana kedua orang tuanya dihukum penggal oleh si penguasa yang bertangan besi.
“Aku kabur dari kekejaman Kaisar Esaland dan dia tahu. Kaisar pun mengutukku, membuat kemampuan Berkahku menurun!” Hanae tampak mengingat dengan sengit betapa kejamnya penguasa negeri yang berada di ujung dunia.
“Oh, itu sebabnya kau selalu meleset?” tanya Ruby. Saat ini dia melayang di udara, tetapi sayapnya ia sembunyikan. Ruby menggunakan sihirnya untuk tetap tidak menapak di atas tanah.
“Ya. Untung saja Momo menghalangi sihir kutukan itu sehingga Berkah yang diberikan Tuhan tidak benar-benar hilang. Sebab, kehilangan Berkah juga berarti kau kehilangan hidup atau lebih singkat, kau mati!”
Hanae menyimpan begitu banyak kebencian terhadap penguasanya. Namun, ia tak bisa melakukan hal besar untuk melawan penguasa tirani tersebut.
“Aku ke Everfalls untuk bertemu Yang Mulia Ratu. Sebab, hanya beliaulah yang bisa memecahkan kutukan itu.”
“Kenapa kau sangat mempercayainya?” Tiba-tiba saja Ellena bertanya demikian tanpa berpikir dua kali. Sementara seluruh mata mengarah kepadanya. Ellena pun menatap satu persatu dengan bingung. “Apa aku salah bertanya?”
“Ratu Charlotte adalah makhluk yang kedudukannya hampir setara dengan spirit. Dia adalah ras tertinggi dengan kemampuan sihir yang tiada tanding. Mungkin, Ratu Charlotte adalah reinkarnasi dari salah satu spirit,” terang Hanae panjang lebar.
Kepala Ellena mengangguk paham. Jadi, bukan hanya karena Charlotte sangat baik, tetapi ia adalah ratu yang patut dihormati oleh seluruh rakyatnya. “Ah, pantas saja semua orang mencintainya dan berharap bahwa Ratu kembali.” Ellena membatin.
“Yosh, semua sudah berkumpul! Mari kita lanjutkan perjalanan!” seru Ellena kemudian. Ia meninju udara di atasnya sebagai ikrar semangatnya.
Sorakan itu disahut oleh yang lainnya juga dengan kobaran semangat yang membara. Ya, semua memiliki misi yang sama. Satu-satunya alasan yang membuat mereka dapat bertemu adalah hanya karena Charlotte.
Wahai Ratu agung, masihkah hatimu tertutup sementara orang-orang menunggumu kembali?
“Sebentar. Tapi, malam akan tiba. Lebih baik kita membangun tenda dulu. Besok kita lanjutkan lagi perjalanan ini,” kata Steven menghentikan teman-teman barunya itu. Wajahnya mendadak serius, barulah kini ia terlihat seperti pangeran sungguhan.
Kalimat Steven juga tak bisa dibantah. Entah karena kalimatnya benar atau memang kalimatnya yang manipulatif, semua orang setuju akan ide Steven.
Semburat senja memang sudah mencuat. Mentari tampak malu-malu di ujung cakrawala. Tanpa berpikir lama, rombongan Ellena pun membangun tenda untuk beristirahat sepanjang malam dan bersiap untuk perjalanan selanjutnya besok pagi.
Membangun tenda rupanya tak memakan waktu yang lama. Setelah tenda berdiri kokoh dan api mulai menyala, beberapa dari mereka bersantai. Namun, Ellena memilih untuk menjelajahi awan sejenak.
Ia sudah menunggangi Manu bersama Mae, Yuya, dan Hanae. Di sampingnya sudah ada Ruby yang mengepakkan sayap berbulu merahnya. Sangat indah.
“Bersedia? Mulai!” komando Ellena dengan lantang. Sebelum terbang, Manu meringkik sejenak, baru ia lepas landas mengejar Ruby yang sudah beberapa meter di depan sana. Ruby memang penerbang terbaik. Sayapnya bisa membentang lebih lebar daripada Manu. Namun, kekuatan dan daya tampung Manu mengalahkan Ruby yang hanya seekor burung kecil.
Sementara di sisi lain, Leonie yang sedari tadi tak berbicara pun saat ini tengah komat-kamit tidak jelas.
“Apa kau baik-baik saja, Leonie?” tanya Varl sembari masih memasak sayuran yang telah didapatkannya selama perjalanan. Beberapa kali Varl melirik pada Leonie yang terus bergumam sendiri seraya ketakutan. Sementara Steven malah sudah terlelap di dalam tendah. Ah, lebih baik lupakan saja dia dahulu.
Leonie masih belum menjawab pertanyaan Varl. Ia terus komat-kamit seraya memeluk lututnya. Ketakutan.
“Kau kenapa, Leonie? Daripada membuatku merinding, lebih baik kau ikut mereka saja sana!” kesal Varl yang tak kunjung direspons.
“Itu masalahnya!” Leonie mulai membuka mulut.
“Kenapa? Bukankah terbang sangat menyenangkan?”
“Tidak sama sekali! Bagaimana mungkin seorang singa terbang ke atas awan? Saat berada di atas sana, dunia seperti berputar. Aku tak mau membayangkannya lagi!” Tubuh Leonie gemetar.
Mendengar kenyataan itu, Varl tertawa dengan terbahak-bahak hingga perutnya merasakan sakit karena tegang. “Seorang raja hutan takut ketinggian? Hahaha.”
Sedetik kemudian.
Plak!
Satu apel melayang dari tangan Leonie, mengenai dahi Varl dengan keras. Sontak saja Varl mengomel tak terima. Namun, Leonie juga tak segan untuk membela diri.
Di sekitar hutan tersebut terdengar ramai. Mulai dari Ellena dan teman sebayanya yang bermain, terbang sambil kejar-kejaran di udara. Sementara di darat, Leonie dan Varl tampak masih berdebat. Sementara Steven? Tak perlu ditanya lagi, ia masih tertidur pulas.
Keramaian tersebut terdengar hingga ke istana Charlotte. Wanita yang amat dihormati itu sebenarnya kesal, tetapi rautnya datar. Sementara tangannya mengepal, itu yang menunjukkan bahwa sang ratu tengah menahan amarah.
Ia yang duduk di singgasana agungnya pun mulai memberi perintah pada para pengawal wanitanya. “Segera singkirkan hama-hama itu!”
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments