Happy reading...
Masih segar di ingatanku petengkaran mereka berdua di malam itu, disaat hujan dan suara petir menggelegar bersahutan. Aku terbangun dari tidurku karena takut dengan suara petir. Biasanya papi dan mami akan memelukku bersama-sama, entah kenapa mereka tidak melakukannya.
Aku berlari kekamar mereka, pintu kamar itu sedikit terbuka. Langkah kaki kecilku berhenti di balik pintu kamar mereka, terdengar pertengkaran mereka begitu kerasnya.
“Kau berselingkuh dengan Yudit di belakangku!" bentak Erwan Tama sambil melempar foto-foto dimuka wanita yang telah menjadi istrinya selama delapan tahun itu.
“Ini fitnah Pi, aku bisa jelaskan ini,” jawab Kaila dengan memegang pipinya yang bengkak karena tamparan Erwan sebelumnya, sambil menangis keras.
“Tidak perlu kau jelaskan! Sudah aku putuskan akan menceraikanmu dan menerima perjodohan orang tuaku," kata Erwan sambil mengemasi pakaiannya.
"Aku tidak pernah melakukannya, Er. Aku tidak tahu apa yang terjadi dan kenapa aku bisa bersama dengan Yudit dalam ke adaan buruk. Tolong jangan pergi! Demi Nafizah, Er," pinta Kaila pada suaminya.
"Aku tak bisa percaya padamu setelah ini, jangan memancingku untuk berbuat kasar lagi pada mu! Ternyata kau tak sebaik yang ku kira, biar Nafizah tetap bersamamu karena Mirna tak mau jika aku membawa anak itu. Hari ini juga aku keluar dari rumah ini!" teriak Erwan akan melangkah pergi.
"Kini aku tahu, mungkin dirimu lah yang melakukan ini padaku, Yudit adalah temanmu bagaimana bisa aku berada di ranjang temanmu, jika bukan kau yang melakukannya. Kau takut miskin bersamaku bukan? Sehingga kau menjual dirimu pada wanita itu!" kata Kaila dengan hati terluka.
Erwan menamparnya sekali lagi dengan sangat keras hingga Kaila jatuh tersungkur.
"Kau wanita gila! Menuduh seenak perutmu! Buat apa aku memberikan istriku pada temanku? Kau lah yang j4l4ng! kau yang selalu bertemu dengannya di butikmu bukan? Kenapa malah menuduhku hah?!"
Erwan Tama menghampiri Kaila dan menyentuh kepala wanita itu sambil mengucapkan Talak tiga.
Kaila menatap lelaki itu dengan tatapan nanar, tak percaya semua ini akan berakhir. Cinta dan rumah tangga yang dia bangun dengan susah payah runtuh dalam sekejab mata, buliran air mata menggenang tanpa suara, bibir diam membisu tak sanggup ucapkan sepatah kata untuk mencegah kepergian sang suami. Dengan langkah lebar lelaki itu menyeret koper dan keluar dari kamar ini.
Erwan melihat Nafizah putrinya berdiri tepat di balik pintu. Dia menghampiri buah hatinya dan duduk mensejajarkan tubuhnya dengan gadis kecilnya, sambil membelai rambutnya lalu menghapus cairan bening yang keluar dari mata Nafizah
“ Maaf ... bencilah Papi, jangan benci Mamimu! Lupakan apa yang kau dengar! Papi mencitaimu dan sangat menyayangimu, jangan lupakan itu!” pesan Erwan pada putrinya sambil mengecup keningnya lalu bergegas pergi.
Tangan kecilku meraih pergelangan tangan lelaki itu. "Papi jangan pergi! tolong jangan tinggalkan kami, kami membutuhkan, Papi!" teriakku dengan isakkan tangis yang semakin keras, Papi melepas tangannya dari cengkraman tanganku dengan sangat kasar.
Tanpa menoleh ke arahku lalu berjalan menuruni tangga dan menghilang dari pandangan mataku yang terpaku tak bergerak sedikitpun dari tempatku berdiri, rasa takut akan petir hilang musna, berganti rasa yang tak pernah aku pahami sama sekali.
Aku berlari menuruni tangga menyusul lelaki yang menjadi cinta pertamaku, ku lihat papi membuka pintu dan berjalan keluar menembus malam dan hujan, meninggalkan rumah dengan langkah tegap dan tak menengok kebelakang sama sekali lalu sebuah mobil hitam mewah berhenti di depannya. Seorang wanita cantik keluar dengan membawa payung untuk sang papi.
Aku berhenti mengejarnya dan berdiri di tengah hujan di malam itu dengan hati hampa hilang tak berbekas. Lelaki itu pun masuk ke dalam mobil mewah yang berjalan menjauh meninggalkan rumah. "Nona, ayo masuk, nanti sakit kasihan Mami," kata bik Sumi sambil menggendong tubuh basahku masuk kedalam rumah.
Semenjak kejadian itu hidup mami menjadi kacau, butik yang di rintisnya sendiri tiba-tiba saja mengalami penurunan dratis dan bangkrut. Pernah aku melihat mami pulang dengan muka dan tubuh lebam.
Hampir satu bulan mami mengurung diri di dalam kamarnya dan tak pernah keluar. Bik Sumi selalu mengantarkan makanan ke kamar. Setelah satu bulan mami pun keluar kamar dengan penampilan yang berbeda. Dia mulai menjual butiknya lalu memasang peralatan pelatihan menembak di halaman belakang rumah, ada pelatih beladiri dan menembak datang 2 kali seminggu.
Mami berlatih tiga bulan lamanya dan setelah itu mengajak kami pergi dari rumah ini dan tinggal di rumah bik Sumi di desa yang di beli mami untuk bik Sumi saat mami masih bersama papi.
Kami tinggal selama sembilan tahun di sana dan kembali lagi ketika aku melanjutkan pendidikan SMU. Aku pun tak pernah tau permasalahan apa yang menimpah rumah tangga mereka. Mami seperti menyimpan sebuah rahasia yang tidak di ketahui putrinya, dia tidak pernah bercerita apa pun ke padaku. Setiap kali ku tanya dia selalu bilang semua akan baik-baik saja.
“Nai kau sudah turun sayang?” Suara mami memangil sembil menoleh ke arahku, membuyarkan lamunanku di masa silam. Aku terseyum menganguk menghampiri mami, ku peluk dia dari belakang dan melingkarkan tanganku dilehernya dengan manja.
“Aku menyayangi Mami. Bisakah Mami lepaskan club itu, aku bisa menghidupi Mami dengan hasil jerih payahku Mam,” ucapku sambil meyandarkan daguku di pundak mami.
Kaila terseyum dan mengusap rambut anaknya sambil berguman, "Putriku benar- benar sudah dewasa dan mandiri.”
Lalu melepas pelukan anaknya dan memberikan piring berisi masakan yang telah di masaknya untuk aku bawa, dan dia sendiri membawa 2 piring lalu berjalan menuju meja makan menaruhnya di sana.
Aku pun sama meletakan piring yang kubawa di atas meja lalu kami duduk di kursi saling berhadapan.
Kaila meraih tangan anaknya menatap sendu mengelus punggung tangan anaknya dan berbicara dengan halus, "Akan mami pikirkan ya, mari kita makan sekarang! Apa kau tidak kuliah, Nai? tanya Kaila pada putrinya itu.
“Tidak Mam! Tidak ada bimbingan sekripsi Mam." Nafizah menjawab sambil mengambil nasi dan lauk yang ada di meja lalu mereka makan dengan tenang.
Selesai makan mami Kaila pergi ke kamarnya setelah pamit dengan putrinya dan tak keluar lagi.
Sementara Nafizha sudah mulai mengerjakan sekripsinya di ruang keluarga. Ketika asik mengerjakan, ponselnya berdering tertera panggilan dari Shahila Crop
“Hello, selamat pagi nona Nafizah ini dari Shahila Crop. CEO kami mau bertemu dengan nona besok jam 10.00 di kantor kami.” Terdengar suara dari balik telfon
“Baik Pak saya akan datang besok,'' jawab Nafizah.
BERSAMBUNG......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments