Kinanti, wanita itu menangis sejadi-jadinya di dalam kamarnya, di saat Demian dan Liana sudah pergi ke KUA hanya untuk mendaftar supaya kedua manusia itu terdaftar sebagai calon pengantin di minggu-minggu ini. Mengingat bukan cuma mereka saja yang akan menikah tepat satu minggu lagi.
"Bu, sudahlah jangan terus-terusan menangis, lagipula Demian dan Liana akan menikah. Jadi, tidak ada yang perlu ibu takuti serta tangisi lagi," ucap Herdi yang dari tadi menyuruh sang istri untuk tidak menangis lagi. Karena laki-laki itu merasa kasihan tatkala melihat mata Kinanti sudah sembab sebab wanita itu menangis sudah dari beberapa jam yang lalu. "Sudah ya, Bu. Karena semuanya akan baik-baik saja." Herdi sama sekali tidak memarahi Kinanti yang tidak becus dalam mengurus Liana. Sehingga gadis itu bisa hamil di luar nikah seperti saat ini.
"Kisah lama kita akan terulang lagi pa, dan aku tidak mau kalau sampai Tamara mengetahui kebenarannya," kata Kinanti yang tidak mau berhenti menangis. "Dan jika Tamara tahu, pasti dia akan sangat membenciku," sambung Kinanti lagi.
"Bu, yang akan menikah itu Demian dan Liana. Tapi kenapa ibu malah membahas atau mengungkit kisah cinta kita yang dulu?" Herdi mengeleng-gelengkan kepalanya. "Sudah Bu, kubur kisah kelam kita yang dulu dan jangan pernah ibu ungkit-ungkit lagi. Karena sekarang Ara tumbuh menjadi seorang wanita yang tangguh dan berhati lapang itu semua berkat ibu. Jadi, papa minta jangan kaitkan masalah ini dengan masa lalu kita," ujar Herdi yang sekarang terlihat membawa sang istri untuk masuk ke dalam pelukannya. Karena laki-laki itu berharap Kinanti akan merasa jauh lebih tenang. "Papa mohon, jangan di ungkit lagi ya, Bu, karena kita sudah hidup bahagia sekarang ini, jauh dari gosip-gosip murahan yang bisa menghancurkan rumah tangga kita."
"Pa, aku takut," kata Kinanti lirih. Meskipun sang suami sudah mengatakan kalimat panjang lebar dari tadi.
"Tidak ada yang perlu ibu takuti, karena papa yakin semua akan baik saja," timpal Herdi sambil mengelus punggung sang istri. "Lebih baik sekarang ibu beristirahat saja ya, karena papa mau menemui Ara dulu hanya untuk memastikan kalau Ara juga baik-baik saja."
Kinanti menggeleng. "Tamara tidak sedang baik-baik saja pa, karena ibu sebagai seorang wanita bisa merasakan apa yang saat ini Tamara rasakan."
"Papa hanya sekedar memastikan saja Bu, kalau ibu beristirahatlah saja seperti kata papa tadi, karena papa lihat kantung mata ibu sudah berwarna hitam." Herdi selalu berkata lemah lembut pada Kinanti mau laki-laki itu narah atau tidak tutur bahasanya memang sangat santun. "Papa keluar dulu," pamit Herdi sambil tersenyum simpul pada sang istri.
***
"Tamara," panggil Herdi ketika laki-laki itu melihat putrinya sedang duduk termenung di pinggir ranjang. "Putri Papa," panggilnya sekali lagi, sebab wanita yang suasana hatinya itu tidak menoleh ataupun sekedar menyahut panggilan sang ayah.
Sedangkan Ara yang sedang melamun di dalam kamarnya spontan saja kaget karena tangan Herdi tiba-tiba saja menyentuh pundak wanita itu.
"Ara, apa yang kamu lamunkan 'Nak, sehingga panggilan Papa tidak kamu dengar?"
Tamara dengan cepat menghapus sisa lelehan air matanya, sambil memaksakan bibirnya untuk tersenyum. "Papa, Maaf aku tidak mendengar panggilan Papa tadi," ucap Tamara yang masih saja memaksakan bibirnya untuk tetap tersenyum.
"Tidak apa-apa, karena wajar-wajar saja kamu melamun, sebab suami kamu akan menikah lagi." Saat Herdi mengatakan itu jantung Tamara semakin berdetak lebih kencang tidak seperti biasanya. "Maafkan adik kamu," kata Herdi secara tiba-tiba ketika ia sudah duduk di samping putrinya itu. "Iya, atas nama Liana dan ibu kamu Kinanti, Papa mau kamu memaafkan adik serta ibu kamu itu." Saking sayang dan tulusnya seorang Herdi pada Kinanti. Sampai-sampai laki-laki itu meminta maaf atas nama anak tiri dan istrinya itu.
Sehingga membuat Ara langsung saja tersenyum getir, karena wanita itu merasa kalau sang ayah lebih peduli pada ibu dan anak itu ketimbang dirinya yang berstatus sebagai anak kandung.
"Kenapa Papa selalu saja lebih peduli pada Liana dan ibu? Apa Papa tidak bisa memahami hatiku saat ini? Seharusnya Papa menghiburku, serta menenagkanku bukan malah terus-terusan memintaku untuk maafkan Liana," gumam Tamara di dalam benaknya. "Aku memang mengizinkan Mas Demian menikah dengan Liana, tapi bukan berarti aku harus memaafkan apa yang sudah Liana lakukan pada rumah tanggaku," sambung Tamara membatin. Karena rupanya wanita itu sudah tahu kalau ini semua adalah rencana Liana bukan atas dasar suka sama suka seperti yang di tuturkan oleh adik tirinya itu.
"Papa beruntung memiliki kamu Ara, karena kamu adalah anak Papa yang selalu pengertian serta selalu saja mau mengalah dalam segi dan dalam hal apapun itu. Termasuk sekarang yang tidak keberatan kalau suami kamu menikah dengan adik tirimu." Dengan penuh rasa sayang Herdi mengelus-ngelus punggung tangan sang putri. "Papa benar-bnar merasa bangga memiliki kamu yang berhati tulus Ara."
"Pa, aku melakukan semua ini hanya demi bayi yang tidak berdosa itu, jika bukan karena mahkluk kecil itu maka aku tidak akan pernah rela mau di madu," timpal Ara dengan air mata yang kembali menestes secara sempurna sehingga membasahi kedua pipi wanita itu lagi. "Meskipun jaminannya surga," lanjut Tamara di sela-sela isak tangisnya.
Herdi langsung saja membawa putrinya ke dalam dekapannya. "Menangislah 'Nak, jika itu yang bisa membuat hatimu menjadi sedikit tetang. Dan ini pundak Papa tempat kamu bersandar." Herdi memang sangat menyayangi Tamara. Namun, siapa sangka dan duga ternyata laki-laki itu lebih menyayangi Liana yang nyata-nyata adalah anak tirinya ketimbang Tamara. "Papa sangat mengerti dan Paham bagaimana keadaan hati kamu saat ini, tapi cuma satu yang Papa pinta jangan ada niat di dalam hatimu ataupun di dalam benakmu ini untuk membenci adik kamu Liana meskipun kalian hanya sodara tiri."
"Kenapa alam semesta ini sangat tidak adil pada diriku, Pa? Kenapa?" Suara Tamara serak saat wanita itu bertanya seperti itu pada sang ayah. "Dulu Mama pergi meninggalkan kita bersama laki-laki lain, dan sekarang aku malah akan di madu dengan adik tiriku sendiri. Apa sekejam inikah alam semesta kepadaku Pa? Dan kenapa ini semua harus terjadi pada aku, wanita yang selalu saja mengalah ini?" Pada detik itu juga suara tangis Tamara menjadi pecah dan kian menjadi-jadi. Karena rasa sesak di dada wanita itu tidak mampu ia tahan-tahan lagi. "Aku selalu mengalah dan selalu gagal dalam semua hal!" Tamara berteriak histeris. "Jika untuk merasakan kepahitan saja di dunia ini, lalu kenapa aku harus di lahirkan? Jawab aku, Pa!"
Herdi hanya bisa diam saja dan membiarkan Tamara menangis sejadi-jadinya. Karena jujur saja lama-lama laki-laki itu merasa sangat kasihan pada putrinya itu. Yang pasti saat ini merasa sangat hancur sehancur hancurnya. Sebab ia tahu bagaimana Tamara sejak dulu sampai sekarang wanita itu sangat mencintai Demian.
"Tidak ada yang bisa Papa lakukan 'Nak, selain menyuruhmu untuk ikhlas karena jika kamu ikhlas maka hatimu akan menjadi jauh lebih tenang," ucap Herdi membuka suara. "Karena yang menjadi madumu adik tiri kamu sendiri, dan itu artinya tidak ada orang lain yang akan masuk ke dalam rumah tanggamu dan Demian."
"Ternyata percuma saja aku meluapkan isi hatiku ini pada Papa, jika kalimat-kalimat yang Papa lontarkan hanya kalimat pembelaan pada Liana." Tamara membatin sambil meremas ujung bajunya dengan sangat erat.
***
Tepat dini hari, Tamara belum juga bisa memejamkan mata sehingga membuat gadis itu memutuskan untuk keluar saja ke balkon kamarnya. Karena ia pikir dengan terpaan angin malam maka jiwa serta otaknya akan kembali berpikir dengan jernih.
Hingga tidak berselang lama, wanita itu sudah terlihat berdiri di balkon. Sambil menatap ke atas dan ia bisa melihat kalau rembulan pada malam ini terlihat memancarkan cahanya yang begitu sangat terang benderang.
"Bulan apakah kau tau? Saat ini hatiku sedang tidak baik-baik saja. Tapi kenapa? Kau malah bersinar sangat terang sekali. Tidakkah kau mau ikut bersedih atas apa yang menimpa hubungan rumah tanggaku saat ini." Tamara malah mengajak rembulan yang memang memancarkan cahaya yang begitu terang itu berbicara. "Redupkanlah sedikit cahanyamu wahai sang rembulan malam, supaya aku merasa kalau aku ini memiliki teman di setiap malam meskipun kau hanya bulan yang tidak akan mungkin bisa kugapai." Seolah-olah bulan itu bisa berbicara, sehingga membuat Tamara menjadi senyum-senuyum sendiri. "Memang benar, seharusnya aku lebih berharap pada Sang pencipta daripada makhluk ciptaannya," ucap wanita itu yang masih saja betah berbicara pada dirinya sendiri.
Angin malam yang sepoi-sepoi tidak membuat Tamara merasa kedinginan, meskipun wanita itu terlihat hanya menggunakan piama yang sangat tipis setipis iman Author saat ini.
Tidak lama sebuah tangan kekar malah memeluk pingang wanita itu, dan hampir saja Tamara berteriak karena kaget. Jika saja ia tidak langsung menolah, karena saat ia menoleh wanita itu malah tidak melihat siapa-siapa di belakangnya. Membuat wanita itu merasa sangat aneh.
"Lantas siapa yang memeluk pinggangku tadi?" Tamara bertanya-tanya pada dirinya sendiri. "Apa jangan-jangan kamarku ini berhantu, padahal cuma satu bulan tidak aku tempati," ujarnya yang sekarang memegang tangkuk lehernya karena tiba-tiba saja bulu kuduk wanita itu berdiri. Dan ia kini malah telihat kembali menatap rembulan, tapi lagi-lagi sebuah tangan kekar memeluk pinganggnya. Membuat wanita itu merasa kalau ini adalah ulah suaminya sehingga membuatnya dengan cepat berkata, "Mas Demian, aku tidak suka bercan–" Kalimat Tamara langsung saja terputus sebab ia baru mengingat kalau pintu kamarnya itu ia kunci. Dan sekarang wanita itu sekarang malah terlihat terburu-buru untuk masuk kembali ke dalam kamarnya serta ia dengan cepat menutup pintu yang menuju ke balkonnya itu. "Ini semua ada yang tidak beras," gumam Tamara dengan tubuh yang mulai gemetaran karena ia merasa takut. "Ini sangat aneh, apa yang tadi itu benar-benar dedemit rumah ini?" Saat Tamara bertanya seperti itu ia langsung saja naik ke atas ranjang dan menarik selimut sehingga selimut itu menutupi sluruh tubuh wanita itu.
"Dedemit di rumah ini sepertinya tahu kalau aku tidak bisa tidur, sehingga dia mau mencoba menakut-nakutiku dengan cara begini," gumam wanita itu pelan. Dengan tubuh yang semakin gemetaran hebat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments