"Tumben kamu ngajakin ketemuan. Kangen, ya?” Bang Che menggeser kursi yang ada di sebelahku lalu duduk. Senyum lebar yang selalu dipamerkan kepada semua orang dan yang menjadi buah bibir sebagian besar fans band mereka merekah di wajahnya.
Namun, tidak. Hal itu tidak akan memiliki pengaruh apa pun terhadapku. Terlebih lagi di saat seperti sekarang ini. Aku sudah terlalu imun terhadap hal-hal yang berbau dengan laki-laki, khususnya lelaki yang suka bersikap seenaknya. “Ada sesuatu yang mau aku tanyain.” Aku menjawab dengan datar. Dan di wajahku tidak ada agenda senyam-senyum seperti yang dia lakukan.
“Mau tanya apa, sih, Kay? Tanya aja kali, gak usah pakai acara sok serius gitu. Eh, be te we, kamu lucu banget kalau lagi serius gini tahu.” Tangan Bang Che bergerak naik, aku kira dia hendak mencubit pipiku, akan tetapi aku berhasil menepisnya terlebih dahulu.
Melihat reaksi dariku itu Bang Che tampak agak terkejut.
“Kamu kenapa sih, Kay?” tanyanya dengan kening yang mulai berkerut.
Nah, akhirnya dia menanggapi keseriusanku juga. Lagi pula, apa yang dia pikirkan? Apa dia berpikir dia bisa seenaknya menyentuhku seperti yang baru saja akan dia lakukan dan beranggapan bahwa aku tidak akan melakukan perlawanan? Dia pikir siapa dia? Belum apa-apa saja sudah bersikap begitu seenaknya. Pemikiran ini membuat pitamku semakin naik. “Bang, kenapa Abang bilang kita udah jadian sama Bang Riko? Kenapa orang-orang bisa menganggap kita udah jadian, Bang?”
Awalnya aku mengira Bang Che akan salah tingkah karena telah tertangkap basah seperti ini, akan tetapi sungguh tak dinyana tak disangka, cowok berambut bergelombang dengan potongan shaggy itu malah menanggapinya dengan tertawa terpingkal-pingkal. “Jadi kamu nyuruh aku ke sini cuma karena mau tanya soal itu aja?" Dia melanjutkan tawanya.
Aku tidak dapat memahami bagian mana dari perkataanku yang mengandung humor dan pantas untuk ditertawakan sekeras ini. Aku rasa aku kehilangan memo di suatu tempat di tengah jalan menuju ke kafe ini.
"Apanya yang mau dijelaskan lagi, sih, Kay? Semuanya kan sudah jelas. Kamu tahu kita ngapain aja selama ini. Apa yang udah kita bahas, apayang udah kita kerjain, ke mana aja kita jalan. Aku udah ngasih waktu aku buat kamu. Aku udah kasih perhatian utuh aku ke kamu. Akurasa aku sudah membuat maksud aku jelas sekali. Aku ingin memiliki kamu.”
What in the ever loving fxck? Aku ternganga. Betul-betul ternganga. Lengkap dengan mukut terbuka yang membentuk huruf O dan mata yang terbuka lebar-lebar. Sejauh itu pikiran Bang Che? Oh, no. No, no, no, no. Aku tidak bisa membiarkan dia mempunyai pemikiran seperti itu. Aku tidak akan membiarkan dia mengambil kesimpulan sendiri seperti ini. “Sorry, Bang, tapi aku rasa selaam ini kita enggak ngapa-ngapain. Kita cuma ngobrol biasa, itu pun kalau balas-membalas mention di media sosial dan mengomentari status bisa dikategorikan sebagai mengobrol. Kita jalan itu juga bareng teman-teman Abang yang lain, bareng Kak Raya juga yang merupakan teman aku. Dan aku juga enggak pernah minta perhatian khusus dari Abang.”
Aku membela diri. Aku sungguh-sungguh berharap pembelaan ini cukup untuk membuat Bang Che sadar, atau setidaknya mengerti dengan apa yang aku rasakan. Selama ini memang tidak ada percikan apa pun yang kurasakan untuk Bang Che. Bagiku dia adalah seseorang yang keberadaannya perlu aku toleransi demi kemaslahatan pertemananku dengan Kak Raya. Lagi pula, agaimana bisa aku merasakan sesuatu untuk cowok yang ada di sampingku ini? Hatiku saja sekarang masih berdarah-darah. Aku tak akan mengambil sikap yang terlalu gegabah dan menyerahkan benda yang masih sakit itu kepada siapa pun dengan mudah.
Tidak akan pernah lagi.
Kurasakan suhu di dalam ruangan itu berubah, menjadi lebih dingin beberapa derajat setelah bertemu pandang dengan mata Bang Che yang tajam dan penuh ... amarah. “Maksud kamu apa, ha? Apa maksud kamu? Jadi, selama ini aku enggak ada artinya buat kamu, Kayra?” Nada bicara Bang Che mulai meninggi.
Aku benar-benar harus berterima kasih kepada Tuhan karena dalam beberapa kesempatan saat aku mengadakan percakapan serius dengan seseorang, tidak ada orang di sekitar. Seperti yang terjadi sekarang. Untung baru ada kami di kafe tersebut, jadi aku tidak perlu kembali takut akan menjadi tontonan orang lain. Menjadi bahan tertawaan dan lirikan orang lain lagi.
Jujur aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku kehilangan kata-kata untu menanggapi kalimat Bang Che. Ya Tuhan. Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa harapan Bang Che kepadaku bisa menjadi sebesar ini?
Di mana salahnya? Di mana salahku? Setelah beberapa kala berlalu, akhirnya aku menemukan keberanian untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam kepala. “Aku enggak ngerti kenapa bisa jadi begini, Bang.”
Mendengar kalimat yang baru saja ke luar dari bibirku, Bang Che seketika kehilangan kendali. “Enggak ngerti? Enggak ngertti kamu bilang? Coba jelasin sama aku di bagian mana yang kamu engga ngerti, Kayra?! Aku udah kasih semuanya buat kamu. Aku kasih perhatian. Aku kasih waktu. Aku udah kasih usaha terbaik aku buat kamu. Apa kamu gak ingat. Aku yang udah bikin kamu lupa sama patah hati kamu. Aku yang udah bikin kamu lupa sama mantan kamu yang bxrengsek, yang enggak punya hati itu!
"Kamu yang dulu setiap hari murung habis diputusin, terlihat sangat menyedihkan, dan sekarang udah bisa ketawa lagi itu gara-gara siapa, ha? Aku! Aku! Itu semua perjuangan aku buat kamu! Tanpa aku, kamu enggak bisa apa-apa. Tanpa aku, kamu belum tentu bisa kayak sekarang. Kamu sadar itu gak, Kayra Salim?!”
Oh. My. God. Kali ini aku benar-benar melihat arti dari pepatah don’t judge a book by its cover dengan mata dan kepalaku sendiri. Mana Bang Che yang selalu tampil cool, yang selalu dianggap ramah sama semua orang, yang katanya impian banyak cewek-cewek groupie kampus itu? Mana vokalis grup band The Folklore yang katanya digandrungi banyak kaum hawa itu?
Ini. Ini adalah Bang Che yang sama, akan tetapi dengan sikap dan kepribadian yang berbeda. Layaknya dua sisi mata koin, ini adalah sisi terdalam dari seorang Bang Che. Bagian dari dirinya yang dia simpan dalam-dalam di lipatan hari-harinya. Di balik sikap manisnya pada semua orang, senyum yang selalu terpajang,cimage cool ala anak band, tersembunyi Bang Che yang mudah tersulut emosi.
Satu lagi pelajaran yang kupelajari hari ini.
Namun, aku tak dapat menyingkirkan apa yang dikatakan oleh Bang Che dsdi dalam pikiran. Apakah yang dikatakannya itu benar? Benarkah semua itu karena dia? Senyumku dalam sebulan terakhir, kemampuan untuk move on dari Harris yang nyatanya masih bisa untuk mencabik hati dan hariku, apakah itu semua karena Bang Che? Apa mungkin? Bukankah itu semua juga perjuanganku? Apakah itu semua juga karena kemampuanku?
Iya, ini adalah perjuanganku. Ini semua benar adalah bagian dari perjuanganku. Meski harus tetap kuakui bahwa aku memang melakukan semua itu dengan bantuan mereka; teman-teman. Dan mungkin juga Bang Che juga termasuk ke dalam kategori itu. Namun, tidak sepenuhnya. Dia tidak berhak mengklaim dan mengatakan bahwa itu adalah hasil jerih payah dia sepenuhnya.
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments