NovelToon NovelToon

Paksaan Pernikahan Dengan Duda

Laura dan kehidupannya

Malam begitu gelap, seorang perempuan berdiri di belakang pembatas. Di depannya terdapat danau yang terletak di pinggir jalan, bisa dibilang perempuan itu berada di trotoar. Menatap danau yang tampak tenang pada malam hari. Sebut saja dia bernama Laura, perempuan yang berumur 24 tahun. Di tangannya sudah ada map yang berisikan surat pemecatan kerja.

Laura baru di pecat dari kantor tempat dirinya bekerja, kata bosnya ia bukan tipe untuk bisa bekerja di sana. Setelah ia tanyakan apa tipenya, ternyata bosnya mau yang bisa bangun pagi, bisa diajak lembur, siap menerima pekerjaan dadakan, enggak ceroboh, enggak makan terus tanpa tahu waktu.

Padahal Laura tahu bosnya itu menyindir dirinya secara tak langsung, karena semua itu sifatnya. Jadi tanpa bernegosiasi, ia langsung pergi dari kantor itu dan berakhir di sini. Menyesali keputusannya karena tidak mau bernegosiasi agar bosnya tidak jadi memecat dirinya. Rasanya ia ingin berkata kasar saja. Mau kembali ke kantor tapi ia gengsi.

"Punya bos nyebelin banget, padahal gue baru 3 tahun kerja di sana. Tapi sudah dipecat aja, gue juga bisa kerja pintar. Pasti nyesel tuh orang karena sudah sia-siain pegawai seperti gue ini." Laura terus menggerutu kesal. Masih tidak terima dengan apa yang bosnya katakan.

"Lihat aja jika gue jadi bos, udah gue ajak kerja sama tuh perusahaan supaya mau tunduk sama gue. Pokonya hari ini paling sial!" Laura menendang kaleng minuman bersoda yang baru saja ia minum.

Laura menutup mulutnya ketika menyadari kaleng minumannya terkena punggung seseorang di belakang sana. Ia terdiam seperti patung, ia berbalik badan dan berjalan menjauh dari sini dengan kepala melihat ke bawah. Ia mencoba untuk terus berjalan cepat, sampai-sampai kupluk jaket tebalnya ditarik dari belakang hingga membuat ia berhenti.

"Setelah melemparkan sampah kepada saya dan kamu akan kabur?" Suara khas laki-laki terdengar di telinga Laura. Laura hanya bisa diam dan tidak berani melihat ke belakang.

"Maaf, gue benar-benar enggak sengaja. Gue janji enggak akan mengulangi hal yang sama, pegang janji gue."

"Jika berbicara kamu harus menatap mata lawan bicara kamu." Tiba-tiba saja laki-laki itu sudah berdiri di depan Laura.

Perlahan-lahan tapi pasti, Laura menatap laki-laki itu dari bawah ke atas. Sepatu hitam mengilat, setelan jas rapi berwarna biru dan sampailah di mana ia melihat wajah laki-laki itu. Tampan sih, tapi ini bukan waktunya untuk mengagumi ketampanan seseorang.

"Gue udah minta maaf, jadi menyingkir dari hadapan gue."

"Kamu melakukan beberapa perbuatan yang salah, membuang sampah sembarangan. Mengganggu ketenangan orang lain, dan kamu sepertinya mabuk."

"Enak aja! Gue enggak mabuk, lagian gue udah minta maaf sama lo. Jadi gue mau pergi, lo siapa sih?! Sok akrab banget sama gue." Laura menatap kesal ke arah laki-laki itu.

Mood Laura seketika berubah drastis, menjadi semakin turun. Sudah ia bilang jika hari ini adalah hari yang paling sial bagi dirinya, bertemu laki-laki seperti dia, dipecat dari kantor, tidak bisa pulang karena dihadang laki-laki itu. Pokonya ia sangat kesal dengan dia. Mengganggu dirinya yang sedang meratapi nasib.

"Gue mau pergi, minggir!" Laura mendorong laki-laki itu.

"Sebentar, kamu tadi bertanya siapa saya?" laki-laki itu mendekatkan bibirnya di samping telinga Laura.

"Kita akan saling mengenal dan memiliki hubungan dekat, akan ada pertemuan lainnya setelah ini. Persiapkan diri kamu, satu lagi. Saya Arsa Rodigwe, kamu tentu tahu saya lewat marga itu. Pertemuan kita begitu berkesan, walaupun sedikit buruk."

***

Laura masuk ke dalam rumahnya setelah pertemuannya tadi dengan laki-laki yang mengaku sebagai keturunan Rodigwe. Tentu ia tidak percaya, karena semua keturunan Rodigwe ia kenal, pasti dia hanya mengaku-ngaku saja. Ia tadi bisa pulang setelah berteriak hingga membuat semua orang menghampiri dirinya.

Ia tidak peduli apakah pria itu di hajar orang-orang atau tidak, yang jelas ia tidak mau melihat wajahnya lama-lama. Merusak moodnya saja. Mungkin dia hanya orang gila yang mengaku sebagai keturunan Rodigwe, tapi mengapa pakaiannya begitu rapi? Seperti seorang bos saja.

"Laura, kenapa kamu udah pulang? Biasanya kamu pulangnya 3 jam lagi." Seorang perempuan paruh baya berjalan ke arah Laura. Dia bernama Shani, yang mana merupakan mama Laura.

"Lau di pecat ma, sombong banget pak Andre. Bisa-bisanya pecat Lau, padahal Lau udah rajin banget kerjanya." Sekadar informasi saja, Andre adalah nama atasan atau bisa dibilang mantan bosnya Laura.

"Seharusnya kamu itu berterima kasih sama bos kamu, karena dia udah mempertahankan kamu bertahun-tahun. Padahal kamu itu di sana hanya remahan kacang aja." Shani berbicara dengan nada yang cukup serius, hal itu membuat Laura semakin kesal.

"Mama, kok bilang gitu sih?! Bikin sebel aja."

"Enggak, mama bercanda. Tapi benar juga apa yang mama katakan, lebih cocok kamu itu menjadi istri orang."

"Enggak ya, Lau mau kerja biar jadi crazy rich." Laura berjalan pergi.

"Gimana mau jadi Crazy Rich kalau setiap gajian uangnya udah langsung habis."

"Kalau itu sih godaan mama," sahut Laura di ujung tangga sana. Shani hanya bisa menggeleng melihat kelakuan sang anak yang sudah mulai matang itu, maksudnya matang untuk menikah.

Laura sudah ada di kamarnya, ia berada di depan meja riasnya dengan handuk melilit rambutnya. Baru saja ia selesai mandi dan langsung keramas, sebenarnya ada yang mengganjal di hatinya. Tentang pria itu, padahal ia tidak mau memikirkan dia. Katanya ia dan dia akan bertemu lagi.

Tapi ia tidak percaya, dia pasti hanya berbohong saja. Juga mungkin dia orang gila, ia juga tidak kenal dengan dia. Jadi untuk apa ia ambil pusing perihal ini, tidak ada gunanya dan hanya menambah beban pikirannya saja. Ia tidak akan lupa jika hari ini adalah hari paling sial yang ada di hidupnya.

"Laura, papa dengar kamu dipecat dari kantor. Apakah itu benar?" Andi, papa Laura masuk ke kamar Laura.

"Papa kalau masuk ke kamar ketuk pintu, bikin kaget Lau aja." Laura semakin kesal hari ini.

"Papa udah ketuk pintu lama, tapi kamu enggak dengar. Yaudah papa masuk aja ke kamar kamu." Andi duduk di tepi kasur Laura.

"Gimana soal pertanyaan papa tadi?"

"Laura dipecat pa, tuh bos nyebelin banget sih. Kalau Laura pintar, udah Lau buat bangkrut tuh perusahaan."

"Enggak boleh ngomong gitu, kamu juga dapat uang dari sana. Papa sudah bilang kepada kamu untuk memperbaiki sikap, pantas saja atasan kamu memecat kamu."

"Papa malah belain dia sih?! Ih, sebel banget. Papa dan mama sama aja, buat aku kesal dari tadi."

Laura itu anak tunggal, selalu dimanjakan. Orang tuanya memiliki bisnis di bidang kuliner. Tapi Laura tidak tertarik di sana dan malah bekerja di perusahaan orang lain. Tapi kedua orang tuanya sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Karena masa kecilnya penuh dengan kemewahan, jadi ia tidak bisa bekerja dengan baik.

Tapi atasannya mampu mempertahankan dirinya selama 3 tahun lamanya. Gajinya ia minta cukup besar, untung saja atasannya itu masih teman papanya. Jadi ia bisa minta gaji dan jabatan yang ia inginkan. Tapi ia tidak maruk, ia masih mengerti dengan aturan yang ada.

"Maaf deh, oh iya. Papa mau ngomong sesuatu sama kamu."

"Mau ngomong apa?" Laura menatap ke belakang.

"Besok kamu jangan ke mana-mana."

"Memangnya kenapa? Aku rencananya besok mau cari kerja."

"Jangan dulu, pokoknya kamu besok harus tetap ada di rumah. Akan ada tamu yang datang, jadi kamu harus menghormati tamunya."

"Kan bisa mama dan papa sendirian."

"Pokoknya papa enggak mau tahu, kamu harus berada di rumah! Kalau kamu keluar, kamu harus mau meneruskan usaha papa di bidang kuliner."

"Papa enggak bisa gitu dong, jangankan masak. Di dapur aja enggak pernah."

"Kalau enggak mau, makanya kamu besok tetap di rumah."

"Iya deh iya," putus Laura pada akhirnya.

Arsa Rodigwe

Seperti apa yang papanya tadi katakan, Laura tetap di rumah. Niatnya untuk melamar pekerjaan ia tunda saja, mungkin besok dirinya akan kembali melanjutkan niatnya itu. Sekarang ini ia berada di halaman rumahnya, duduk di kursi yang ada di sana.

Mamahnya yang menyuruh dirinya berada di sini, mumpung moodnya bagus, ia menurut saja. Ia di sini sembari bermain ponselnya, tak lama dari itu ia mendengar suara mobil yang sepertinya berhenti di depan gerbang rumahnya. Dapat dirinya lihat gerbang itu terbuka dan masuklah mobil berwana hitam.

Ia hanya diam sembari melihat ke depan, keluarganya tidak memiliki mobil sport berwarna hitam seperti ini. Lantas siapa pemilik mobil ini? Keterkejutannya bertambah ketika melihat dua orang anak kecil keluar dari mobil dan langsung menghampiri dirinya. Tunggu, sejak kapan ia punya sepupu sekecil mereka?

"Kalian siapa?" tanya Laura untuk pertama kalinya.

"Hai Bu Laura."

Laura membulatkan mulut dan matanya tak percaya, apakah ia tidak salah dengar? Dua anak kecil itu memanggilnya Bu Laura? What! Ingin sekali berkata kasar. Okey Laura, senyum manis mu harus kau tunjukkan.

"Panggil kak Laura, jangan Bu. Gue bukan guru kalian." Laura mencoba untuk tersenyum, walaupun kenyataannya ia kesal setengah mati.

"Kenapa kalian ada di sini? Siapa kalian?" Laura sudah kembali ke topik yang sudah seharusnya dibahas.

"Aku Glen, dan ini adikku Josh." Dua anak kecil yang menghampiri Laura semuanya laki-laki, tingginya hanya sebatas pinggang Laura saja, atau mungkin dibawahnya.

"Kalian ke sini sama siapa?" tanya Laura setelah mengetahui nama dua anak kecil itu.

"Mereka ke sini bersama dengan saya, Laura."

Laura langsung melihat ke sumber suara, ia terkejut ketika pria yang semalam ia temui berada di sini. Tunggu, ia pasti bermimpi, ia mengucek matanya berkali-kali. Tapi pria itu semakin dekat ke arah dirinya dan berhenti tepat di depan matanya. Ia tertawa, mungkin ia hanya halusinasi. Mana mungkin pria itu tahu rumahnya.

Tapi mengapa dia tidak kunjung hilang dari pandangannya, jadi ini nyata? Sungguh, ia benar-benar tidak berharap omongan pria itu benar adanya. Ia pun bersiap ingin kembali masuk ke dalam rumah, tapi ia dikejutkan dengan keberadaan kedua orang tuanya. Sejak kapan mereka berada di sini?

"Laura, kok tamunya enggak disuruh masuk sih?"

"Ma, dia siapa?" tanya Laura dengan nada berbisik.

"Ceritanya nanti aja." Shani maju ke depan dan melihat ke arah Josh dan Glen.

"Hai ganteng, gimana kabar kalian?" tanya Shani sembari tersenyum ke arah pasangan saudara itu.

"Kabar kami baik nenek."

"Nak Arsa, yuk masuk ke dalam. Maaf, Laura emang gitu orangnya. Sedikit enggak sopan, tapi jangan ragukan lagi hatinya." Shani tersenyum kecil, hal itu langsung mendapatkan senggolan dari Laura.

"Glen, Josh, yuk ikut masuk sama nenek dan kakek."

Shani dan Andre masuk terlebih dahulu bersama dengan Glen dan Josh. Di luar hanya tersisa Laura dan Arsa saja. Tentu suasana canggung, Laura masih teringat jelas tentang pertemuan pertamanya dengan Arsa kemarin malam. Tidak menyangka jika sekarang dipertemukan kembali.

"Kamu lupa dengan saya?" tanya Arsa dengan pandangan tak pernah lepas dari Laura.

"Gue ingat lah, masak enggak. Juga, ngapain lo ke sini? Glen sama Josh siapa? Kenapa mereka panggil nyokap bokap gue kakek dan nenek?" Pertanyaan begitu banyak dilontarkan oleh Laura. Karena ia ingin tahu semuanya.

"Glen dan Josh anak saya."

"Hah? Lo udah punya anak?!" tanya Laura tak percaya.

"Kamu tidak percaya? Mereka memang anak saya, Laura."

Mulut Laura terbuka sempurna, bagaimana bisa Arsa memiliki anak sebesar Glen dan Josh? Malahan ia berpikir Arsa berumur 25 tahun. Tapi Glen dan Josh kisaran berumur 7 tahunan. Satu hal yang pasti, Arsa itu udah punya anak! Wajah Arsa masih keliatan muda dan tidak cocok memiliki anak.

Arsa menatap Laura, kebingungan Laura mampu membuat dirinya tersenyum tipis. Suasana kembali hening, Arsa tahu jika Laura memikirkan tentang dirinya, Josh, dan juga Glen. Laura begitu cantik, persis sewaktu ia bertemu dengan dia kemarin malam. Jika cerewet dia terlihat menyebalkan.

"Jadi untuk apa lo ke sini?" tanya Laura dengan sedikit nada sarkas.

"Bisakah kita berbicara aku dan kamu saja? Lo dan gue sedikit tidak sopan."

"Gue enggak peduli! Yang jelas untuk apa lo datang ke sini?! Pake akrab lagi sama nyokap, bokap gue."

"Kamu belum tahu mengapa saya datang ke sini?" dengan polosnya Laura mengangguk.

"Bagaimana jika saya mengatakan ingin melamar kamu hari ini juga?"

"Lo benar-benar gila! Gue enggak mau sama duda yang udah punya anak kayak lo!"

"Yakin? Saya melihat kamu sedikit mengagumi saya, apakah itu benar?"

***

Arsa Rodigwe, seperti apa yang tertulis, ia merupakan keturunan Rodigwe. Sekarang umurnya 30 tahun, menikah di umur 24 tahun. Memiliki dua anak bernama Josh Crown Rodigwe dan Glen Crown Rodigwe. Mereka berumur 6 tahun, mereka kembar. Padahal Arsa tidak memiliki keturunan kembar.

Glen dan Josh masih memiliki ibu, tapi dia pergi tanpa berpamitan dengan Arsa. Dengan mudahnya dia memberikan hak asuh kepada Arsa di saat semua ibu memperjuangkan hak asuh anak-anaknya. Tapi Arsa bersyukur bisa mendapatkan hak asuh mereka. Biarkan mantan istrinya pergi membawa uangnya. Ia hanya ingin hidup bahagia bersama dengan kedua putranya.

Arsa merupakan anak bungsu dari 3 bersaudara, artinya Glen dan Josh masih memiliki dua orang paman. Keberadaannya disembunyikan sampai dirinya menikah, karena ia tidak mau hidupnya terus diusik oleh musuh Rodigwe. Hanya sedikit yang mengenal dirinya sebagai keturunan Rodigwe, selebihnya semua hanya tahu dirinya pebisnis yang bergerak di bidang industri.

Tidak ada kata lain selain membahagiakan anak-anaknya, ia bekerja dari pagi ketemu pagi hanya untuk kehidupan Glen dan Josh yang sempurna. Tentu ia merasa bersalah karena mereka sama sekali tak mendapatkan kasih sayang seorang ibu, tapi ia tidak bisa mengendalikan takdir yang ada.

Glen dan Josh hanya merasakan kasih sayang seorang ibu satu tahun, waktu yang begitu singkat untuk bayi kecil hidup. Selama ini hanya dirinya dan keluarga Rodigwe yang melihat pertumbuhan Glen dan Josh. Ia mengasingkan diri ke negara lain bersama dengan kedua putranya.

Sekarang ia kembali ke sini, setelah menemukan pujaan hatinya. Laura, ia bertemu dengan Laura waktu di pameran lukisan yang bertempat di Florida, waktu itu ia melihat Laura yang hampir tidak bisa pulang karena berdebat dengan satpam. Laura di curigai membawa kabur lukisan karena alat pendeteksi berbunyi.

Tapi ternyata alatnya rusak, dari jauh ia menyaksikannya Laura dengan perasaan bahagia. Rasanya ia seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. 2 tahun lamanya ia hanya mampu memandangi Laura dari jauh, orang kepercayaannya akan melaporkan tentang apa saja yang Laura gunakan.

Baru sekarang ia berani datang ke sini dan bertemu dengan kedua orang tua Laura. Ia berharap Laura mau menjadi kekasihnya, walaupun ia dan Laura terpaut cukup jauh. Ia akan terus berjuang agar Laura mau menerima ketulusan hatinya dan dengan tulus menerima Josh dan Glen di hidupnya.

Ia tidak akan menjadi seorang yang egois, tapi ia akan mengusahakan yang menurut dirinya terbaik. Ia akan mendapatkan Laura dengan cara sehat, mungkin jika dia tidak mau ia akan mundur perlahan-lahan. Tapi ia tidak berharap sesuatu buruk itu terjadi.

Pembicaraan pada hari ini

Semua orang berkumpul di ruang tamu kediaman Laura, Laura duduk di samping mamanya. Sementara Arsa sendiri berada di sofa yang berseberangan dengan Laura. Josh dan Glen? Mereka bermain di halaman belakang dengan pembantu Laura. Perasaan Laura tidak enak, entah mengapa dirinya begitu yakin ada yang kedua orang tuanya sembunyikan dari dirinya.

Sedari tadi ia hanya mendengar percakapan antara papanya dengan Arsa, membicarakan kabar, bisnis, dan seputar kehidupan yang menurut Laura terlalu monoton. Atau hanya dirinya yang merasakan ini? Tak jarang mamanya juga ikut menyahuti pembicaraan ini.

Laura tentu hanya bisa diam, memangnya ia mau mengatakan apa? Kenal Arsa saja tidak, bagaimana ia mengajak dia berbicara. Sebenarnya ia mau ke kamar, tapi tidak diperbolehkan. Apakah papanya mau ia di sini seperti orang bodoh yang cengo? Hari ini benar-benar dibuat kesal oleh semua orang.

"Baiklah, Laura. Kamu belum tahu bukan mengapa Arsa ada di sini?" Laura menggeleng.

"Papa mau kamu sama Arsa menikah, umur kamu juga sudah matang untuk menikah Laura."

"What! Papa bercanda? Menikah? Enggak papa!" tolak Laura mentah-mentah.

"Kamu bisa saling mengenal dulu dengan Arsa, dia laki-laki yang baik untuk kamu."

"Bagaimana papa bisa yakin dia laki-laki baik?!" Laura menatap Andre tak terima.

"Papa kenal dengan Arsa 4 tahun lamanya, jadi papa tahu siapa Arsa dan keluarga Arsa juga kenal betul dengan papa. Sekarang papa minta, kalian berdua pergi bersama agar bisa saling kenal dan lebih akrab."

"Pa, aku sama dia baru kenal. Masak papa biarin aku jalan bareng dia sih?!"

"Papa tahu semalam kamu bertemu dengan Arsa, jadi anggap saja kamu sudah tahu Arsa. Papa tidak menerima penolakan, sekarang juga kamu pergi sama Arsa."

"Yaudah, tunggu. Aku siap-siap dulu." Dengan ogah-ogahan Laura pergi dari sini menuju kamarnya. Tak lupa memberikan tatapan tajam untuk Arsa, karena menurut dirinya Arsa pengacau semuanya.

Dalam hati Arsa merasa senang, akhirnya ia bisa jalan bersama dengan Laura. Walaupun Laura begitu terpaksa menyetujui ucapan orang tuanya. Ia kenal dengan orang tua Laura sudah lama, tapi baru berani mengatakan perasaannya kepada Laura yang sebenarnya beberapa bulan ini.

Walaupun mereka sempat ragu dengan ucapannya, tapi ia menyakinkan akan menjaga Laura sedemikian rupa. Mereka juga tahu mantan istrinya masih ada, tapi mereka tidak mau ikut campur perihal masa lalunya itu. Ia juga sudah mengubur dalam-dalam semua yang terjadi di hidupnya.

"Arsa, jika Laura suka ngambek, kamu maklumin aja. Dia itu manja, apalagi kemarin baru dipecat sama bosnya. Itupun saya yang nyuruh, kasihan juga bosnya punya karyawan kayak Laura."

Arsa tertawa pelan. "Om dan tante tenang saja, aku akan maklum dengan sikap Laura. Apalagi ini pertemuan kedua kita."

"Oh iya, Laura itu enggak suka cari topik pembicaraan. Jadi kamu harus pintar-pintar ajak bicara Laura."

"Glen dan Josh kamu ajak?"

Arsa tampak berpikir sejenak. "Kayaknya saya akan mengajak mereka saja."

"Baiklah, om dan tante harap hari ini Laura bisa menerima keberadaan kamu."

"Saya juga berharap seperti itu tante."

Sementara di kamarnya, Laura sibuk menelepon salah satu temannya. Tapi tidak diangkat-angkat juga, akhirnya ia menelepon temannya yang satu lagi. Tidak di angkat, temannya yang ke 3 baru diangkat! Untung saja ia memiliki banyak teman. Entah apa jadinya jika ia hanya memiliki satu teman saja.

"Apa sih Laura? Lo ganggu gue yang lagi tidur! Gue capek Laura! Gue semalam begadang!" terdengar suara kesal dari seberang sana.

"Itu enggak penting! Gue mau kasih kabar buat lo, hari ini gue mau jalan sama laki-laki karena paksaan bokap gue!"

"Hah? Beneran?!"

"Ngapain juga gue bohong! Intinya gue enggak suka kalau sampai dia dijodohin sama gue, dia itu duda! Udah punya anak! Mana mau gue sama duda!"

"Kalau ganteng gebet aja, mayan lo enggak perlu capek-capek cari jodoh. Udah langsung tersedia."

"Enak aja! Pokoknya lo harus bantu gue!"

"Bantu apa? Jangan yang aneh-aneh!"

"Lo bantuin gue kabur, lo jemput gue di depan rumah. Gue benar-benar males pergi sama tuh duda, pokoknya lo harus bantu gue kabur dari rumah!"

"Lo gila Lau! Yang ada gue yang kena masalah, pergi saja sama dia. Emangnya buat lo rugi? Enggak kan."

"Lo jadi temen enggak mau bantu gue sih?!"

"Maaf nih Lau, gue enggak mau kena masalah. Nikmati aja hari-harimu, bay Laura sayangg."

"Sialan nih bocah!" maki Laura ketika sambungan teleponnya dimatikan oleh temannya.

***

Meminta bantuan teman tidak bisa, akhirnya Laura pergi bersama Arsa. Juga dengan Glen dan Josh, sekarang mereka berada di pinggir jalan. Lebih tepatnya di pinggir trotoar yang disampingnya danau besar. Lebih tepatnya di sini tempat Laura dan Arsa bertemu untuk yang pertama kalinya.

Dengan ogah-ogahan, Scarla menjawab apa yang Arsa bicarakan sedari tadi. Cukup sulit bagi Arsa untuk mencari topik agar pembicaraan ini tidak terhenti. Josh dan Glen sendiri berjalan jauh di depan sana, mungkin kedua anaknya itu membiarkan dirinya menghabiskan waktu dengan Laura.

"Udahlah, lo diam aja. Berisik banget dari tadi, sakit nih kuping gue."

"Apakah kamu tidak suka pergi dengan saya?"

"Ya enggak lah, kita aja baru ketemu. Tapi papa sama mama langsung ijinin kita jalan bersama. Lo nyebelin banget, mana bawa dua anak kecil lagi."

"Jangan marah-marah, kamu semakin cantik."

"Gue enggak akan mempan sama gombalan lo, gue aja yakin jika sebenarnya lo itu punya simpanan banyak perempuan."

"Apa yang kamu katakan tidak benar. Saya bukan orang seperti itu, asal kamu tahu saja. Saya menunggu kamu lebih dari 2 tahun."

Saat ingin menjawab, tiba-tiba hujan turun. Dengan segera mereka mencari tempat untuk berteduh, entah mengapa Laura langsung meraih Josh dan menggendong dia untuk berlari dari sini. Begitu juga dengan Arsya yang menggendong Glen. Akhirnya mereka menemukan halte yang bisa digunakan untuk tempat berteduh.

Arsa dan Laura menurunkan Glen dan Josh lalu mendudukkan mereka ke atas bangku. Baju Arsa dan Laura basah, karena dua orang itu berusaha melindungi Glen dan Josh agar tidak terkena air hujan. Laura berdiri di samping tiang dengan tangan bersedakap dada. Arsa langsung menghampiri Laura.

"Terimakasih karena kamu tadi menggendong Josh."

"Yakali gue biarin dia lari-lari di tengah hujan kayak tadi. Gue juga punya hati kali." Jawaban Laura selalu saja sewot jika berbicara dengan Arsa.

"Saya senang sekali dengan hal ini, secara tidak langsung kamu menunjukkan kasih sayang kamu ke kedua anak saya."

"Pikiran lo aja kali. Tunggu, di mana ibu mereka? Kenapa lo yang ajak mereka dan malah jalan sama gue?"

"Ibu mereka, atau lebih tepatnya mantan istri saya pergi ketika Glen dan Josh sekitar berumur 1 tahun. Dia pergi dengan membawa uang saya. Jika uang tidak akan saya permasalahkan, tapi ini tentang perasaan kedua anak saya ke depannya."

"Jadi lo benar-benar duda?" Arsa mengangguk.

"Tunggu, tadi lo bilang nunggu gue lebih dari 2 tahun. Apa maksudnya?"

"Saya tahu kamu waktu di pameran yang ada Florida, semua kejadian di sana tentang kamu saya masih mengingatnya. Awal mula karena kejadian itu saya mau kamu menjadi kekasih saya."

Laura menutup mukanya karena malu, ia kembali diingatkan tentang kejadian di Florida waktu itu. Tentu saja ia sangat malu ketika alat itu berbunyi, padahal ia tidak membawa apa-apa. Intinya ia trauma ke tempat pameran lukisan dan acara sejenisnya, sampai-sampai bule menertawakan dirinya secara diam-diam.

Dan sekarang Arsa menjadi saksi kejadian itu, menyesal sekali telah bertanya dan berakhir Arsa bercerita tentang ini. Derasnya hujan menemani Laura dan Arsa, Arsa mau momen ini tidak segera berlalu. Agar dirinya bisa memiliki lebih lama waktu dengan Laura. Bahkan jika bisa ia ingin menghentikan waktu agar semua ini tidak segera berlalu.

"Papa, temenin Glen sama Josh di sini."

"Baiklah, papa akan ke sana." Arsa menghampiri kedua anaknya.

"Ternyata tuh duda baik banget, mana bicaranya lembut banget lagi," batin Laura.

"Pa, katanya Josh sama Glen mau punya mama baru. Apakah dia mama baru kita?"

"Papa akan menjawab di rumah, jangan bertanya perihal ini lagi okey?" Arsa sedikit memelankan suaranya.

Dalam diam Laura mendengar percakapan antara ayah dan anak itu. Apakah ia benar-benar ditakdirkan bersama dengan Arsa? Bahkan kedua orang tuanya saja mendukung dirinya dengan dia. Tapi masalahnya ia baru kenal dengan Arsa dan dia sudah memiliki anak.

Rasanya ia sulit menerima mereka, tapi ia juga tidak bisa mengecewakan kedua orang tuanya sendiri. Ia merasa terharu melihat perhatian yang Arsa berikan kepada anak-anaknya. Apalagi Glen dan Josh tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ibu yang sesungguhnya. Tiba-tiba saja terdengar suara petir yang menggelegar.

Glen dan Josh menangis, Laura menatap ke belakang. Arsa tampak sibuk menenangkan kedua anaknya, Josh minta digendong oleh Arsa. Begitu juga dengan Glen, mungkin mereka ketakutan karena suara petir cukup keras. Arsa begitu kerepotan karena Glen dan Josh sama-sama minta digendong.

"Harus gue lagi yang gendong tuh bocah," batin Laura karena merasa kasihan dengan Arsa.

"Sini, kakak akan gendong kamu." Laura merentangkan tangannya ke arah Glen dan seketika Glen memeluk Laura. Akhirnya Laura memeluk Glen dengan posisi jongkok, agaknya Glen tidak mau dirinya gendong. Pelukan yang Glen berikan begitu erat.

"Takut."

"Enggak papa, hujannya akan berhenti. Jangan takut, laki-laki enggak boleh penakut." Laura mengelus punggung Glen.

"Laura," panggil Arsa dan langsung ditatap oleh Laura.

"Terimakasih untuk semuanya, saya tidak tahu apa yang terjadi jika tidak ada kamu."

"Gue juga terpaksa kali." Jawaban yang begitu menyakitkan bagi Arsa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!