Salah satu teman SD Laura mengajak Laura bertemu untuk membicarakan bisnis, tentu Laura mau dan sangat bersemangat. Apalagi statusnya sekarang adalah pengangguran. Jadi selagi ada peluang bisnis, mengapa tidak? Walaupun ia sudah terbiasa menjadi karyawan, sebutan kasarnya buruh.
Walaupun begitu ia kerja karena memiliki cita-cita ingin menjadi orang kaya. Walaupun tidak kaya-kaya sampai sekarang. Okey, kembali ke topik yang sangat penting ini. Bisnis yang temannya ajak cukup sulit, apalagi dengan otaknya yang ia akui dongkol.
"Gimana Lau soal tawaran gue?"
"Jujur aja nih gue, sebenarnya gue enggak ada jiwa-jiwa kepemimpinan sih. Modelan gue lo ajak bisnis bareng? Yang ada kita bangkrut duluan sebelum mulai."
"Gimana kalau lo jadi asisten gue?"
"Tawaran yang menarik."
Deksa, nama teman masa SD Laura. Masih akrab dengan Laura sampai sekarang, Deksa sudah menjadi pengusaha, bisnis di mana-mana dan hidupnya kaya. Laura mau seperti Deksa, karena menurutnya Deksa mengedipkan mata saja sudah mendapatkan uang.
Dia pandai berbicara di depan umum, mungkin itu salah satu alasan mengapa dia bisa sukses seperti ini. Kalau Laura tidak jauh dari pegawai kantoran, Laura tidak mau bisnis karena takut bangkrut. Itulah pikiran Laura ketika memulai sebuah bisnis.
"Emangnya tugas asisten lo apa sih?"
"Mudah, temani gue ketika ketemu sama klien. Kita kerja di satu ruangan yang sama, lo yang ambil alih pekerjaan gue ketika gue sedang enggak ada waktu buat kerja. Lo tahu sendiri betapa sibuknya gue ini."
"Iya deh yang paling sibuk."
"Lau, lo enggak punya pacar 'kan?"
"Ya enggak lah, emangnya kenapa?" Tanpa ragu Laura menjawabnya.
"Takutnya ada yang cemburu waktu lo kerja sama gue."
"Tenang aja, gue belum punya pacar kok."
"Bagus deh, gue bisa ajak lo ke mana aja tanpa takut ada yang cemburu. Tenang aja, gue enggak akan kasih lo pekerjaan berat."
"Ya jangan lah, gue enggak suka capek-capek kerja."
"Untung lo teman gue."
"Masalah gaji gimana? Gue mau dua kali lipat." Laura menaik turunkan alisnya.
"Tenang aja, itu aman." Laura tertawa dan merasa bangga tengah dirinya sendiri. Akhirnya ia mendapatkan pekerjaan, sama temannya yang tentunya ia tetap bisa santai. Sungguh, habis badai terbitlah pelangi. Hari ini adalah hari keberuntungan dirinya yang tak akan pernah ia lupakan.
Tanpa Laura sadari, sedari tadi Arsa melihat interaksi Laura dengan temannya. Area cemburu melihat Laura yang lebih akrab dengan temannya itu dan sampai tertawa bersama. Mengapa dengan dirinya tidak? Laura hanya menampilkan wajah datarnya jika bertemu dengan dirinya.
Satu hal yang pasti, teman Laura merupakan lawan bisnisnya. Jadi ia memiliki dendam tersendiri dengan dia, begitu juga sebaliknya. Bisa dibilang dia saingan bisnisnya, ia tak mau Laura dekat dengan laki-laki itu. Ia akan berusaha agar Laura menjauh dari pria itu.
Arsa tak bisa mendengar percakapan mereka seperti apa, karena kursinya lumayan jauh. Ia ada di sini karena menunggu rekan kerjanya, tapi malah di hadapkan dengan pemandangan yang membuat hatinya panas. Bahkan tangannya sampai terkepal karena situasi ini.
***
Setelah melihat peristiwa antara Laura dengan pria itu, Arsa langsung pulang dari tempat itu. Lebih tepatnya ia pergi ke rumah kedua orang tuanya, karena Glen dan Josh ia titipkan di sana. Selain rumah kedua orang tuanya, ia tak tenang menitipkan Glen dan Josh.
Sekarang ia berada di halaman belakang rumah kedua orang tuanya, bersama dengan saudara tertuanya berserta istrinya. Sebut saja dia bernama Dito dan Agnes. Ia cukup akrab dengan mereka, bisa dibilang Agnes yang selama ini memberikan kasih sayang seorang ibu untuk Glen dan Josh.
Ia benar-benar berterimakasih dengan kakak iparnya itu, yang selalu sigap jika dirinya butuh bantuan. Juga dengan tulus menjaga Glen dan Josh di sini. Entah berapa terimakasih yang harus dirinya berikan untuk menebus segala kebaikannya.
"Arsa, sebenarnya kami heran dengan perempuan yang sekarang kamu dekati. Apakah dia tidak mencintai kamu? Padahal di luar sana banyak sekali perempuan yang ingin bersama kamu."
"Aku sendiri juga bingung, kayaknya Laura berbeda dari kebanyakan perempuan lain deh."
"Tunggu, atau jangan-jangan dia tahu masa lalu kamu?"
"Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu. Kedua orang tuanya berkata jika Laura tidak suka dengan anak-anak, bahkan Laura berniat untuk tidak memiliki anak setelah menikah. Itulah yang membuat aku kepikiran sampai sekarang."
"Kita sadar jika menjadi ibu itu tidak mudah, apalagi menjadi ibu sambung. Tapi Arsa, jika boleh kami memberikan masukan. Carilah perempuan yang bisa dengan tulus menerima kedua anak kamu. Jika Laura tidak ditakdirkan untuk kamu, kamu bisa mencari perempuan yang lebih baik dari dia."
"Tapi cinta aku ke Laura begitu tulus, aku hanya mau dia."
"Arsa, papa selalu mengajarkan kita bahwa segala sesuatu tidak harus sesuai dengan apa yang kita kamu. Kita juga harus mempersiapkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi."
"Hanya Laura yang membuat aku seperti ini, rasanya aku ingin egois dengan takdir. Aku mau takdir mengizinkan kita menua bersama."
Arsa merasa seperti sedang menerima tamparan secara tidak langsung dari apa yang orang tuanya katakan. Kata-kata mereka terasa menusuk hatinya, mengingatkan Arsa akan realitas bahwa Laura menolak pernikahan mereka. Dia merasa kecewa, terluka, dan juga sedikit marah karena merasa diabaikan.
Orang tua Arsa mencoba memberikan masukan kepada Arsa bahwa cinta itu tidak bisa dipaksakan. Mereka duduk bersama di ruang keluarga, menciptakan suasana yang hangat dan penuh perhatian.
"Nak, cinta itu indah, tetapi tidak bisa dipaksakan. Kita tidak bisa memaksakan seseorang untuk mencintai kita jika perasaannya tidak sejalan."
Papa Arsa menganggukkan kepala setuju. "Benar, Arsa. Kadang-kadang dalam hidup, kita harus belajar menerima bahwa ada hal-hal yang berada di luar kendali kita. Cinta itu rumit, dan terkadang jalan yang kita pilih tidak selalu sejalan dengan yang lainnya."
Ibu Arsa menyentuh tangan Arsa dengan lembut. "Kamu adalah anak yang baik dan memiliki hati yang tulus. Jika Laura memutuskan untuk tidak melanjutkan pernikahan ini, kita harus menghormati keputusannya. Tetapi ingatlah, masih banyak peluang dan kesempatan di depan sana untukmu menemukan cinta yang sejati."
Arsa menatap kedua orang tuanya dengan penuh perasaan campur aduk. Dia merasakan dukungan dan cinta yang tulus dari mereka.
"Terima kasih, Mama dan Papa. Aku akan mencoba memahami dan menerima situasi ini dengan hati yang terbuka. Semoga ada kebahagiaan yang menanti di masa depan."
Papa Arsa tersenyum bangga. "Itulah anakku. Kita harus tetap tegar dan berpikiran positif. Siapa tahu, mungkin di perjalanan hidupmu, akan ada seseorang yang mampu memberikanmu kebahagiaan yang sejati."
Dalam kehangatan keluarga, Arsa merasa didukung dan diberikan harapan baru. Dia tahu bahwa cinta itu rumit, tetapi dengan dukungan dan kasih sayang keluarganya, dia yakin akan bisa menghadapi masa depan dengan penuh keyakinan dan kebahagiaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments