Laura turun dari mobil Deksa, seperti biasa, ia pulang di antar oleh Deksa. Sebenarnya tadi Deksa ingin mampir, tapi ia larang dengan memberikan beberapa alasan. Untung saja Deksa tidak jadi mampir ke rumah ini. Ia tidak bisa membayangkan jika Deksa mampir dan bertemu dengan Arsa.
Masih teringat jelas bagaimana Deksa menceritakan tentang Arsa, itu menjadi beban pikiran bagi dirinya. Merasa mobil Deksa sudah tidak terlihat lagi, ia pun membuka gerbang sendiri dan masuk. Entah di mana bawahan Arsa yang biasanya membukakan pintu gerbang untuk dirinya.
"Di antar siapa?" waktu mau masuk ke dalam rumah, tiba-tiba saja Arsa sudah berdiri di belakang pintu dengan tangan bersedakap dada.
"Temen." Laura mau melangkah masuk, tapi tubuh Arsa membuat langkahnya terhalang.
"Bagaimana jika saya menyuruh kamu untuk menjauh dari dia?"
Laura mendongak sedikit dan langsung menatap ke arah Arsa. "Lo bukan siapa-siapa gue, jadi lo enggak berhak atur-atur hidup gue! Apalagi tentang persoalan pribadi gue!"
"Orang tua kamu sudah menitipkan kamu kepada saya, jika kamu seperti ini, mereka akan kecewa dengan saya."
"Salah sendiri lo mau, bahkan lo bisa lepasin tanggung jawab ini sekarang juga! Gue bisa pergi dari rumah lo detik ini juga!"
"Apakah kamu tidak bisa menghormati sedikit saja keberadaan saya?"
"Arsa, lo itu sangat budek! Gue udah peringatin sama lo untuk jangan memperlakukan gue secara spesial! Gue udah punya pacar!" Laura terpaksa berbohong, karena ia tak mau Arsa terus mencampuri urusan pribadinya.
"Jangan bilang .... "
"Ya! Dia pacar gue! Jangan buat hubungan gue dengan dia hancur hanya karena orang tolol seperti lo!" Laura pergi begitu saja dari hadapan Arsa.
Tangan Arsa mengepal, tatapannya lurus ke depan. "Tidak akan saya biarkan kamu mendapatkan Laura, karena dia hanya akan menjadi milik saya! Untuk masalah ini, saya akan menjadi orang yang paling egois di dunia ini!"
***
Di kamarnya, Laura tengah melakukan panggilan telepon bersama dengan kedua orang tuanya. Ia duduk di sofa dengan kaki selonjoran, tangannya memainkan rambutnya. Sementara tangannya yang lainnya ia gunakan untuk menahan ponsel yang melekat di telinganya.
Sedari tadi Laura menceritakan apa yang terjadi setelah orang tuanya berangkat ke China, dari yang baik sampai yang buruk. Tentu ia mendapatkan kabar buruk dari orang tuanya. Bahwa kemungkinan besar mereka akan menetap di China, karena bisnisnya benar-benar tidak bisa ditinggal dan harus dalam pemantauan.
"Laura, kamu harus nurut dengan apa yang Arsa katakan."
Laura berdecak kesal. "Memangnya aku anak kecil apa yang harus nurut apa kata dia."
"Pada dasarnya kamu itu bandel, Laura. Jadi papa menitipkan kamu dengan Arsa. Dengan begini papa bisa lega dan merasa tenang."
"Asal kalian tahu aja, Arsa itu nyebelin banget. Masak dia ikut campur terus urusan aku, papa sama mama kan tahu kalau aku enggak suka digituin. Arsa enggak capek apa, urusin hidup orang terus."
"Kamu enggak boleh begitu, dia seperti ini karena untuk kebaikan kamu. Sebenarnya dia sangat sayang kepada kamu, Arsa mau kamu tidak salah langkah. Yang nantinya akan merugikan diri kamu sendiri."
"Tapi ya enggak gini juga pa, ma. Bosen tauk denger Arsa yang suka kepo, dia baik, tapi aku enggak suka aja sama dia. Bawaannya sensi terus kalau sama dia."
Laura menceritakan tentang Arsa dengan perasaan kesal, emosi, ingin marah, semuanya bercampur menjadi satu. Apalagi kembali mengingat tentang perlakuan Arsa kepada dirinya yang amat sangat posesif. Padahal ia sama sekali tak memiliki hubungan dengan Arsa.
Tapi dia bersikap seolah-olah dirinya kekasih dia. Benar-benar menyebalkan, ingin sekali ia menyumpal mulut Arsa yang sangat banyak bicara itu. Agar dia tetap diam dan tak bertanya segala hal tentang dirinya.
Walaupun tadi ia sempat berbohong perihal Deksa, ia berharap Arsa akan berhenti mengejar dirinya. Jangan sampai mereka bertemu, tapi Deksa bilang Arsa musuhnya. Jadi mana mungkin mereka bertemu, okey! Ini pertanda baik, jadi ia tidak perlu khawatir dengan kebohongannya kali ini.
"Laura, kamu tahu jika Arsa selalu memuji kamu kepada kami? Dia selalu mengatakan kalau kamu tidak pernah berkata buruk kepada dia. Padahal kenyataannya? Papa tahu kamu sering melontarkan pernyataan menyakitkan kepada dia."
"Asal papa tahu aja, dia itu pintar mencari hati papa sama mama."
"Mama sama papa enggak merasa seperti itu, yang jelas bagi kami dia itu baik. Arsa menjaga kamu ketika kami ada di sini, jadi kami jauh lebih tenang daripada kamu tinggal sendirian."
"Pokoknya kalau aku digrebek gara-gara tinggal sama cowok papa yang salah."
"Itu enggak akan terjadi, karena bukan hanya kamu saja yang tinggal di sana. Banyak pengawal Arsa, itu membuat keamanan kamu terjamin."
"Yaudah deh, terserah papa aja."
"Yaudah, kamu istirahat. Jangan lupa bantu Arsa ngurusin Glen sama Josh."
"Eh, enggak ya. Aku bukan pembantu."
Terdengar suara gelak tawa kedua orang tua Laura. "Belajar dari sekarang tidak ada masalahnya Laura."
Karena kesal, Laura langsung mematikan sambungan telepon itu. Bibirnya mencibik kesal karena ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments