[Zayyan] : Kamu gantiin bibi kamu yang jadi ART itu?
Aku sedikit ragu saat mengakuinya. Sebenarnya aku ingin merahasiakannya dari Zayyan tapi sepertinya tidak mungkin. Aku tidak ingin ada kesalahpahaman antara aku dan dia yang mungkin terjadi di kemudian hari.
[Ayana] : Iya, Ga. Nanti aku chat lagi ya.
Antrian di depanku berkurang hingga akhirnya tiba giliranku membayar. Aku pun menyimpan ponselku di tas dan membayar pesananku tadi. Setelah itu aku segera menuju ke meja yang diduduki oleh Ghiffa.
"Ini Tuan kembaliannya." Aku meletakkan kembalian dan struk itu di hadapan Ghiffa yang masih sibuk dengan ponselnya, dan mengambil tempat di hadapannya, tapi agak di sebelah kirinya. Aku tidak ingin duduk berhadapan langsung dengan majikanku yang menyeramkan itu.
Ghiffa menjawab dengan gumaman, sambil menatap ke arahku. Lalu dia meletakkan ponsel yang digenggamnya.
Dia melihat ke arah struk di depannya, "Loh kenapa cuma satu porsi?"
"Iya satu saja 'kan hanya Tuan yang akan makan. Saya juga pesankan es krim dan cemilan." Ucapku.
"Gue 'kan udah nyuruh lo buat beli buat lo juga?!" Alis tebalnya menyatu.
"Saya gak usah, Tuan. Makasih." Entah mengapa dia terlihat sangat marah. Harusnya dia bersyukur memiliki ART yang tahu diri sepertiku.
Kemudian seorang pramusaji datang mengantarkan makanan untuk Ghiffa.
"Mbak, saya mau pesan satu porsi lagi." Ujar Ghiffa pada mbak-mbak pramusaji itu seraya mengeluarkan dompetnya dari saku celananya.
"Maaf, Mas. Tapi pemesanan hanya bisa dilakukan melalui mesin." Ucap Mbak-mbak itu dengan sopan.
"Ribet banget, sih. Gak bisa apa saya pesen ke Mbak aja?" Ghiffa menaikan nada bicaranya.
"Tidak bisa, Mas. Mohon Maaf." Ujar pramusaji itu terlihat sedikit ketakutan karena Ghiffa menatapnya dengan sorot mata tajamnya.
"Kenapa gak bisa? Gue bayar 10 kali lipat!" Ujar Ghiffa seraya beranjak dari kursinya.
"Maaf, Mas. Tetap tidak bisa..." Pramusaji itu menjelaskan dengan agak ketakutan.
Ghiffa bersiap untuk mendebat kembali pramusaji itu. Aku beranjak dan mendorong tangan Ghiffa agar dia duduk kembali di kursinya. "Gak jadi, Mbak. Makasih ya." Aku mengisyaratkan wajahku agar pramusaji itu segera pergi agar perdebatan ini segera selesai. Pramusaji itupun mengerti dan segera pergi dari meja kami.
"Tuan, sekarang silahkan dimakan makanannya." Ucapku saat Ghiffa berhasil ku buat duduk kembali di kursinya.
"Lo kenapa gak pesen juga?! Gue tadi udah minta lo pesen makanan juga 'kan? Lo tahu 'kan gue gak suka makan sendirian!" Bentaknya.
Mulai lagi dramanya.
Aku menggeser satu cup eskrim ke arahku, "Ini saya juga makan, Tuan. Silahkan Tuan makan dengan tenang." Tegasku dengan penuh penekanan.
Akhirnya ekspresi Ghiffa melunak walaupun terlihat masih belum puas berdebat saat aku menyuapkan sesendok eskrim ke dalam mulutku. Mau tidak mau iapun mulai memakan burger yang aku pesankan tadi. Tuan mudaku ini benar-benar sangat tidak manis. Kenapa dia bisa jadi orang yang sangat tidak sopan dan tidak sabaran seperti ini sih?
"Gue pengen es krimnya." Ucapnya tiba-tiba.
Aku meletakkan es krim yang sedang aku makan dan segera beranjak dari kursiku, "Saya pesankan dulu untuk Tuan."
Namun Ghiffa malah mengambil es krim yang sedang aku makan tadi dan menyuapkannya begitu saja ke dalam mulutnya. Dia memakannya tanpa merasa risih sedikitpun.
"Udah, Gue cuma pengen nyobain aja. Duduk lo. Abisin es krim lo." Ujarnya seraya kembali meletakkan es krim itu di tempat semula.
Aku tertegun. Aku kembali duduk di kursiku dan menatap es krim itu, merasa serba salah. Dia memakan es krim milikku, dengan sendok yang aku gunakan!
"Kenapa, lo?" Tanya Ghiffa yang menangkap ekspresi terkejutku.
"Tuan, tapi ini tadi 'kan bekas saya. Terus Tuan makan, emang tidak apa-apa?" Tanyaku dengan hati-hati.
"Emang kenapa? Lo gak rabies 'kan?"
Ingin sekali kusumpalkan cabe rawit ke dalam mulutnya.
"Kenapa? Jijik lo sendok lo gue pakai?!" Ghiffa kembali menaikkan nada bicaranya, menatapku dengan marah sampai-sampai aku merasa merinding karena tatapannya yang begitu tajam.
Aku menggelengkan kepalaku dan segera aku menyendokkan es krim dan menyuapkan ke dalam mulutku, "Enggak, Tuan."
Sebuah senyum tipis, tipis sekali terbit di wajahnya. Hingga aku tidak yakin itu senyuman atau dia hanya sinis padaku.
Sedangkan aku, tepat saat sendok itu menyentuh mulutku, jantungku tiba-tiba saja bergemuruh. Hey, jantung! Ada apa? Ini hanya makan di sendok yang sama! Bukan hal yang besar, 'kan?
***
Kini aku berjalan di salah satu lorong supermarket dengan mendorong sebuah troli. Ghiffa berada di depanku, sibuk menoleh ke kiri dan ke kanan. Tangannya tidak henti-hentinya menyambar dan memasukkan berbagai cemilan ke dalam troli. Aku hanya mengikutinya dengan sabar. Juga, aku sibuk melihat ekspresi orang-orang saat tidak sengaja melihat Ghiffa.
Sudah ada puluhan pasang mata yang menatap Ghiffa sejak kedatangan kami di supermarket ini. Mata-mata itu milik para kaum hawa. Saat tidak sengaja mata mereka menangkap sosok Ghiffa, tatapan dari orang-orang seperti hilang kendali. Mereka akan melihat Ghiffa sampai beberapa detik sebelum mereka akan tersadar kembali. Setampan itu memang wajah majikanku ini.
Apalagi kini dengan seragam putih abunya, dibalut dengan jaket bomber berwarna navy, serta tubuh tinggi menjulangnya, benar-benar mengalihkan dunia mata-mata yang melihatnya.
Selain wajah tampannya, rata-rata para cewek yang berpapasan dengan kami terkesima karena Ghiffa seorang cowok yang tidak gengsi untuk berbelanja.
Mereka belum tahu saja, dibalik wajahnya yang sempurna, tabiatnya benar-benar membuat hati kesal setengah mati. Apalagi jika nada bicaranya sudah meninggi dan kedua alisnya sudah bersatu, aku yakin kekaguman mereka akan menguap begitu saja, sama seperti yang sudah beberapa kali terjadi padaku.
Aku memperhatikan troli yang sudah penuh setengahnya dengan berbagai cemilan yang diambilnya. "Tuan, apa anda hanya akan berbelanja cemilan? Bukankah kita akan membeli sayuran, daging, dan buah-buahan juga?"
"Iya, bawel. Ini udah kok. Kita beli dulu shampo dan lain-lain dulu. Baru sayuran dan lain-lain."
Di ujung lorong Ghiffa berbelok ke bagian sabun dan sejenisnya. Ghiffa mulai memberitahukan shampo dan sabun yang sering ia gunakan, detergen, semuanya. Akupun berusaha menyimak dan mengingat semuanya. Setelah ini aku harus membelinya sendiri jika persediaan kebutuhan Ghiffa habis.
Lalu kamipun berbelok kembali ke bagian sayuran dan bahan masak lainnya. Dia mulai memberikan instruksi padaku. Pada dasarnya dia menyukai semua makanan, jadi dia tidak banyak protes saat aku merekomendasikan berbagai sayuran untuknya. Katakanlah aku ini expert dalam hal sayur mayur, orang tuaku petani sayur, ingat?
"Saya kira Tuan gak terlalu suka sayuran." Ucapku seraya memasukkan kentang ke dalam plastik yang tersedia.
"Gue gak pilih-pilih kalau makanan. Cuma gak suka aja kalau makanannya udah dingin."
Mengejutkan memang. Aku kira dia akan sangat ribet tidak suka ini dan itu, tapi ternyata dia menyukai semuanya. "Sudah semua sepertinya, Tuan." Aku memasukkan kentang yang sudah ditimbang ke dalam troli.
"Kalau lo sukanya apa?" Sontak reflek aku mendongak menatap ke arah Ghiffa.
Ghiffa bertanya apa yang aku suka? Untuk apa?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
Natha
wkwkwkwk 🤣🤣🤣
dahsyat... like a Thunder
2024-08-31
2
Erni Fitriana
ghiffa pengen disayang itu ayyy
2024-06-04
1
meE😊😊
si ghiffa cma btuh perhatian aja mka y dia kek gtu.. krn kurg perhatian n sllu ksepian
2023-08-08
2