Laura berada di meja makan, ia tengah melakukan makan malam bersama dengan kedua orang tuanya. Suasana begitu tenang, hanya terdengar suara dentingan sendok yang menari-nari di atas piring. Laura makan begitu lahap.
"Bagaimana kamu tadi pergi sama Arsa? Pasti seneng kan, apalagi Arsa sangat tampan."
Laura melotot, nafsu makannya hilang karena mendengar nama itu.
"Yang ada anak-anaknya nyusahin. Capek aku gendong Josh tadi."
"Kamu enggak boleh gitu, mereka akan menjadi anak kamu dan kamu akan menjadi ibu sambung mereka."
"Mama enggak bercanda?"
"Tentu saja tidak, untuk apa mama bercanda. Lagian mama dan papa berharap kamu segera menikah dengan Arsa."
"Pa, ma, aku sama dia baru kenal 2 hari. Aku juga enggak punya perasaan sama dia, bukannya papa dulu bilang enggak akan ikut campur soal percintaan aku? Aku bisa cari laki-laki sendiri."
"Kamu tidak ingat kisah cinta kamu seperti apa? 3 mantan kamu tidak beres semua. Yang satu suka minta uang, yang satu minta dibeliin aset, yang satu mau tinggal se apartemen sama kamu."
"Itukan waktu aku enggak paham sama cinta, sekarang aku udah paham."
Laura memiliki tiga mantan, masing-masing memiliki kisah yang tidak begitu berharga. Ada saja tidak beres, semua yang papanya katakan benar. Mantannya matre semua, biasanya cewe yang matre. Tapi sekarang laki-laki yang matre. Mana waktu itu ia sempat membelikan saham ke mantannya yang kedua.
Jika dipikir-pikir ia bodoh sekali, apapun yang pacarnya minta selalu dirinya turuti. Jika diungkit lagi ia pasti malu, itu saking bodohnya dirinya. Kembali ke topik awal tentang kedua orang tuanya ingin dirinya menjadi ibu sambung Glen dan Josh. Padahal ia mau menikah dengan laki-laki yang masih lajang.
"Kamu mau 'kan menikah dengan Arsa? Dia sayang tulus banget sama kamu."
"Enggak ma! Umur aku masih terlalu muda untuk menikah. Pokonya aku mau fokus dengan karir aku dan aku akan cari pasangan sendiri, tentunya yang belum punya anak."
"Jangan begitu, Arsa laki-laki yang bertanggungjawab. Buktinya dia merawat kedua anaknya sampai saat ini tanpa bantuan mantan istrinya."
"Tapi pa, Laura juga punya masa depan yang tidak seharusnya papa dan mama ikut campur."
"Laura, kita tahu yang terbaik untuk kamu. Menurut lah sama mama dan papa, kami akan tenang jika melepas kamu dengan Arsa. Bukan dengan orang lain."
"Kalian enggak akan tahu yang terbaik untuk Laura pa. Udahlah pa, aku mau ke kamar aja." Laura membanting sendoknya ke atas piringnya lalu pergi dari ruang makan. Moodnya seketika berubah secara drastis.
Laura sudah berada di kamar, ia menyalakan televisi dengan suara keras dan ia duduk di tepi kasurnya. Matanya menatap ke depan dengan mulut yang mendumel terus menerus. Ia tak suka kedua orang tuanya ikut campur dengan urusan masa depannya.
Ia bisa memiliki mana yang terbaik untuk dirinya, ini hidupnya. Bukan hidup mereka, ia tidak bisa dan tidak akan bisa menjadi ibu sambung. Belum lagi mengurus Arsa jika semisal ia dinikahkan dengan Arsa. Ia takut dibanding-bandingkan dengan mantan istri Arsa nanti.
Bukan berarti ia mau menikah dengan Arsa, itu salah besar. Apalagi ia memiliki keinginan untuk tidak mempunyai anak dulu sesudah menikah. Bisa dibilang ia mau bahagia dengan pasangannya tanpa anak terlebih dahulu. Tapi sekarang seolah impiannya dihancurkan oleh Arsa. Ia melihat mamanya yang masuk ke dalam kamarnya.
"Laura, kamu marah sama mama dan papa?"
"Enggak, siapa yang bilang?"
"Sayang, mama dan papa melakukan ini semata-mata untuk kamu. Agar kami bisa tenang melepas kamu dengan pasangan kamu. Ada banyak hal di dunia ini yang kamu tidak mengerti."
"Ma, sudah berapa kali Laura menjelaskan kalau Laura enggak mau sama Arsa. Tolong jangan paksa aku."
"Arsa baik, kamu bilang seperti ini karena belum kenal betul dengan dia. Kalau udah kenal kamu akan merasakan cinta yang Arsa berikan begitu tulus dengan kamu."
"Memangnya apa yang Arsa kasih hingga mama dan papa memaksa aku untuk terus bersama dengan dia?"
"Asal kamu tahu, nak. Arsa membuktikan kepada kami ketulusannya selama ini. Bahkan dia melindungi kamu dari jauh, papa dan mama semakin tua. Kamu jangan lupa jika kita butuh waktu lama agar kamu hadir di perut mama."
"Ma, Laura enggak mau dipaksa seperti ini. Kasihan Glen dan Josh nanti, mereka berhak mendapatkan ibu yang lebih baik. Bukan seperti aku ini."
Laura begitu istimewa di kelurga ini, kedua orang tuanya berjuang selama bertahun-tahun agar ia bisa hadir di rahim mama. Jika ditanya apakah ia menyesal di lahirkan di sini, jawabannya tidak. Ia sama sekali tidak menyesal. Menolak permintaan mereka adalah hal yang buruk.
Tapi ia juga punya masa depan yang harus dirinya perjuangkan. Ia masih mau kerja dan memperjuangkan karirnya, ia mau fokus dengan dunia yang membuat ia nyaman. Bukan yang membuat ia tertekan, bersama dengan Arsa misalnya. Ia sama sekali tak memiliki perasaan dengan dia.
***
Arsa berada di dalam rumahnya, lebih tepatnya ia termenung di balkon kamarnya. Baru juga berjuang untuk mendapatkan Laura, tapi ia sudah menyerah saja. Kata-kata Laura benar-benar membuat ia sakit hati. Padahal dari dulu ia enggan mendengar kata orang yang menurutnya tak penting.
Tapi jika Laura beda lagi, setiap kata-katanya selalu masuk ke dalam hatinya. Rasanya ia seperti tidak akan bisa mendapatkan Laura. Apakah karena ia sudah menikah dan memiliki anak sehingga Laura tidak mau dengannya? Astaga, ia tidak boleh menyalahkan kehadiran Josh dan Glen di hidupnya.
Paling penting memang kedua anaknya, ia juga melihat mereka nyaman dekat dengan Laura. Walaupun beberapa kali mendapatkan penolakan. Kasihan jika Glen dan Josh mencoba meminta perhatian dari Laura. Ia selalu saja dibayang-bayangi rasa bersalah, karena dirinya kedua anaknya tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ibu sampai sekarang.
"Arsa, bagaimana pertemuan kamu dengan perempuan itu?" Bian, kakak pertama Arsa datang menghampiri Arsa di sini.
"Seperti apa yang abang bayangkan, dia menolak secara terang-terangan. Rasanya aku ingin mundur saja untuk mendapatkan dia." Arsa menatap Bian dengan tatapan lelah.
"Baru juga satu hari kamu bertemu dengan dia, udah mau nyerah aja. Perjuangan dia demi anak-anak mu, mereka tidak bersalah dan berhak bahagia."
"Aku juga mau seperti itu, tapi jika tidak mau apakah aku harus memaksa dia sedemikian rupa?"
"Cinta hadir karena terbiasa, jangan capek untuk mendekati dia. Abang yakin cinta kamu bisa diterima oleh dia. Jangan ragu, perempuan akan luluh dengan laki-laki yang tulus."
"Tapi Laura enggak mau sama laki-laki yang udah punya anak. Aku benar-benar bingung bagaimana cara mendapatkan hatinya."
"Buat nyaman dia, abang tidak bisa membantu kamu apa-apa."
Arsa begitu dekat dengan kedua saudaranya, jadi jika ada masalah ia langsung lari ke mereka. Umurnya memang sudah dikatakan matang, ia sudah berumur 30 tahun. Tapi mereka semua begitu perhatian, apalagi ia memiliki trauma di masa lalu yang berkaitan dengan mantan istrinya.
Intinya hidupnya di kelilingi oleh keluarga, mereka yang membantu dan menguatkan dirinya dalam membesarkan Glen dan Josh. Semua ujian hidup ia lalui bersama dengan mereka, harus berpura-pura baik-baik saja di hadapan kedua anaknya. Itu sangat sulit, apalagi menjadi ibu dan ayah sekaligus.
"Arsa, jika dia tidak mau. Kamu jangan memaksanya, tapi tidak ada salahnya untuk mencobanya. Abang yakin kamu pasti bisa, lakukan ini demi Glen dan Josh."
Arsa mengangguk pelan. "Aku akan melakukan ini demi mereka, aku tidak akan menyerah secepat ini untuk mendapatkan Laura."
"Semua orang mendukung kamu dengan dia, begitu juga dengan keluarga perempuan itu. Abang akan mendukung kamu dari jauh, itu janji abang."
***
Laura akan mencari kerja hari ini, sudah bosan ia di rumah dan tidak melakukan apa-apa. Sebenarnya sih ia bingung mau melamar di mana, karena ia sama sekali tidak menemukan lowongan kerja. Jadi ia hanya berjalan di pinggir jalan sembari melihat ke tiang listrik atau tembok, siapa tahu ada brosur lowongan kerja.
Karena capek, ia berhenti di pinggir jalan. Tadi ia menggunakan bus, karena malas membawa mobil. Ia itu bukan pemalas, tapi hanya tidak mau membawa mobil saja. Tapi jika jalan selalu saja merasa lelah, jika capek bawaannya ingin marah saja.
"Laura!"
Ada mobil yang berhenti di depan Laura dan memanggil nama Laura. Mengetahui siapa yang ada di dalam mobil itu membuat Laura memutar bola matanya malas, ketiga sahabatnya berada di dalam satu mobil ini. Apakah mereka tidak peduli dirinya yang panas-panasan mencari kerja?
"Ngapain lo jalan kaki? Mobil lo ke mana?"
"Dijual kali, kan dia udah di pecat."
"Banyak omong kalian." Laura memutar bola matanya malas, lalu ia menghampiri mobil itu dan membuka pintu bagian belakang.
"Buka pintunya, gue mau masuk." Laura yang minta tolong, dia yang sarkas. Tapi sama teman-temanya dibukain pintunya. Laura duduk di bangku belakang dan seketika mobil ini melaju menjauh dari sini.
"Cemberut aja nih bocah, kenapa? Enggak dapet kerja? Atau bosen miskin 2 hari?"
"Lama-lama gue sumpel mulut kalian. Bikin gue badmood aja." Laura benar-benar dibuat kesal dengan ketiga sahabatnya yang minus akhlak ini.
"Yaelah, yang lagi deket sama duda enggak boleh badmood."
"Gila, gue lupa kalau dia deket ma duda."
"Kalian ngeledek gue?!"
Laura melotot ke arah teman-temanya, mereka selalu saja menggoda dirinya. Apalagi mereka tahu ia tengah dekat dengan Arsa, juga salahnya sendiri bercerita dengan mereka. Apalagi dulu mereka tahu ia paling anti dengan yang namanya anak kecil.
Tapi sekarang kedua orang tuanya malah menjodohkan dirinya dengan duda! Ia semakin di ejek habis-habisan oleh mereka. Ia tak lupa jika mereka pernah enggan membantu dirinya untuk pergi dari rumah. Karena waktu itu ia jalan dengan Arsa untuk pertama kalinya.
"Ceritain dong, gimana lo ketemu sama duda."
"Mau gue ceritain?" Mereka bertiga langsung mengangguk.
"Cariin gue lowongan pekerjaan, kalau perlu tanpa tes ini itu. Setelah itu gue ceritain tentang tuh duda."
"GILA LO! LO PIKIR CARI KERJA MUDAH?!" teriak mereka secara bersama-sama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments