Paksaan Pernikahan Dengan Duda
Malam begitu gelap, seorang perempuan berdiri di belakang pembatas. Di depannya terdapat danau yang terletak di pinggir jalan, bisa dibilang perempuan itu berada di trotoar. Menatap danau yang tampak tenang pada malam hari. Sebut saja dia bernama Laura, perempuan yang berumur 24 tahun. Di tangannya sudah ada map yang berisikan surat pemecatan kerja.
Laura baru di pecat dari kantor tempat dirinya bekerja, kata bosnya ia bukan tipe untuk bisa bekerja di sana. Setelah ia tanyakan apa tipenya, ternyata bosnya mau yang bisa bangun pagi, bisa diajak lembur, siap menerima pekerjaan dadakan, enggak ceroboh, enggak makan terus tanpa tahu waktu.
Padahal Laura tahu bosnya itu menyindir dirinya secara tak langsung, karena semua itu sifatnya. Jadi tanpa bernegosiasi, ia langsung pergi dari kantor itu dan berakhir di sini. Menyesali keputusannya karena tidak mau bernegosiasi agar bosnya tidak jadi memecat dirinya. Rasanya ia ingin berkata kasar saja. Mau kembali ke kantor tapi ia gengsi.
"Punya bos nyebelin banget, padahal gue baru 3 tahun kerja di sana. Tapi sudah dipecat aja, gue juga bisa kerja pintar. Pasti nyesel tuh orang karena sudah sia-siain pegawai seperti gue ini." Laura terus menggerutu kesal. Masih tidak terima dengan apa yang bosnya katakan.
"Lihat aja jika gue jadi bos, udah gue ajak kerja sama tuh perusahaan supaya mau tunduk sama gue. Pokonya hari ini paling sial!" Laura menendang kaleng minuman bersoda yang baru saja ia minum.
Laura menutup mulutnya ketika menyadari kaleng minumannya terkena punggung seseorang di belakang sana. Ia terdiam seperti patung, ia berbalik badan dan berjalan menjauh dari sini dengan kepala melihat ke bawah. Ia mencoba untuk terus berjalan cepat, sampai-sampai kupluk jaket tebalnya ditarik dari belakang hingga membuat ia berhenti.
"Setelah melemparkan sampah kepada saya dan kamu akan kabur?" Suara khas laki-laki terdengar di telinga Laura. Laura hanya bisa diam dan tidak berani melihat ke belakang.
"Maaf, gue benar-benar enggak sengaja. Gue janji enggak akan mengulangi hal yang sama, pegang janji gue."
"Jika berbicara kamu harus menatap mata lawan bicara kamu." Tiba-tiba saja laki-laki itu sudah berdiri di depan Laura.
Perlahan-lahan tapi pasti, Laura menatap laki-laki itu dari bawah ke atas. Sepatu hitam mengilat, setelan jas rapi berwarna biru dan sampailah di mana ia melihat wajah laki-laki itu. Tampan sih, tapi ini bukan waktunya untuk mengagumi ketampanan seseorang.
"Gue udah minta maaf, jadi menyingkir dari hadapan gue."
"Kamu melakukan beberapa perbuatan yang salah, membuang sampah sembarangan. Mengganggu ketenangan orang lain, dan kamu sepertinya mabuk."
"Enak aja! Gue enggak mabuk, lagian gue udah minta maaf sama lo. Jadi gue mau pergi, lo siapa sih?! Sok akrab banget sama gue." Laura menatap kesal ke arah laki-laki itu.
Mood Laura seketika berubah drastis, menjadi semakin turun. Sudah ia bilang jika hari ini adalah hari yang paling sial bagi dirinya, bertemu laki-laki seperti dia, dipecat dari kantor, tidak bisa pulang karena dihadang laki-laki itu. Pokonya ia sangat kesal dengan dia. Mengganggu dirinya yang sedang meratapi nasib.
"Gue mau pergi, minggir!" Laura mendorong laki-laki itu.
"Sebentar, kamu tadi bertanya siapa saya?" laki-laki itu mendekatkan bibirnya di samping telinga Laura.
"Kita akan saling mengenal dan memiliki hubungan dekat, akan ada pertemuan lainnya setelah ini. Persiapkan diri kamu, satu lagi. Saya Arsa Rodigwe, kamu tentu tahu saya lewat marga itu. Pertemuan kita begitu berkesan, walaupun sedikit buruk."
***
Laura masuk ke dalam rumahnya setelah pertemuannya tadi dengan laki-laki yang mengaku sebagai keturunan Rodigwe. Tentu ia tidak percaya, karena semua keturunan Rodigwe ia kenal, pasti dia hanya mengaku-ngaku saja. Ia tadi bisa pulang setelah berteriak hingga membuat semua orang menghampiri dirinya.
