"Suatu hari lo akan bersyukur karena udah ngasih ciuman pertama lo sama gue. " Ucap Ghiffa. Entah mengapa ia terdengar sangat yakin.
Aku beranjak dari tepi tempat tidurnya dan berjalan menjauhi Ghiffa yang berjongkok di depanku. Melihat aku beranjak, dia juga berdiri menghadapku.
"Tuan, sepertinya ciuman itu tidak artinya bagi anda. Tapi bagi saya itu sangat penting. Saya ingin memberikannya pada orang yang saya sayang. Bukan ke sembarang orang!" Ucapku emosi, seraya menahan air mataku yang jika saja aku mengedip pasti akan mengalir. Tidak. Aku tidak boleh meneteskan air mataku lagi di depan cowok gila ini.
"Terus lo mau marah sama gue? Lo mau minta gue tanggung jawab?" Sinisnya.
"Saya mau resign." Ucapku dengan mantap, "anda tidak perlu membayar gaji saya selama saya bekerja disini. Saya berterimakasih karena walaupun saya belum sebulan berada disini, saya bisa makan dan punya tempat bernaung dengan nyaman. Saya akan segera mencari pengganti saya sebagai ART yang mengurus Tuan. Maafkan saya. Saya permisi." Segera aku berjalan menuju pintu.
Tepat saat aku membalikkan badanku, Ghiffa membopong badanku. Sontak aku berteriak, "Tuan! Turunkan saya!" Aku terus meronta-ronta tapi sepertinya itu tidak membuat Ghiffa yang memiliki tubuh jauh lebih tinggi dariku, terpengaruh dengan rontaan badanku yang mungil ini.
Dia membawaku ke balkon kamarnya kemudian mendudukkanku di tepi balkon.
"Kalau lo terus gerak-gerak lo bakal jatoh. Liat di belakang lo. "
Ghiffa mendorongku sehingga tubuhku sedikit menggantung di balkon itu. Tangannya mencengkram kuat tanganku, namun bisa saja ia melepaskanku kapan saja. Aku menoleh ke pinggir dan melihat betapa tingginya ini. Aku baru sadar ini ada di lantai 20, seketika bulu kudukku berdiri dan tubuhku gemetar hebat.
Sontak aku mencengkram bagian lengan pada kaos yang Ghiffa kenakan, apa aku akan didorongnya ke bawah? Apa Ghiffa senekat itu?
"Tolong jangan dorong saya dari sini, Tuan! Saya mohon. Saya janji akan melakukan apapun yang Tuan mau!" suaraku bergetar saking takutnya.
Ghiffa terkekeh mendengar ucapanku, "Beneran?"
"Iya, Tuan. Saya janji saya akan lakukan apapun. Tapi tolong jangan dorong saya!" Teriakku putus asa. Aku masih ingin hidup! Aku ingin lulus kuliah dan bekerja. Aku juga ingin menikah. Tidak mungkin aku mati sekarang!
Malang sekali hidupku ini. Aku kira pekerjaan sebagai ART di apartemen milik orang kaya itu akan membuat hidupnya tentram dan nyaman. Diberi tempat tinggal dan juga gaji yang lumayan. Nyatanya aku malah mendapatkan majikan yang tidak waras seperti ini.
"Okay." Ghiffa siap bernegosiasi, "Pertama gue gak mau lo berhenti. Lo harus tetep jadi ART gue, sampai gue sendiri yang berhentiin lo. Lo ngerti?"
"Iya, Tuan. Saya gak akan berhenti." Jawabku tanpa pikir panjang. Biarlah yang penting aku selamat dulu dari sini.
"Kedua, gue pengen lo cium gue minimal satu kali sehari."
"HAH?!"
Aku yang asalnya menangis ketakutan kini membelalakkan mataku selebar-lebarnya, dengan posisi tubuh masih menggantung di sisi balkon, pada cowok nekat yang masih mencengkram tanganku ini.
Dia benar-benar sudah gila!
"Lo gak mau?" Tanya Ghiffa. Seketika ia melonggarkan cengkraman tangannya pada tanganku, membuatku melingkarkan tanganku di sekeliling lehernya dengan sangat erat.
"Iya, Tuan. Iya!" Ujarku segera.
"Janji?"
"Iya, Tuan saya janji!"
Ghiffa menarik pinggangku. Rasa takut masih menguasaiku, nafas dan jantungku terus menderu, dan tanpa sadar aku masih memeluknya.
Aku lega karena kini tubuhku tidak lagi menggantung di sisi balkon. Namun saat aku sadar, aku merasakan tangan Ghiffa juga memelukku.
Apa maksud dari pelukannya ini? Baru saja ia akan mendorongku jatuh, namun sekarang ia memelukku dengan sangat erat. Seakan ingin menenangkanku.
Tinggal bersamanya lebih lama aku bisa benar-benar gila!
"Sekarang kasih jatah gue hari ini. "
Aku melepas pelukannya dan menatapnya tercengang, "yang Tuan katakan tadi serius? "
"Iyalah, lo kira gue bercanda?" Tatapannya mengatakan bahwa ia berkata jujur.
"Ayo, tunggu apa lagi?" Ujarnya. Ia mendekatkan wajahnya padaku.
Apakah aku harus benar-benar melakukan ini? Mimpi apa sih aku semalam?
Kuhela nafasku. Lalu ku tutup mataku, "Tuan saja yang lakukan. Saya pasrah." Ucapku lesu.
Beberapa saat tidak terjadi apapun. Hingga aku merasa pinggangku diangkat dan seketika aku sudah berdiri di lantai balkon. Aku membuka mataku dan menatap Ghiffa dengan bingung.
"Tuan.. "
"Gue gak mau gue yang cium lo. Perjanjiannya juga lo yang cium gue. " Ia melangkah masuk ke kamarnya, "sekarang lo masak dulu. Gue laper. Inget lo temenin gue makan. Setelah itu lo masuk lagi ke kamar gue dan lo harus cium gue. "
Kemudian, setelah itu aku memasak dan karena Ghiffa memaksa, kami pun menyantap makan malam itu bersama-sama. Aku memainkan makan malamku dengan malas tanpa memakannya, merasa tidak terlalu lapar. Juga karena orang yang duduk di depanku ini membuatku tidak berselera untuk makan.
"Kenapa lo?" Tanya Ghiffa sambil terus melahap makanannya.
Aku menghela nafas. Malas rasanya untuk menjawabnya.
"Kalau ditanya tuh dijawab. Bukan diem aja." Ujar Ghiffa sedikit meninggikan suaranya.
"Gak apa-apa, Tuan." Cicitku, "Saya hanya merasa lebih nyaman makan di dalam kamar."
"Udah gue bilang. Lo harus makan disini setiap kali waktu makan." Tegas Ghiffa.
Aku tidak menjawab apa-apa, begitu juga Ghiffa sibuk menghabiskan makanannya. Kami terdiam sampai ia beranjak setelah meminum air putih.
"Gue tunggu di kamar." Ucap Ghiffa seraya melangkahkan kakinya menuju kamar.
Aku hanya bisa menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Dia benar-benar ingin aku masuk ke kamarnya dan melakukan itu?
Aku pun membereskan meja makan dan masuk ke kamar Ghiffa. Ia sedang duduk di bersandar pada headboard tempat tidurnya. Ghiffaa menepuk-nepuk tempat tidurnya sambil memandang ke arahku. Ia ingin aku duduk disana.
Dengan pasrah aku melangkahkan kakiku mendekat padanya. Aku duduk di samping Ghiffa.
Ia meraih rambutku dan menyelipkannya pada belakang telingaku. Tubuhku reflek tersentak kaget karena apa yang dilakukannya.
"Tenang gue gak akan bilang sama cowok lo itu, dan juga cewek gue." Ucapnya seraya tersenyum puas.
Mendengar ucapan Ghiffa membuatku semakin merasa bersalah pada Zayyan. Kenapa dia sangat tidak berperasaan seperti ini? Apa dia tidak memikirkan bagaimana perasaan pacarnya?
"Saya akan melakukannya, tapi setelah itu saya akan langsung ke kamar saya." Aku meminta keringanan.
Ghiffa menggelengkan kepalanya, "itu beda lagi. Lo tetep harus nemenin gue tidur."
"Tuan, saya benar-benar lelah. Setidaknya saya mohon untuk hari ini saja." Aku menangkupkan tanganku padanya, memohon dengan sangat.
"Terus gue gak tidur sampe pagi, gitu maksud lo? Lo tahu sendiri gue gak bisa tidur kalau gak ada orang deket gue."
Aku menghela nafas. Sudahlah, percuma saja aku mendebatnya. Kepalanya sekeras batu.
"Ya sudah." Cicitku.
Perlahan aku duduk bergeser mendekat padanya. Aku menelan salivaku. Ku dekatkan wajahku padanya perlahan Ghiffa pun menutup matanya.
Semakin dekat dan... aku mencium pucuk hidung Ghiffa.
Sudah. Sudah aku lakukan.
Aku segera beranjak dari samping Ghiffa.
"Kok di hidung?!" Protesnya.
"Tuan gak bilang tadi saya harus cium dimana. Jadi sudah. Jatah Tuan hari ini udah saya berikan."
Aku segera berlari menuju pintu.
"Hey lo mau kemana?!"
Aku menoleh sekilas padanya, "ke toilet. " Segera kubuka pintu kamar Ghiffa dan menutupnya lagi.
Aku merasakan nafas dan jantungku melaju cepat, pipiku terasa panas. "Kenapa aku deg-degan gini seudah cium Ghiffa?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
Natha
ntar juga terbiasa nyium🤣
malah nagih pengen nyium 🤣🤭
2024-08-31
2
Erni Fitriana
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2024-06-04
1