Pu kul 10.00 Tamara sampai di toko bajunya dan wanita itu kini terlihat keluar dari dalam mobil setelah tadi berpamitan pada sang suami.
"Nanti kalau kamu pulang hubungi Mas, biar Mas bisa langsung jemput kamu pulang sayang," kata Demian sambil melambaikan tangan pada Tamara.
"Iya Mas, kalau begitu aku masuk dulu," sahut Tamara dengan wajah datarnya. Tidak seperti dulu yang selalu saja menampakkan senyum manis di bibir ranum indahnya. Dan Kini senyum itu hilang dan entah pergi kemana sejak kabar yang memporak-porandakan jiwa serta pikiran wanita itu yang menggerogoti rasa cintanya pada Demian. Sekarang yang tersisa hanya kenangan-kenangan indah bersama laki-laki itu. Mengingat Demian sebentar lagi akan menikah dengan adik tirinya.
"Selamat bekerja sayang, dan I love you ...."
Tamara yang mendengar itu mencoba untuk menarik sedikit saja sudut bibirnya. Sehingga sebuah senyuman terbit di bibir wanita itu dan tidak lama wanita itu terdengar membalas kalimat sang suami. "I love you to, Mas Demian." Setelah mengatakan itu Tamara berbalik dan langsung saja masuk ke dalam toko bajunya, dimana tempat itu adalah saksi bisu saat pertemuannya pertama kali dengan Demian. Tepat beberapa tahun yang lalu.
Sedangkan Demian langsung saja menginjak pedal gas, dan segera pergi dari sana. Mengingat hari ini laki-laki itu akan ada meeting dengan salah satu klien yang datangnya dari luar Negeri membuat laki-laki itu sangat terburu-buru. Sehingga terdengar raungan mesin mobil yang ia kendarai itu meninggalkan toko baju milik sang istri.
Tamara sempat menoleh, melihat kepergian mobil Demian, sambil mencoba mengatur rasa sesak di dadanya setiap kali ia mengingat kalau sebentar lagi dirinya akan berbagi suami dengan Liana, di saat dirinya belum disentuh sama sekali oleh Demian semenjak mereka menikah.
"Tuhan, kuatkan hatiku dan lapangkan dadaku, supaya aku bisa ikhlas dalam menerima setiap ujian dalam hidup yang Engkau berikan ini. Karena jujur saja saat ini aku benar-benar tidak sanggup jika harus melihat Mas Demian dengan adik tiriku sendiri akan menikah dalam minggu-minggu ini, oleh karena itu aku meminta supaya Engkau Sang pemilik jiwa dan raga mampu membuat hatiku ini menjadi sedikit tenang," gumam Tamara di dalam benaknya. Dan sekarang ia sudah terlihat masuk ke dalam toko itu. Namun, tiba-tiba saja ia begitu terkejut saat melihat laki-laki bertubuh kekar dan berkharisma siapa lagi kalau bukan Bar, laki-laki yang sudah ada di dalam tokonya itu sejak dari satu jam yang lalu.
"Hai, apa kabar?" Bara terlihat sangat senang ketika laki-laki itu kini melihat Tamara.
"Bara, kau kenapa bisa ada di sini?" Tamara malah bertanya balik pada laki-laki itu.
"Aku kesini hanya mau membelikan keponakanku baju Ara, apa kau merasa keberatan aku datang ke sini?" Bara saat ini sedang berbohong padahal laki-laki itu datang hanya untuk melihat dan bertemu dengan Tamara. Karena sejak beberapa hari ini entah mengapa laki-laki itu ingin sekali melihat wanita yang ia cintai dalam diam itu.
"Tidak Bara, tapi aku merasa Aneh saja, bukankah di toko ini ada beberapa karyawan, lalu kenapa kau harus menungguku?"
Bara terlihat mendekati Tamara. "Aku hanya percaya pada kau, karena kau lebih bisa mencari mana yang cocok untuk keponakanku itu," jawab Bara yang bisa melihat sorot mata Tamara yang saat ini sangat sendu. Namun, laki-laki itu memilih untuk tidak menanyakan hal itu. Karena ia takut wanita itu nanti akan marah-marah padanya.
Tamara yang menganggap Bara sebagai teman baik tanpa memikirkan apapun dengan cepat membawa barang ke tempat baju anak, sebab Tamara tahu keponakan Bara baru saja masuk sekolah dasar.
"Baiklah, kalau begitu sebelah sini," kata Tamara yang berjalan lurus. "Ikuti aku, jangan malah diam saja di sana," ujar Tamara yang melihat Bara hanya diam saja sambil nyengir sehingga memperlihatkan deretan gigi putih lali-laki itu yang tersusun sangat rapi. "Ayo Bara, karena hari ini aku sangat sibuk," sambung wanita itu.
"Iya jalan saya, aku ada dibelakangmu," balas Bara menimpali Tamara.
"Mau beli buat siapa, Rio atau Enis?" tanya Tamara supaya ia bisa memilihkan baju yang pas dan cocok untuk keponakan Bara.
"Keduanya," jawab Bara singkat sambil terus saja melangkahkan kakinya. Karena berduaan begini dengan wanita yang selalu ia sebut di setiap malam membuat laki-laki itu sangat merasa bahagia sekali. Meskipun Bara tahu kalau Tamara sudah menjadi istri orang. Namun, itu semua tidak di perdulikan oleh laki-laki itu.
"Warna sage sangat cocok untuk Enis, biar dia kelihatan putih bersih, dan untuk Rio kau boleh memilih warna hitam saja," ujar Tamara sambil memilih-milih baju yang saat ini ada di depannya. "Kalau anak laki-laki model bajunya hanya setelan yang seperti ini, kaus sama celananya lepis. Beda halnya dengan anak cewek yang banyak sekali modelnya," ujar Tamara menjelaskannya pada Bara. Namun, laki-laki yang dari tadi diajak bicara hanya fokus menatap wajah wanita itu. Sehingga deretan kalimat Tamara diabaikan. "Gimana kau mau pilih yang mana?"
"Sangat cantik," gumam Bara yang malah keceplosan. Namun, detik berikutnya Bara sadar dan dengan cepat berdehem beberapa kali. "Maksudku, bajunya yang sangat cantik-cantik sekali."
"Iya Bara, sekarang kau mau pilih yang mana?"
"Pilihkan saja untukku masing-masing lima pasang," jawab Bara yang sekarang malah terlihat berpura memilih-milih baju.
"Makanya cepetan deh, menikah supaya kamu bisa memberlikan kedua keponakanmu itu baju bersama istrimu," celetuk Tamara.
Mendengar itu Bara langsung saja menjawab, "Secepatnya Ara, ya, secepatnya aku akan menikah dengan wanita yang selama ini aku tunggu-tunggu."
"Jangan lupa undangannya," seloroh Tamara yang terlihat berjalan menuju ke kasir. Untuk menaruh baju yang sudah penuh di tangannya.
"Mau kemana?"
"Tunggu saja di sana, aku mau menaruh baju ini dulu sebentar!" seru Tamara menjawab Bara.
***
Setelah beberapa saat, akhirnya Bara pergi dari toko baju itu. Dan baru saja Tamara akan mengecek baju yang akan wanita itu stok lagi di tokonya tiba-tiba saja salah satu karyawannya malah mendekatinya sambil berbisik di telinga Tamara.
"Ada wanita yang kemarin, katanya mau bertemu dengan Mbak," kata karyawan yang bernama Santi itu.
"Mama, mau apa dia datang ke sini?" batin Ara.
"Mbak, dia datang bersama laki-laki yang sepertinya adalah suaminya," ucap Santi.
"Katakan padanya kalau aku hari ini sangat sibuk, bila perlu suruh mereka ,pergi," kata Tamara yang tidak mau menemui sang ibu. "Jika mereka tidak mau pergi, usir sampai mereka pergi," sambung Tamara yang benar-benar tidak mau bertemu dengan Tami.
"Tapi Mbak …."
"Sana Santi, aku saat ini tidak mau bertemu dengan siapa-sia–"
"Tamara anak Mama," ucap Tami yang tiba-tiba saja sudah berdiri di ambang pintu ruangan Tamara.
"Huh, kau pergi saja Santi, dan biarkan wanita itu masuk," kata Tamara yang tidak mau kalau karyawan itu tahu kalau Tami adalah ibunya.
"Baik, kalau begitu saya permisi dulu Mbak." Santi berpamitan dan langsung pergi.
1 detik ... 2 detik ... 3 detik, Tamara dan Tami saling menatap sebelum akhirnya Tamara memilih untuk memalingkan wajah.
"Ara anak Mama," panggil Tami sekali lagi saat ia melihat Tamara memalingkan wajah.
"Untuk apa datang ke sini?" tanya Tamara tanpa mau melihat wajah sang ibu. "Katakan, karena aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni wanita seperti Anda."
Tami merasakan sesak di hatinya, saat ia mendengar putrinya malah berkata seperti itu pada dirinya. "Sayang, apa begitu bencikah dirimu pada Mama-mu ini sehingga mulutmu saja enggan untuk memanggil wanita tua ini dengan sebutan Mama?" Sudut mata Tami sudah terlihat mulai berair tatkala wanita itu bertanya seperti itu pada Tamara.
"Aku sibuk, jika Anda datang hanya untuk membuang-buang waktuku saja, maka Anda lebih baik pergi saja dari sini." Lagi-lagi Tamara terdengar mengusir ibunya.
"Ara, Mama sangat ingin memelukmu 'Nak, tidakkah kamu merindukan Mama, seperti Mama yang merindukanmu?"
Tamara mendesis sambil berkata, "Rindu, apa itu rindu? Aku sampai lupa kalau aku dulu pernah merindukan sosok wanita yang salah seperti Anda ini."
Air mata Tami luruh saat itu juga karena ia tidak akan pernah menyangka kalau Tamara, putrinya itu akan membencinya sampai sejauh dan sedalam ini. Dan tentu saja ini semua karena Herdi dan Kinanti, sehingga membuat Tamara sangat membenci Tami sampai detik ini.
"Aku harap ini yang terakhir Anda datang kesini," ucap Tamara yang kemudian terlihat kembali fokus menatap layar laptopnya.
Sehingga membuat Tami yang merasa kehadirannya benar-benar tidak di inginkan oleh sang putri dan dengan cepat pergi dari sana. Membawa rasa sesak di dada dan air mata yang mengalir semakin deras.
Sedangkan Tamara diam-diam mengusap air matanya juga, karena jujur saja mau sebenci apapun dia pada Tami. Namun, di dalam hati kecilnya wanita itu sangat ingin memeluk serta berkeluh kesah pada sang ibu. Karena sudah sangat lama ia ingin merasakan kehangatan sosok kasih sayang seorang ibu.
"Lebih baik Mama tidak hadir lagi dalam kehidupanku, daripada membuat luka lama malah kembali terbuka," ucap Tamara lirih di dalam benaknya.
***
Sore menjelang terlihat Demian yang sedang menunggu sang istri di dalam mobil. Dan tidak lama laki-laki itu terlihat menggeser layar benda pipihnya itu untuk menghubungi Tamara.
"Halo Sayang, aku sudah ada di luar, sekarang kamu boleh keluar."
"Mas Demian, hari ini mungkin saja aku pulang agak malaman dikit. Mas bisa pulang saja duluan dan tidak usah menunguku," kata Tamara menimpali sang suami.
"Aku mau kita pulang berdua Sayang, sekarang aku mau mas–"
"Bukankah Mas hari ini harus pergi ke butik, untuk mencari baju pengantin?" Tamara memotong kalimat sang suami dengan sebuah pertanyaan. "Kebetulan mama tadi memintaku untuk memberitahu Mas, karena kata mama nomor ponsel Mas tidak aktif."
"Aku akan tetap masuk, dan biarkan saja Mama yang akan memilih baju untukku," timpal Demian yang sekarang malah terlihat turun dari mobilnya. "Tunggu aku di sana, karena aku mau akan segera masuk ke toko," sambung laki-laki itu yang kemudian memutuskan panggilan telepon itu.
"Apa Ara sudah tidak mencintaiku lagi? Makanya dia selalu saja terlihat biasa saja saat aku akan menikah dengan adik tirinya." Demian berbicara pada dirinya sendiri. "Tidak, Ara tidak boleh berpaling dariku," lanjut Demian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments