Tepat setelah Tamara dan Demian pergi terlihat sebuah mobil mewah berhenti di kediaman Herdi dan Kinanti. Dan tidak lama terlihat Tami dan Burhan yang keluar dari dalam mobil mewah itu.
"Ma, jangan marah-marah, ingat kita di sini datang sebagai tamu," ucap Burhan yang memperingati sang istri, yang dari tadi saat di dalam mobil wanita itu sama sekali tidak mau berbicara dan hanya ada sorot mata yang sangat tajam menandakan Tami saat ini benar-benar marah. "Ma, apa kamu mendengarkan papa?"
"Maaf Mas, aku tidak berani menjamin itu semua," jawab Tami yang dengan langkah terburu-buru masuk ke dalam rumah itu tanpa memencet bel terlebih dahulu. Karena rumah itu sebenarnya adalah miliknya tapi diambil oleh Herdi sewaktu mereka bercerai dulu. Dan faktanya, Herdi dulu adalah laki-laki miskin yang diangkat derajatnya oleh Tami. Namun, tidak ada yang tahu tentang ini semua kecuali Tami sendiri.
"Ma, pencet bel dulu jangan asal nyelonong masuk begitu saja!" seru Burhan yang mengikuti langkah kaki istrinya dari belakang. "Tuhan jangan sampai Tami lepas kendali, karena jika itu terjadi maka semua rahasia yang dia simpan selama ini pasti akan terungkap," gumam Burhan sambil terus berjalan masuk ke dalam rumah itu.
*
"Mbak Tami, silahkan duduk," ucap Kinanti yang seperti biasa beramah tamah kepada Tami. Yang ia lihat baru saja datang. "Kebetulan kami baru saja selesai sarapan, apa Mbak Kinanti dan Pak Burhan mau sarapan?"
"Cukup basa-basinya Kinanti, apa dengan kau memperlakukan aku dengan baik seperti ini, aku akan mau memaafkan semua kesalahanmu di masa lalu? Jangan terlalu berharap dan bermimpi!" desis Tami yang terlihat berdekap tangan dan tidak mau duduk. "Sekarang apa kau menurunkan sifat pelakor yang kau lakoni pada putri yang tidak jelas asal usul bapaknya itu?" Tami mengangkat sedikit sudut bibirnya.
Seolah-olah wanita itu saat ini sedang mengejek Kinanti yang lebih tua darinya. Ya, rupanya Kinanti jauh lebih tua daripada Tami. Namun, anehnya dulu Herdi malah lebih memilih wanita paruh baya itu ketimbang Tami yang kulitnya masih kencang.
"Apa, kau mau marah, dengan apa yang aku katakan ini? Meski faktanya memang kau lah pelakor itu." Mulut Tami jika sudah marah maka akan begini. Ia tidak peduli lawan bicaranya itu masih muda maupun sudah tua sekalipun. Ia akan tetap saja meluapkan rasa kekesalannya seperti saat ini. "Dan sekarang dimana Pak Sutradara yang telah sukses dalam memerankan perannya itu?" Kini Tami malah menanyakan keberadaan Herdi, mantan suaminya itu.
"Mbak, tidak baik ribut-ribut di rumah orang, apalagi ini masih sangat pagi, tidak enak di dengar oleh tetangga," kata Kinanti yang mencoba menenangkan Tami.
"Hei, ini rumah orang? Dari mana kau tahu?" Tami tersenyum mengejek saat wanita itu menanyakan itu.
"Maksud saya, ini rumah Mas Herdi, Mbak." Kinanti juga rupanya tidak tahu kalau pemilik rumah itu adakah Tami.
"Cukup memanggilku Mbak Kinanti, karena kau yang lebih tua daripada aku, sehingga kau tidak ada cocok-cocoknya memanggilku dengan kata mbak. Semoga sampai sini kau paham, dan satu lagi tayangan pada suamimu itu tentang siapa pemilik rumah ini yang sebenarnya."
"Hm, iya nanti saya akan tanyakan Mbak dan sekarang lebih baik kita duduk dulu ya, dan mari kita bicarakan semua ini baik-baik. Karena saya tahu saat ini apa yang Mbak mau bahas dengan saya."
"Bawa anakmu pergi ke dokter kandungan, dan suruh dia menggugurkan bayi ha ramnya itu, karena aku tidak sudi melihat anakku Tamara akan dimadu dengan bibit pelakor. Seperti anakmu itu!"
"Tami apa yang kau lakukan?" Herdi yang akan berangkat ke kantor malah melihat serta mendengar apa saja kalimat yang dilontarkan oleh mantan istrinya itu.
"Bawa anak tiri yang kamu sayangi itu untuk pergi menggugurkan kandungannya, karena aku sebagai wanita yang telah melahirkan Tamara sangat keberatan jika putriku itu akan di madu!" Tami memekik karena ia sudah bisa membayangkan bagaimana nanti putrinya itu akan hidup dalam satu atap dengan Liana dan Demian. "Pokoknya aku tidak setuju! Cukup wanita murahan dan rendahan ini saja yang merusak rumah tangga kita, jangan malah sekarang bibitnya yang mau menghancurkan rumah tangga putriku sungguh aku tidak rela." Nafas Tami terlihat naik turun.
"Ma, sudahlah kita bisa bicarakan semua ini dengan baik-baik," bisik Burhan di telinga Tami dengan sangat pelan. Karena laki-laki itu tidak mau kalau sampai Tami akan kehilangan kendali. "Sudah ya ma, sekarang kita duduk saja," sambung Burhan.
Tami sama sekali tidak merespon sang suami, karena sekarang wanita itu sedang menatap Herdi dan Kinanti secara bergantian.
"Jika kamu datang hanya membuat keributan saja, maka kamu pergi saja dari sini Tami." Sekarang terdengar Herdi malah mengusir Tami. "Daripada kamu datang-datang malah menyuruh anak orang untuk menggugurkan kandungan," lanjut Herdi.
"Apa Mas Herdi mengusirku dari rumahku sendiri? Sungguh terdengar sangat lucu sekali." Tami terkekeh-kekeh. "Mas lupa, ini rumahku!" pekik Tami yang sudah cukup muak dengan semua ini. "Jika bukan karena Tamara, mungkin saja aku sudah menyuruhmu dan pelakor serta bibitnya ini untuk angkat kaki dari rumahku ini!"
Kinanti sangat terkejut saat mendengar kalau rumah yang ia tempati saat ini adalah rumah Tami. Wanita yang dulu ia rusak rumah tangganya itu, sehingga membuat wanita paruh baya itu hanya bisa terdiam. Sebab ia berpikiran kalau rumah itu adalah milik Herdi bukan Tami.
"Jangan bahas itu lagi Tami, cukup!"
"Mas lupa, siapa diri Mas yang dulu? Apa perlu aku ingatkan lagi supaya pelakor ini tahu kebenarannya dan asal usul Mas Herdi?"
Herdi dengan cepat meraih tangan Tami sambil berkata, "Keluar saja dari sini, karena aku tidak mau kalau sampai gara-gara kamu ini rumah tanggaku yang tadi adem ayem akan menjadi kacau balau."
"Pak Herdi, tolong singkirkan tangan Anda dari pergelangan tangan istri saya," ucap Burhan tiba-tiba.
"Bawa istri Anda pergi dari sini, Pak Burhan yang terhormat dan jelaskan padanya kalau Ara sama sekali tidak keberatan untuk dimadu. Jadi, saya harap istri Pak Burhan ini akan mau mengerti." Herdi berbicara tenang, meskipun saat ini ia takut Tami akan membongkar semuanya tentang siapa dirinya yang sebenarnya. "Silahkan, letak pintu utama masih di sebelah sana." Herdi terlihat menunjuk pintu keluar.
"Cukup! Jangan terus-terusan Mas Herdi malah mau mementingkan kebahagiaan anak tirimu Mas, daripada anak kandung serta darah dagingmu sendiri! Dan jangan pernah Mas Herdi mengusirku dari rumahku sendiri, jika Mas tidak mau aku usir balik!" seru Tami.
"Pak Burhan tolong bawa istri bapak pergi dari sini," ucap Herdi yang sekarang terlihat meraih tangan Kinanti. "Ma, ayo ikut papa saja ke kantor." Sesaat setelah mengatakan itu Herdi benar-benar pergi dari sana memawa Kinanti yang masih diam saja. Membiarkan Tami dan Burhan tetap ada di sana.
"Dasar kurang ajar!" teriak Tami yang merasa kesal bukan main.
"Sudah lah ma, kita lebih baik pulang saja," ajak Burhan.
"Mas Herdi sudah sangat keterlaluan," ucap Tami lirih dan bersamaan dengan itu air mata wanita itu yang sudah ia tahan-tahan dari tadi akirnya tumpah juga membasahi pipi mulusnya. "Ara putriku, saat ini pasti dia sedang tidak baik-baik saja."
"Ma, kita doakan saja, supaya Ara baik-baik saja," timpal Burhan. Yang tahu saat ini pasti Tami sangat mengkhawatirkan keadaan Tamara. "Sekarang kita pulang saja, dan nanti sore kita temui Ara, apa mama setuju?"
Tami terlihat merespon sang suami dengan anggukan kecil sambil berkata, "Ayo Mas, karena berlama-lama di rumah ini hanya akan mengingatkanku pada kisah kelamku yang dulu. Dimana aku waktu itu terlihat seperti seorang wanita yang paling bo doh di muka bumi ini."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments