Perutku lapar sekali. Baru saja aku keluar kelas setelah jadwal kuliahku selesai pada pukul 12 siang. Aku bersama seorang temanku memutuskan untuk makan di kantin kampus sebelum jadwal kuliahku selanjutnya. Hari ini jadwalku agak padat memang. Segera aku melahap makanan yang aku pesan begitu seorang pramusaji datang mengantarkannya.
"Lo laper apa gimana sih, Ay?" seru Belva, sahabat terdekatku sejak kami pertama masuk kampus sekitar setahun yang lalu.
"Aku harus punya banyak tenaga, Bel. Hidup aku gak semudah dulu." Aku melahap makananku seakan aku tidak makan berhari-hari.
"Tuan muda lo itu masih nindas lo?" Tanya Belva.
"Masihlah. Lebih parah malahan sekarang." Keluhku. Sekelebat potongan scene bak sebuah trailer film berputar begitu saja di dalam benakku. Scene ketika aku memeluknya di balkon apartemen, dan ketika aku mencium hidungnya. Lalu kejadian sebelumnya juga ikut terlintas di otakku, ketika Ghiffa menciumku di tepi danau hari itu.
"Muka lo kok tiba-tiba merah gitu? Ngebayangin apaan lo? Pasti ngebayangin yang nggak-nggak." Tebak Belva.
"Ih apaan sih kamu, ya nggak atuh. Pokoknya aku harus makan banyak biar bisa menghadapi kenyataan hidup yang sepahit empedu ini." Ujarku bernada alegori.
Sampai hari ini aku masih menghindarinya. Tapi tetap tidak bisa menghindar sepenuhnya, karena aku harus menepati janji konyolku itu. Sudah beberapa hari ini aku benar-benar berusaha menepati janji.
Setiap pagi aku membangunkannya. Lalu saat ia sudah terjaga, aku mencium pipinya sekilas dan kemudian secepatnya aku pergi meninggalkan kamarnya. Dan Ghiffa tidak pernah protes. Jadi kulakukan saja seperti itu setiap hari.
"Hati-hati lo, Ay. Bisa-bisa lo beneran suka sama tuan muda lo itu. Cinta sama benci itu bedanya setipis tisu dibagi dua." Belva mengingatkan.
"Gak mungkin aku suka sama dia, Bel! Aku udah punya Zayyan." Sanggahku.
"Lo masih percaya sama cowok dumay lo itu? Gue saranin mending lo lupain Zayyan deh, Ay. Si Zayyan ini kalau menurut gue gak serius sama lo. Masa sampai sekarang kalian belum pernah ketemu lagi?"
"Tapi kalau dichat dia masih jadi Zayyan yang aku kenal, kok. Aku tuh bisa ngerasain kalau dia juga sayang sama aku."
"Lo yakin kalau Zayyan itu adalah Zayyan?"
"Maksud kamu? Ih ngomong itu yang jelas, Bel. Zayyan adalah Zayyan gimana sih?!" Protesku tak mengerti.
"Gini loh. Lo yakin Hyuga itu adalah Zayyan? Lo yakin cowok yang selama ini chat sama lo itu adalah Zayyan yang waktu itu lo temuin di cafe X? Apa jangan-jangan selama ini lo chat sama Hyuga, tapi sebenernya orang yang namanya Hyuga itu bukan Zayyan tapi orang lain?"
Aku tertegun. Aku sama sekali tidak pernah mencurigai itu. Yang aku tahu dan yang aku percaya, Hyuga adalah Zayyan. "Maksud kamu Zayyan yang asli minta seseorang buat ketemu gitu sama aku? Kalau bener, buat apa coba Zayyan kayak gitu?"
"Ya buat nutupin jati diri dia yang sebenernya. Mungkin dia pengen nutupin kalau sebenernya Hyuga aslinya gak ganteng? Atau dia bohong tentang umur dia? Dia ngaku kalau dia itu seumuran sama lo, padahal dia jauh lebih tua? Lo sama dia nyambung karena sama-sama suka serial Captain Tsubasa 'kan? Itu anime jadul banget loh. Setahu gue yang suka sama anime itu generasi 90an. Sekarang pasti udah sekitar 30an umurnya."
Aku jadi merinding mendengar analisis yang Belva katakan. Masuk akal sih.
"Ih kamu mah bikin aku parno aja. Tapi Zayyan gak mungkin kayak gitu." Aku masih mempercayai pacarku itu, Zayyan sayang padaku. Dia juga pengertian dan baik sekali padaku. Tidak mungkin dia berbohong seperti itu padaku.
"Kenapa lo gak nyoba buat buktiin aja langsung? Kalau dia gak mau ketemu terus, kenapa lo gak nyamperin dia ke tempat kerjanya?"
"Udah sering aku bilang pengen nyamperin dia kesana. Tapi dia selalu gak ngizinin." Ucapku lesu. Kini makanan yang tinggal setengahnya, hanya aku mainkan dengan sendokku. Obrolan ini membuatku kehilangan selera makanku.
"Tuh 'kan, aneh banget. Coba lo datengan coffee shop tempat dia kerja, tapi lo jangan nyamperin dia. Lo liat aja dari jauh."
"Tapi aku gak enak kalau kayak gitu, Bel. Kayak aku gak percaya sama dia gitu. Terus kalau ketahuan aku takut dia malah marah."
"Ya lo nyamar, 'kek. Pokoknya jangan sampai ketahuan kalau itu lo. Mau gue anterin?" Belva menawarkan.
"Serius kamu mau nganterin aku?" Mataku berbinar. Setidaknya jika ada teman, aku akan berani mendatangi Zayyan di tempat kerjanya.
"Iya. Serius. Gue gemes banget liat lo soalnya. Dulu lo gak pernah uring-uringan atau ngedumel kayak sekarang. Semenjak lo kerja di apartnya Ghiffa dan lo pacaran sama si Zayyan, lo beneran jadi gak asik tahu gak sih."
"Masa sih aku kayak gitu?" tanyaku merasa bersalah.
"Gue kangen Ayana yang lincah loncat kesana kemari, yang mulutnya bawel, yang kadang otaknya tulalit. Kemana temen gue yang itu? Sekarang yang gue liat dari lo kalau gak mulut lo yang maju, alis lo yang ketemu. Terus aura di sekeliling lo item semua."
"Kamu mah kebanyakan nonton drama. Masa aku ada aura itemnya. Serem atuh." Perasaanku menghangat, sahabatku ini ternyata mengkhawatirkanku hingga seperti itu. Juga aku baru menyadari sekacau itu aku dimata Belva selama aku menjadi ART di apartemen Ghiffa.
Tiba-tiba saja teleponku berdering. Nyonya Natasha meneleponku.
"Majikan aku nelepon, bentar ya." Aku mengusap layarku ke arah atas untuk mengangkat telepon dari Nyonya Natasha. "Selamat siang, Nyonya." sapaku.
"Siang, Ayana. Kamu ada di kampus?" Tanyanya.
"Iya, Nyonya. Saya sedang makan siang, ada apa ya, Nyonya?"
"Kebetulan saya lagi lewat kampus kamu. Bisa kita ketemu di kafe depan kampus kamu? Ada yang mau saya bicarakan. Sebentar aja."
"Oh, iya bisa Nyonya. Saya segera kesana."
Kemudian aku pamit pada Belva dan segera pergi menuju kafe dimana Nyonya Natasha berada. Ketika tiba di sana aku menyapanya dan bertanya to the point, "Ada apa ya, Nyonya?"
"Ayana, maaf ya saya ganggu. Kamu masih ada kuliah setelah ini?" Tanya Natasha.
"Masih ada satu kelas lagi, Nyonya. Tapi masih sekitar 45 menit lagi mulainya. Gak apa-apa Nyonya saya juga kebetulan sedang di kantin aja nunggu kelas selanjutnya dimulai." ucapku.
"Syukur kalau begitu. Saya gak akan lama, saya ingin menanyakan gimana keadaan Ghiffa? Ada yang perlu kamu laporkan pada saya?"
Aku menelan salivaku. Ingin aku mencurahkan segala perasaanku padanya, bahwa putranya itu sudah membuat hidupku berantakan. Tapi tentu aku tidak mungkin mengatakannya. Sehingga aku hanya mengatakan hal-hal yang biasa yang masih bisa diterima akal sehat. Tidak mungkin juga aku mengatakan jika anaknya ini minta dicium setiap hari olehku 'kan? Nyonya Natasha tidak mungkin percaya itu. Yang ada nanti malah aku yang dikatakan halu.
"Jadi dia masih suka ngerokok?" Natasha menghela nafasnya, "Untungnya dia udah gak minum-minum 'kan?"
"Sejauh ini tidak, Nyonya. Malahan sekarang Tuan Muda pulang selalu kurang dari jam 7 malam dan selalu makan malam di rumah. Hanya saja saya tidak pernah melihat dia mengerjakan tugas ataupun belajar. Entah memang tidak ada PR atau bagaimana saya tidak tahu."
"Nah itu masalahnya, Ayana. Saya dapat laporan dari walikelasnya. Sudah beberapa guru yang menegurnya karena ia tidak pernah mengerjakan tugas. Ulangan selalu saja jelek. Di sekolah sudah jangan ditanya masalah yang dia timbulkan. Macam-macam." Nyonya Natasha terlihat frustasi.
Aku hanya tersenyum simpati. Jika aku jadi Nyonya Natasha, pasti akupun akan merasa sangat stress memiliki anak sebadung Ghiffa.
"Untuk itu, Ayana. Saya mendapat kabar dari pihak sekolah, katanya petugas perpustakaan sedang ada yang cuti melahirkan. Mereka sedang mencari tenaga infal. Saya merekomendasikan kamu untuk posisi itu. Kamu bersedia 'kan, Ayana?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
Erni Fitriana
pasti gak boleh lah nyonyah sama anak nyonyah
2024-06-04
1