Pembicaraan pada hari ini

Semua orang berkumpul di ruang tamu kediaman Laura, Laura duduk di samping mamanya. Sementara Arsa sendiri berada di sofa yang berseberangan dengan Laura. Josh dan Glen? Mereka bermain di halaman belakang dengan pembantu Laura. Perasaan Laura tidak enak, entah mengapa dirinya begitu yakin ada yang kedua orang tuanya sembunyikan dari dirinya.

Sedari tadi ia hanya mendengar percakapan antara papanya dengan Arsa, membicarakan kabar, bisnis, dan seputar kehidupan yang menurut Laura terlalu monoton. Atau hanya dirinya yang merasakan ini? Tak jarang mamanya juga ikut menyahuti pembicaraan ini.

Laura tentu hanya bisa diam, memangnya ia mau mengatakan apa? Kenal Arsa saja tidak, bagaimana ia mengajak dia berbicara. Sebenarnya ia mau ke kamar, tapi tidak diperbolehkan. Apakah papanya mau ia di sini seperti orang bodoh yang cengo? Hari ini benar-benar dibuat kesal oleh semua orang.

"Baiklah, Laura. Kamu belum tahu bukan mengapa Arsa ada di sini?" Laura menggeleng.

"Papa mau kamu sama Arsa menikah, umur kamu juga sudah matang untuk menikah Laura."

"What! Papa bercanda? Menikah? Enggak papa!" tolak Laura mentah-mentah.

"Kamu bisa saling mengenal dulu dengan Arsa, dia laki-laki yang baik untuk kamu."

"Bagaimana papa bisa yakin dia laki-laki baik?!" Laura menatap Andre tak terima.

"Papa kenal dengan Arsa 4 tahun lamanya, jadi papa tahu siapa Arsa dan keluarga Arsa juga kenal betul dengan papa. Sekarang papa minta, kalian berdua pergi bersama agar bisa saling kenal dan lebih akrab."

"Pa, aku sama dia baru kenal. Masak papa biarin aku jalan bareng dia sih?!"

"Papa tahu semalam kamu bertemu dengan Arsa, jadi anggap saja kamu sudah tahu Arsa. Papa tidak menerima penolakan, sekarang juga kamu pergi sama Arsa."

"Yaudah, tunggu. Aku siap-siap dulu." Dengan ogah-ogahan Laura pergi dari sini menuju kamarnya. Tak lupa memberikan tatapan tajam untuk Arsa, karena menurut dirinya Arsa pengacau semuanya.

Dalam hati Arsa merasa senang, akhirnya ia bisa jalan bersama dengan Laura. Walaupun Laura begitu terpaksa menyetujui ucapan orang tuanya. Ia kenal dengan orang tua Laura sudah lama, tapi baru berani mengatakan perasaannya kepada Laura yang sebenarnya beberapa bulan ini.

Walaupun mereka sempat ragu dengan ucapannya, tapi ia menyakinkan akan menjaga Laura sedemikian rupa. Mereka juga tahu mantan istrinya masih ada, tapi mereka tidak mau ikut campur perihal masa lalunya itu. Ia juga sudah mengubur dalam-dalam semua yang terjadi di hidupnya.

"Arsa, jika Laura suka ngambek, kamu maklumin aja. Dia itu manja, apalagi kemarin baru dipecat sama bosnya. Itupun saya yang nyuruh, kasihan juga bosnya punya karyawan kayak Laura."

Arsa tertawa pelan. "Om dan tante tenang saja, aku akan maklum dengan sikap Laura. Apalagi ini pertemuan kedua kita."

"Oh iya, Laura itu enggak suka cari topik pembicaraan. Jadi kamu harus pintar-pintar ajak bicara Laura."

"Glen dan Josh kamu ajak?"

Arsa tampak berpikir sejenak. "Kayaknya saya akan mengajak mereka saja."

"Baiklah, om dan tante harap hari ini Laura bisa menerima keberadaan kamu."

"Saya juga berharap seperti itu tante."

Sementara di kamarnya, Laura sibuk menelepon salah satu temannya. Tapi tidak diangkat-angkat juga, akhirnya ia menelepon temannya yang satu lagi. Tidak di angkat, temannya yang ke 3 baru diangkat! Untung saja ia memiliki banyak teman. Entah apa jadinya jika ia hanya memiliki satu teman saja.

"Apa sih Laura? Lo ganggu gue yang lagi tidur! Gue capek Laura! Gue semalam begadang!" terdengar suara kesal dari seberang sana.

"Itu enggak penting! Gue mau kasih kabar buat lo, hari ini gue mau jalan sama laki-laki karena paksaan bokap gue!"

"Hah? Beneran?!"

"Ngapain juga gue bohong! Intinya gue enggak suka kalau sampai dia dijodohin sama gue, dia itu duda! Udah punya anak! Mana mau gue sama duda!"

"Kalau ganteng gebet aja, mayan lo enggak perlu capek-capek cari jodoh. Udah langsung tersedia."

"Enak aja! Pokoknya lo harus bantu gue!"

"Bantu apa? Jangan yang aneh-aneh!"

"Lo bantuin gue kabur, lo jemput gue di depan rumah. Gue benar-benar males pergi sama tuh duda, pokoknya lo harus bantu gue kabur dari rumah!"

"Lo gila Lau! Yang ada gue yang kena masalah, pergi saja sama dia. Emangnya buat lo rugi? Enggak kan."

"Lo jadi temen enggak mau bantu gue sih?!"

"Maaf nih Lau, gue enggak mau kena masalah. Nikmati aja hari-harimu, bay Laura sayangg."

"Sialan nih bocah!" maki Laura ketika sambungan teleponnya dimatikan oleh temannya.

***

Meminta bantuan teman tidak bisa, akhirnya Laura pergi bersama Arsa. Juga dengan Glen dan Josh, sekarang mereka berada di pinggir jalan. Lebih tepatnya di pinggir trotoar yang disampingnya danau besar. Lebih tepatnya di sini tempat Laura dan Arsa bertemu untuk yang pertama kalinya.

Dengan ogah-ogahan, Scarla menjawab apa yang Arsa bicarakan sedari tadi. Cukup sulit bagi Arsa untuk mencari topik agar pembicaraan ini tidak terhenti. Josh dan Glen sendiri berjalan jauh di depan sana, mungkin kedua anaknya itu membiarkan dirinya menghabiskan waktu dengan Laura.

"Udahlah, lo diam aja. Berisik banget dari tadi, sakit nih kuping gue."

"Apakah kamu tidak suka pergi dengan saya?"

"Ya enggak lah, kita aja baru ketemu. Tapi papa sama mama langsung ijinin kita jalan bersama. Lo nyebelin banget, mana bawa dua anak kecil lagi."

"Jangan marah-marah, kamu semakin cantik."

"Gue enggak akan mempan sama gombalan lo, gue aja yakin jika sebenarnya lo itu punya simpanan banyak perempuan."

"Apa yang kamu katakan tidak benar. Saya bukan orang seperti itu, asal kamu tahu saja. Saya menunggu kamu lebih dari 2 tahun."

Saat ingin menjawab, tiba-tiba hujan turun. Dengan segera mereka mencari tempat untuk berteduh, entah mengapa Laura langsung meraih Josh dan menggendong dia untuk berlari dari sini. Begitu juga dengan Arsya yang menggendong Glen. Akhirnya mereka menemukan halte yang bisa digunakan untuk tempat berteduh.

Arsa dan Laura menurunkan Glen dan Josh lalu mendudukkan mereka ke atas bangku. Baju Arsa dan Laura basah, karena dua orang itu berusaha melindungi Glen dan Josh agar tidak terkena air hujan. Laura berdiri di samping tiang dengan tangan bersedakap dada. Arsa langsung menghampiri Laura.

"Terimakasih karena kamu tadi menggendong Josh."

"Yakali gue biarin dia lari-lari di tengah hujan kayak tadi. Gue juga punya hati kali." Jawaban Laura selalu saja sewot jika berbicara dengan Arsa.

"Saya senang sekali dengan hal ini, secara tidak langsung kamu menunjukkan kasih sayang kamu ke kedua anak saya."

"Pikiran lo aja kali. Tunggu, di mana ibu mereka? Kenapa lo yang ajak mereka dan malah jalan sama gue?"

"Ibu mereka, atau lebih tepatnya mantan istri saya pergi ketika Glen dan Josh sekitar berumur 1 tahun. Dia pergi dengan membawa uang saya. Jika uang tidak akan saya permasalahkan, tapi ini tentang perasaan kedua anak saya ke depannya."

"Jadi lo benar-benar duda?" Arsa mengangguk.

"Tunggu, tadi lo bilang nunggu gue lebih dari 2 tahun. Apa maksudnya?"

"Saya tahu kamu waktu di pameran yang ada Florida, semua kejadian di sana tentang kamu saya masih mengingatnya. Awal mula karena kejadian itu saya mau kamu menjadi kekasih saya."

Laura menutup mukanya karena malu, ia kembali diingatkan tentang kejadian di Florida waktu itu. Tentu saja ia sangat malu ketika alat itu berbunyi, padahal ia tidak membawa apa-apa. Intinya ia trauma ke tempat pameran lukisan dan acara sejenisnya, sampai-sampai bule menertawakan dirinya secara diam-diam.

Dan sekarang Arsa menjadi saksi kejadian itu, menyesal sekali telah bertanya dan berakhir Arsa bercerita tentang ini. Derasnya hujan menemani Laura dan Arsa, Arsa mau momen ini tidak segera berlalu. Agar dirinya bisa memiliki lebih lama waktu dengan Laura. Bahkan jika bisa ia ingin menghentikan waktu agar semua ini tidak segera berlalu.

"Papa, temenin Glen sama Josh di sini."

"Baiklah, papa akan ke sana." Arsa menghampiri kedua anaknya.

"Ternyata tuh duda baik banget, mana bicaranya lembut banget lagi," batin Laura.

"Pa, katanya Josh sama Glen mau punya mama baru. Apakah dia mama baru kita?"

"Papa akan menjawab di rumah, jangan bertanya perihal ini lagi okey?" Arsa sedikit memelankan suaranya.

Dalam diam Laura mendengar percakapan antara ayah dan anak itu. Apakah ia benar-benar ditakdirkan bersama dengan Arsa? Bahkan kedua orang tuanya saja mendukung dirinya dengan dia. Tapi masalahnya ia baru kenal dengan Arsa dan dia sudah memiliki anak.

Rasanya ia sulit menerima mereka, tapi ia juga tidak bisa mengecewakan kedua orang tuanya sendiri. Ia merasa terharu melihat perhatian yang Arsa berikan kepada anak-anaknya. Apalagi Glen dan Josh tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ibu yang sesungguhnya. Tiba-tiba saja terdengar suara petir yang menggelegar.

Glen dan Josh menangis, Laura menatap ke belakang. Arsa tampak sibuk menenangkan kedua anaknya, Josh minta digendong oleh Arsa. Begitu juga dengan Glen, mungkin mereka ketakutan karena suara petir cukup keras. Arsa begitu kerepotan karena Glen dan Josh sama-sama minta digendong.

"Harus gue lagi yang gendong tuh bocah," batin Laura karena merasa kasihan dengan Arsa.

"Sini, kakak akan gendong kamu." Laura merentangkan tangannya ke arah Glen dan seketika Glen memeluk Laura. Akhirnya Laura memeluk Glen dengan posisi jongkok, agaknya Glen tidak mau dirinya gendong. Pelukan yang Glen berikan begitu erat.

"Takut."

"Enggak papa, hujannya akan berhenti. Jangan takut, laki-laki enggak boleh penakut." Laura mengelus punggung Glen.

"Laura," panggil Arsa dan langsung ditatap oleh Laura.

"Terimakasih untuk semuanya, saya tidak tahu apa yang terjadi jika tidak ada kamu."

"Gue juga terpaksa kali." Jawaban yang begitu menyakitkan bagi Arsa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!