Ia tidak peduli apakah pria itu di hajar orang-orang atau tidak, yang jelas ia tidak mau melihat wajahnya lama-lama. Merusak moodnya saja. Mungkin dia hanya orang gila yang mengaku sebagai keturunan Rodigwe, tapi mengapa pakaiannya begitu rapi? Seperti seorang bos saja.
"Laura, kenapa kamu udah pulang? Biasanya kamu pulangnya 3 jam lagi." Seorang perempuan paruh baya berjalan ke arah Laura. Dia bernama Shani, yang mana merupakan mama Laura.
"Lau di pecat ma, sombong banget pak Andre. Bisa-bisanya pecat Lau, padahal Lau udah rajin banget kerjanya." Sekadar informasi saja, Andre adalah nama atasan atau bisa dibilang mantan bosnya Laura.
"Seharusnya kamu itu berterima kasih sama bos kamu, karena dia udah mempertahankan kamu bertahun-tahun. Padahal kamu itu di sana hanya remahan kacang aja." Shani berbicara dengan nada yang cukup serius, hal itu membuat Laura semakin kesal.
"Mama, kok bilang gitu sih?! Bikin sebel aja."
"Enggak, mama bercanda. Tapi benar juga apa yang mama katakan, lebih cocok kamu itu menjadi istri orang."
"Enggak ya, Lau mau kerja biar jadi crazy rich." Laura berjalan pergi.
"Gimana mau jadi Crazy Rich kalau setiap gajian uangnya udah langsung habis."
"Kalau itu sih godaan mama," sahut Laura di ujung tangga sana. Shani hanya bisa menggeleng melihat kelakuan sang anak yang sudah mulai matang itu, maksudnya matang untuk menikah.
Laura sudah ada di kamarnya, ia berada di depan meja riasnya dengan handuk melilit rambutnya. Baru saja ia selesai mandi dan langsung keramas, sebenarnya ada yang mengganjal di hatinya. Tentang pria itu, padahal ia tidak mau memikirkan dia. Katanya ia dan dia akan bertemu lagi.
Tapi ia tidak percaya, dia pasti hanya berbohong saja. Juga mungkin dia orang gila, ia juga tidak kenal dengan dia. Jadi untuk apa ia ambil pusing perihal ini, tidak ada gunanya dan hanya menambah beban pikirannya saja. Ia tidak akan lupa jika hari ini adalah hari paling sial yang ada di hidupnya.
"Laura, papa dengar kamu dipecat dari kantor. Apakah itu benar?" Andi, papa Laura masuk ke kamar Laura.
"Papa kalau masuk ke kamar ketuk pintu, bikin kaget Lau aja." Laura semakin kesal hari ini.
"Papa udah ketuk pintu lama, tapi kamu enggak dengar. Yaudah papa masuk aja ke kamar kamu." Andi duduk di tepi kasur Laura.
"Gimana soal pertanyaan papa tadi?"
"Laura dipecat pa, tuh bos nyebelin banget sih. Kalau Laura pintar, udah Lau buat bangkrut tuh perusahaan."
"Enggak boleh ngomong gitu, kamu juga dapat uang dari sana. Papa sudah bilang kepada kamu untuk memperbaiki sikap, pantas saja atasan kamu memecat kamu."
"Papa malah belain dia sih?! Ih, sebel banget. Papa dan mama sama aja, buat aku kesal dari tadi."
Laura itu anak tunggal, selalu dimanjakan. Orang tuanya memiliki bisnis di bidang kuliner. Tapi Laura tidak tertarik di sana dan malah bekerja di perusahaan orang lain. Tapi kedua orang tuanya sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Karena masa kecilnya penuh dengan kemewahan, jadi ia tidak bisa bekerja dengan baik.
Tapi atasannya mampu mempertahankan dirinya selama 3 tahun lamanya. Gajinya ia minta cukup besar, untung saja atasannya itu masih teman papanya. Jadi ia bisa minta gaji dan jabatan yang ia inginkan. Tapi ia tidak maruk, ia masih mengerti dengan aturan yang ada.
"Maaf deh, oh iya. Papa mau ngomong sesuatu sama kamu."
"Mau ngomong apa?" Laura menatap ke belakang.
"Besok kamu jangan ke mana-mana."
"Memangnya kenapa? Aku rencananya besok mau cari kerja."
"Jangan dulu, pokoknya kamu besok harus tetap ada di rumah. Akan ada tamu yang datang, jadi kamu harus menghormati tamunya."
"Kan bisa mama dan papa sendirian."
"Pokoknya papa enggak mau tahu, kamu harus berada di rumah! Kalau kamu keluar, kamu harus mau meneruskan usaha papa di bidang kuliner."
"Papa enggak bisa gitu dong, jangankan masak. Di dapur aja enggak pernah."
"Kalau enggak mau, makanya kamu besok tetap di rumah."
"Iya deh iya," putus Laura pada akhirnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments