Semua pesanan kami habiskan sembari bercerita apa saja. Hampir satu jam kami duduk, tiba-tiba Kak Raya melambaikan tangannya ke arah belakangku. Sepertinya dia melihat seseorang yang dikenalnya. Rasa ingin tahu pun membuat aku ikut menoleh.
Namun, ups! Ternyata dia melambai kepada bukan hanya orang yang dia kenal, akan tetapi sangat dikenal dan mengenalnya luar dan, uhuk, dalam, Bang Riko, sang pacar, beserta rombongan. Rombongan yang terdiri dari teman-teman satu jurusan Riko, yang juga merupakan personil lengkap dari band mereka. Dan yang jelas, semuanya adalah seniorku di kampus.
Ah, satu Kak Raya saja sudah lebih dari cukup untukku apalagi sekarang ada lima orang tambahannya? Ditambah lagi sekarang aku sedang tidak mau bersosialisasi dan berbasa-basi. Argh!
Dari ke lima senior yag ada di sana, selain Bang Riko, aku hanya mengenal satu orang lagi, Bang Che. Che? Yes, Che. Menurut cerita dari sumber yang terpercaya, Kak Raya—siapa lagi?, nama asli salah satu sahabat pacarnya itu adalah Budi. Budi doang, Budi ajah, atau hanya Budi. Tidak ada embel-embel lain. Karena menurut dia pribadi nama Budi sudah terlalu mainstream di dalam buku-buku pelajaran SD serta kecintaannya terhadap seorang tokoh bernama Che Guevara yang hebat di bidangnya itu—sorry, aku tidak bisa memberikan detail lebih banyak tentang tokoh tersebut karena aku juga tidak tahu siapa sebenarnya si Che Guevara ini. LOL—dia mengganti panggilannya dengan Che.
Bertemu sejak tahun pertama kuliah tidak lantas menjadikan kami dekat, hanya biasa saja. Sekadar saling lempar senyum saat bertemu, saling menyahut saat disapa, candaan-candaan ringan yang (selalu) dilemparkan oleh Bang Che dan aku akan membalasnya dengan tawa yang alakadarnya saat didukung oleh keadaan.
Aku waktu itu juga memutuskan untuk menambahkan dia sebagai teman di jejaring sosial Facebook, follow his twitter and Instagram accounts pun setelah Kak Raya meyakinkan aku—dengan paksaan tentu saja, kalau Bang Che adalah salah satu senior yang “berpengaruh” di fakultas kami. Entah apa pengaruh keberadaan terhadap hidupku. Yang jelas, di sana aku bisa menangkap maksud daei kata-kata itu. Kalau Bang Che adalah sosok yang berpengaruh bagi kelangsungan hubungannya dan Bang Riko.
Saat para senior sedang sibuk melempar pernyataan-pernyataan konyol mereka—Ya Tuhan, aku tak menyangka ternyata di luar kampus mereka bisa sekonyol dan segaring ini, aku, yang jujur saja tidak mengerti apa yang mereka bicarakan hanya berusaha untuk menyibukkan diri dengan e-book di Kindle-ku sambil bersikeras untuk menyembunyikan perasaan yang berkecamuk dalam hati.
Ah, hati lagi.
****
Scroll. Scroll. Scroll.
Aku sedang asyik membuang-buang waktu dengan melihat status yang diunggah oleh orang-orang di ponsel. Suka geleng-geleng tak habis pikir aku melihat kebiasaan teman-teman sendiri. Ada-ada saja kelakuannya. Berkata-
kata kotor, mengungkapkan perasaan kecewa pada sang pacar yang terlambat menjemput untuk pergi kuliah, menyayangkan nasib yang tak kunjung berubah, dan banyak keluhan-
keluhan lainnya. Ada yang hobinya memasang foto mesra-mesraan dengan pacar, foto selfie, foto yangb tidak jelas. Ada yang promosi barang dagangan, status bajakan, bermacam-macam.
Banyak hal yang terjadi di luar sana, akan tetapi kondisiku hanya begini-begini saja.
Risiko introvert yang patah hati.
Beep. Beep. Beep. Ponselku berdentang memberikan tanda bahwa ada sebuah pesan masuk.
Kak Raya : Kay, ini nomornya Che
Kak Raya : save ya
Kak Raya : 0812-6161-2332
Aku mengerang. Oh, my God! Apa lagi, sih, ini? Kenapa Kak Raya bersikap seperti ini, sih? Apa maksudnya? Apa dia tidak mengerti bahwa dengan begini dia telah menempatkan aku di posisi yang tidak enak? Sekarang, setelah membaca pesannya ini aku tidak mungkin untuk tidak menyimpan nomor yang dia berikan, dong? Iya, kan?
Argh! Inilah bagian tersulit dari menjadi seorang yang gak enakan. Mau menolak, ya, gak enak. Mau apa pun, gak enak. Sialan!
Namun, sekali lagi, tidak ada yang bisa kulakukan untuk ini. Mau tidak mau, aku akhirnya tetap menyimpan nomor baru itu.
Che is now a contact.
****
....
"Aku sudah mencoba bertahan, Geko. Berusaha menerima segala kemanusiaan kita sambil memperbaiki kerusakan-kerusakan di hati kamu yang mungkin sudah aku sebabkan. Tapi, dengan hati yang sedang diperbaiki, kamu masih saja bisa bermain hati. Aku harus apa lagi?” Aku mengutarakan keputusasaanku pada pria yang juga terlihat sama cemasnya.
“Kita bisa mencoba lagi dari awal, kan, Kay Sayang? Kita bisa anggap sebelumnya tidak terjadi apa-apa di antara kita. Kita bisa hapus apa yang pernah terjadi. Kita bisa mulai membangun hubungan kita dengan membuka lembaran baru lagi. Kita baik-baik saja. Kita akan baik-baik saja kedepannya. Kita coba. Kita pasti bisa. Harus bisa. Ya?”
Bukannya semakin bahagia, hatiku malah mencelus. Terperosok semakin dalam ke dalam lubang hitam yang mengambang di luar angkasa sana. Bagaimana dia bisa mengatakan hal seperti itu? Bagaimana dia bisa meminta aku untuk melakukan semua itu? Bagaimana bisa aku melupakan pengkhianatan yang sudah dilakukannya beberapa waktu yang lalu. Dia sudah menjalin hubungan dengan cewek lain di belakangku sementara dia masih mengaku cinta pada diriku. Bagaimana bisa dia mengatakan semua hal itu?
Bagaimana cara menghapus apa yang sudah terjadi dari dalam kepala dan hati ini?
Lelaki itu di kalakian menggenggam tanganku dengan begitu erat, seperti enggan untuk melepaskan. Jelas betul bahwa dia sedang berusaha untuk mendapatkan hatiku lagi, wanita yang sudah dengan ikhlas mengasihinya selama ini.
Aku yakin bahwa dia akhirnya sadar, apa yang dilakukannya sebelum ini merupakan sebuah kesalahan besar. Harris sudah merasakan kehilangan aku semenjak aku pergi dari rumah kontrakannya waktu itu. Dia "sepertinya" tidak mau kehilangan orang yang sama, lagi. “Aku gak tahu, Ris. Aku gak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang.”
Meskipun sudah hancur, hatiku tidak pernah bisa berbohong padanya. Perasaanku kacau, aku benar-benar bingung. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang seharusnya aku lakukan? Aku harus bilang apa?
Apakah mencoba mengulang semua dari awal dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa di antara mereka adalah sesuatu yang aku inginkan? Apakah akuyakin semuanya akan berjalan dengan baik-baik saja, seperti yang berulang kali dia katakan? Bagaimana dia bisa memastikan hal itu dan mencegah hal yang sama terjadi kembali di masa depan nanti?
Bagaimana bisa dia meminta itu dariku? Melupakan perselingkuhan yang telah terjadi? Di mana letak hatinya?
“Kamu gak harus melakukan apa-apa karena akusudah bilang kalau tidak terjadi apa-apa di antara kita, kan? Kita baik-baik saja. Iya, kan, Sayang? Apa lagi? Apa lagi yang kamu mau? Yang harus kita lakukan sekarang adalah bersikap seperti biasa. Aku sayang kamu dan kamu sayang aku. Kita adalah dua sejoli dimabuk asmara.”
Harris kemudian menarik aku untuk masuk ke dalam pelukannya, salah satu tempat favoriku di dunia. Dielusnya rambutku dengan pelan, dengan lembut. Diperlakukannya aku dengan penuh cinta. Aku tahu dia melakukan semua itu dengan harapan bahwa perlakuan lembut dan penuh kasihnya akan membawa aku kembali lagi pada dia, seperti yang sudah-sudah.
Dan seperti yang sudah-sudah, Harris benar.
....
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments