Aku sampai di apartemen siang itu. Lelah sekali. Namun aku belum bisa beristirahat. Setelah aku bangun pukul 3 pagi, aku menyetrika pakaian, kemudian kuliah, ke SMA Centauri, dan sekarang pekerjaan rumah lainnya menunggu untuk aku selesaikan. Waktu istirahatku benar-benar berkurang.
Aku pun duduk di sofa sejenak untuk menghilangkan lelahku barang sedikit saja. Aku pun melirik jam aku masih punya waktu sekitar 2 jam hingga biasanya Ghiffa tiba di apartemen.
Aku ke kamar untuk mengganti pakaian, lalu ke kamar Ghiffa untuk membersihkannya. Aku ganti sprei, dan aku vacum seluruh kasur dan lantainya. Ku lap dinding kaca, dan aku pel juga lantainya.
Kemudian aku membersihkan meja belajarnya. Di sebelah kanannya terdapat sebuah lemari kecil. Biasanya lemari itu terkunci. Ghiffa selalu mewanti-wanti agar aku tidak menyentuhnya. Namun sepertinya ia lupa menguncinya kembali karena sekarang lemari itu terbuka sedikit. Aku pun berniat menutupnya.
Tapi sebelum aku menutupnya, tidak sengaja aku melihat beberapa benda yang familiar di dalam lemari ini. Akupun semakin penasaran, apa sebenarnya yang disembunyikan oleh tuan muda menyebalkan itu. Aku membuka lemari itu lebih lebar, dan aku melihat beberapa miniatur figur Kojiro Hyuga dan tokoh-tokoh Captain Tsubasa lainnya. Di belakang miniatur itu aku melihat komik Captain Tsubasa yang berjajar rapi dan lengkap sekali dari episode pertama hingga akhir.
Aku tercengang melihat koleksinya itu. Ghiffa menyukai Captain Tsubasa juga? Miniatur Kojiro Hyuga itu mirip dengan yang dimiliki oleh Zayyan.
Aku sama sekali tidak menyangkanya. Aku kira dia hanya menyukai musik rock, death metal, atau musik kebarat-baratan lainnya, ternyata dia seorang wibu juga.
Aku segera menutup lemari itu dan keluar dari kamar Ghiffa dan mulai membersihkan ruang tengah. Memvacuumnya dan kemudian mengepelnya. Setiap sudut ruangan aku bersihkan hingga bersih. Kemudian aku memasukkan pakaian-pakaian kotor ke dalam mesin cuci dan membiarkan mesin itu bekerja sebelum aku menjemurnya nanti.
Terakhir aku ke dapur, aku melirik jam di dinding. Sudah satu setengah jam aku membereskan rumah. Sekarang waktunya memasak dan menyiapkan lemonade untuk majikanku itu. Baru setelah itu aku akan mandi dan beristirahat. Sungguh hari yang panjang.
Pintu apartemen terdengar diakses oleh seseorang. Rupanya Ghiffa sudah pulang. Ia pulang lebih awal hari ini. Ia menghampiriku dengan terburu yang sedang memasukkan es ke dalam lemonade.
"Ay, kenapa lo ada di sekolah gue?" Tanyanya tanpa basa-basi.
"Silahkan diminum dulu, Tuan." Aku menyodorkan lemonade padanya.
"Jawab kalau gue nanya!" Bentaknya.
Aku menatapnya dengan kesal. Ku coba berbicara dengan nada rendah, "Kebetulan petugas perpustakaan sedang cuti. Jadi saya diminta untuk menggantikan. Sekaligus saya diminta oleh Nyonya untuk mengawasi anda di sekolah." Terangku.
"Kenapa lo gak bilang sama gue? Malah tiba-tiba nongol di sekolah." Ucapnya dengan marah.
"Anda bisa menganggap saya tidak ada di sekolah, Tuan. Saya juga akan seperti itu. Anggap saja kita tidak saling mengenal." Ucapku. Malas sekali berdebat.
Akupun mulai memotong sayuran. Diam-diam aku melirik ke arahnya. Ia terlihat sedang berpikir sambil menyesap lemonade yang aku buatkan. Entah apa yang dipikirkannya. Tapi aku tidak peduli, aku pun fokus pada masakanku.
"Gak ada yang mau lo tanyain ke gue?" Tanyanya tiba-tiba. Sontak aku menoleh padanya dengan bingung.
"Tuan sebenarnya ingin mengatakan apa?" tanyaku segera.
"Ya harusnya lo nanya sesuatu sama gue."
Apa sih maksudnya? Apa dia ingin bertanya mengenai Zayyan?
"Soal apa? Soal anda membuli pacar saya ?" tanyaku to the point. "Saya gak heran melihat sikap Tuan di sekolah seperti itu. Di rumah saja Tuan semena-mena pada saya." Ujarku frontal. Aku memang lebih berani untuk mendebatnya sekarang setelah dia mengajukan perjanjian konyol itu. "Yang saya tidak menyangka justru melihat pacar saya di sekolah itu dan memakai seragam SMA."
"Emang lo gak mau pacaran sama anak SMA?"
"Ya enggak atuh, Tuan. Saya ini udah 21 tahun. Jujur saya terkejut sekali saat melihat Zayyan di sekolah. Ternyata dia seusia dengan Tuan. Tapi saya terlanjur sayang sama dia. Jadi saya bisa apa." Tanpa sadar aku malah curhat padanya.
"Jadi lo gak mempermasalahkan umur dia sekarang?" Ghiffa bertanya seakan ingin memastikan.
"Perasaan saya sama pacar saya jauh lebih dalam dari sekedar umur, Tuan. Saya gak apa-apa asalkan dia masih menjadi pacar yang saya kenal selama ini."
"Gitu ya," Ghiffa tersenyum lega.
Aku mengerutkan dahiku melihat tingkahnya, "Tuan kenapa sih?"
"Gue? Gak apa-apa, kok. Kenapa emangnya?" Ghiffa kembali ke mode angkuhnya.
Aku teringat sesuatu dan meletakkan pisau yang sedang aku pegang, "Ada satu hal yang ingin saya tanyakan pada Tuan. Kenapa Tuan membuli pacar saya?"
"Kenapa emangnya? Dia pantas kok dibully." Ucapnya tanpa dosa.
"Kenapa? Karena dia penerima beasiswa? Karena dia pintar dan baik? Tuan iri pada dia?"
"Gue iri sama Zayyan? Yang bener aja kalau ngomong!" Bantah Ghiffa.
"Terus kenapa Tuan berbuat seperti itu? Saya tidak akan membiarkan Tuan melakukan itu lagi pada Zayyan. Jika Tuan melakukan hal yang membuat Zayyan terluka, perjanjian kita batal!" Ancamku.
Ghiffa tersenyum lebih seperti gemas, "Apa sih yang lo lihat dari si Zayyan itu? Gantengan gue kemana-mana kali."
Aku mendelik padanya, "Wajah itu gak penting ya, Tuan. Yang penting hatinya. Bagi saya Zayyan punya hati yang lembut, dia tulus sayang sama saya, dan saya juga tahu Zayyan sangat sayang sama saya. Jadi walaupun Tuan jauh lebih tampan dari dia, saya gak peduli. Karena hatinya yang saya lihat, bukan wajahnya." Pungkasku.
Akupun kembali melanjutkan pekerjaanku memotong sayuran. Semoga yang aku katakan barusan bisa membungkam mulut besar tuan mudaku ini. Harta dan wajah tampan bukan segalanya. Tidak semua orang akan tunduk dengan kedua hal itu. Dia harus sadar itu.
Tiba-tiba saja dua buah tangan melingkar begitu saja di perutku. Tubuh Ghiffa begitu rapat pada punggungku dan aku merasakan dagu Ghiffa ada di puncak kepalaku. Wangi parfum yang selalu Ghiffa gunakan kini dengan mudahnya bisa aku hirup dan itu sangat menghinotisku. Juga aliran listrik itu aku rasakan lagi di sekujur tubuhku.
"Tuan! Apa yang Tuan lakukan?!" Teriakku, sambil berusaha melepaskan kedua tangan Ghiffa yang saling tertaut di perutku.
"Diem kayak gini bentar aja." Lirihnya.
Perubahan sikap Ghiffa yang sering kali terjadi secara tiba-tiba seperti ini mulai menggangguku. Aku semakin bingung dengan sikapnya ini.
"Saya lagi megang pisau ya, Tuan!" ancamku.
Ancamanku itu tidak terlalu berpengaruh. Mungkin dia tahu aku tidak mungkin menggunakan pisau itu untuk menyakitinya. Ghiffa mengambil alih pisau yang aku genggam dan meletakkannya di konter dapur. Lalu dia memutar tubuhku dan begitu saja merengkuh tubuhku sehingga aku kini ada dalam pelukannya.
Apa lagi ini?!
"Tuan! Lepasin!" Aku mencoba memberontak.
"Makin lo nyoba buat lepas, gue bakal makin nekat. Lo mau gue lakuin lebih dari sekedar meluk lo?" Ancamnya.
Kata-katanya membuatku kehilangan tenaga. Aku pun pasrah tidak ingin dia semakin nekat. Aku mengenal sekali karakternya ini. Dia memang cowok paling nekat yang pernah aku kenal.
Dalam hati aku kembali memohon maaf pada Zayyan, 'Zay maafin aku. Aku bahkan belum pernah peluk kamu kayak gini. Tapi aku malah meluk cowok lain tanpa sepengetahuan kamu.' batinku merasa sangat bersalah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
Erni Fitriana
jujur aja dehhhhh
2024-06-04
0
⁽⁽ଘ[🐾©️le🅾️🦋]ଓ⁾⁾
❤️❤️❤️❤️❤️❤️🥰🥰🥰🥰🥰🥰
2023-08-06
1