Setelah bertemu dengan Kak Raya, hari-hari yang kulalui memang menjadi sedikit lebih berat. Udara kampus terasa lebih padat, susah sekali untuk menghirupnya. Namun, selalu ada teman-temanku. Setelah Mimi kembali dari kampung halamannya, kami segera melakukan sleepover di rumah kos aku dan Mimi. Ketika itulah aku menumpahkan seluruh isi hati dengan bercucuran air mata.
Sudah kujelaskan juga semua, benar-benar seluruh perasaan yang ada di dalam dada. Bahwasanya aku masih terperangkap dalam lingkaran bayang-bayang Harris. Mereka memelukku erat, berharap bisa meminjamkan kekuatan untuk aku yang nyatanya sangat rapuh. Meskipun banjir bulir air mata, akan tetapi setelah itu rasanya nyaman sekali. Kalau saja para teletubbies yang ada di serial televisi anak itu melihat kami, mungkin mereka akan iri dengan eratnya pelukan yang kami bagi.
Hm. Mereka adalah teletubbies-ku.
Beban hati sedikit demi sedikit melayang bersama teralihkannya perhatianku untuk persiapan wisuda. Kami kembali punya alasan untuk menyisihkan waktu demi melakukan jalan-jalan. Kali ini alasannya adalah untuk mencari pakaian kelulusan buatku.
Kami mengunjungi satu demi satu toko yang ada. Sensasi yang kurasakan jauh berbeda dengan saat Kak Raya menyeretku untuk mengekor langkahnya. Hm. Different companies, different feelings.
Pilihanku jatuh pada sesuatu yang sederhana saja, seperti biasa. Atasan brukat motif bunga berwarna hitam dengan potongan pas badan, sementara kain songket warna-warni dari Kalimantan sebagai bawahannya. Kami juga memilih beberapa aksesoris. Sebagai finishing touch, aku memburu peep toe suede pumps berwarna senada di sebuah toko online.
Hell yeah, baby! It's time to party!
****
Hari kelulusan.
Para orang tua sudah berangkat menuju gedung Fakultas sementara kami masih bersiap untuk melaksanakan upacara kelulusan. Wisudawan dan wisudawati dikumpulkan di Convention Center tanpa mengajak orang tua untuk dilepas secara simbolis oleh pihak universitas. Setelah pembukaan, Bapak Rektor meminta kami berdiri, berhadap-hadapan dengan teman yang ada di samping. Kemudian sesuai instruksi, kami saling memindahkan jambul, saling memasangkan kalung alumni. Setelah itu, sambil bergandengan, bersama-sama menyanyikan Mars Universitas dan sebuah tembang kenangan; kemesraan.
Suasananya begitu khidmat sekaligus haru. Tak sedikit yang tersedu.
Belum tengah hari acara di Convention Center sudah selesai. Sekarang lanjut ke agenda yang diselenggarakan oleh fakultas. Tiga pintu aula sesak oleh para lulusan yang berebut untuk berjalan ke luar. Aku lebih memilih untuk menunggu giliran sambil mengobrol dengan seorang cewek yang duduk di sebelahku tadi. Karena di antara kami berlima hanya aku yang diwisuda pada kesempatan kali ini, jadi aku tidak memiliki teman. Pun aku terlalu malas untuk membuat janji dengan Kak Raya. Dia pasti tengah sibuk bersama pacar dan gerombolan mereka.
Setelah mengecek keberadaan keluargaku—Mama, Papa, Bang Rian, dan Bang Bian sudah standby di lapangan parkir depan fakultas, aku menengadah untuk meninjau keadaan lalu lintas di pintu. Alangkah terkejutnya aku ketika tiba-tiba saja mataku terpaku pada sosok yang sedang berdiri di jalan menuju pintu.
Di sanalah Harris berdiri. Dia sepertinya sudah menatapku sedari tadi. Dan ... layaknya sebuah gerakan refleks, aku balas memandangnya di titik mata gelapnya itu. Dia ... dia kemudian ... tersenyum.
Jangan! Jangan tersenyum! Kumohon, Harris, aku mohon.
Sepertinya Tuhan sedang tidak ingin mendengarkan doaku. Harris bahkan dengan beraninya melambai.
Kumohon, jangan. Jangan.
Hatiku mencelus, jatuh lagi. Hati yang audah susah payah kuperbaiki selama beberapa bulan—nyaris setahun—ini retak lagi.
Lalu seseorang menyenggol tubuhku hingga aku hampir tersungkur. Untung aku masih bisa mempertahankan keseimbangan. Lelaki yang menjadi terduga menoleh padaku dan menyengir. "Eh, sorry," katanya cepat-cepat sebelum kembali berbalik dan berjalan mengejar temannya yang sudah lebih dulu.
Seperti sebuah refleks, mataku kembali mencari sosok itu. Harris sudah tidak ada di sana lagi.
Ya Tuhan.
Jangan runtuh lagi, hati. Kumohon, bertahanlah sedikit lagi.
****
Aku akhirnya bisa ke luar dari dalam gedung itu. Mimi, Wide, Lulu, dan Anggre langsung menyambutku ketika mereka melihatku. "Congraduations, Kaaay!" seru mereka serempak.
Lulu kemudian mengulurkan satu buket bunga krisantemum warna-warni—bunga favoritku. Wide kemudian mengulurkan boneka Teddy bear raksasa yang ukurannya hampir sebesar anak-anak berwarna cokelat. Akutidak tahu bagaimana cara mereka membawa benda sebesar itu ke sini.
"Thank you, guys." Aku berterima kasih dengan air mata yang menggenang. Kali ini bukan karena sedih, akan tetapi rasa bahagia. "Kalian dapat boneka segede gaban ini dari mana, sih? Kenapa harus sebesar ini coba," protesku dengan setengah hati. Aku hanya melakukan itu untuk mencari masalah dengan mereka.
"Huuu. Jangan mulai, deh." Anggre menanggapi. "Yuk, ah, jalan ke fakultas kamu. Om sama Tante pasti udah gak sabar pengen ketemu. Sini aku bantu bawain bonekanya." Dia lalu meraih boneka itu.
Mimi melakukan hal yang sama dengan buket bunganya.
Ah, iya. Bagaimana aku bisa lupa dengan kehadiran mereka? "Yok lah kalau gitu. Aku parkir di pinggir jalan tadi."
Kami kemudian berjalan menuju ke mobil yang terpaksa diparkir agak jauh dari gedung Convention Center yang sudah sesak saat aku sampai di sini pagi tadi. Namun, di tengah jalan lenganku ditahan oleh seseorang. “Kay, sebaiknya kita gak lewat sana. Lewat sini aja.” Mimi mengajakku untuk berputar arah.
"Eh, iya. Ayo, ayo." Aku tidak bisa mengenali suara siapa yang berkata barusan dari balik kabut kebingungan yang tiba-tiba saja menerpa.
“Yuk.” Kurasakan Wide—aku tahu itu Wide karena dialah satu-satunya yang berjalan di sebelah kiriku yang tidak memiliki barang bawaan, menggamit tanganku dan sedikit menyeretku dengan paksa.
Namun, seketika ada orang lain yang menarik tanganku dan memaksa untuk berhenti. Aku terkejut mendapati genggaman tangan yang maskulin itu dan berbalik. Aku menjadi lebih terkejut lagi ketika mendapati bahwa sosok yang menghentikan gerakanku adalah Bang Che.
Dari mana dia datang? Kenapa aku tidak melihatnya ada di dekat kami? Sejak kapan dia ada di sana?
“Lepasin tangan Kayra, Bang Che. Lo gak ga ada urusan apa-apa sama dia.” Mimi lantas memberikan perintah.
Setelah bisa menguasai rasa kagetku, aku juga turut menatap laki-laki yang memakai setelan rapi itu—tentu saja karena dia juga diwisuda hari ini, sebelah alisku terangkat sebagai tantangan.
Melihat ekspresiku, dan beckinganku, Bang Che perlahan-lahan melepaskan genggamannya. Aku menatap matanya untuk beberapa saat, berharap melalui adu pandang itu dia bisa mengerti bahwa aku tidak ingin diganggu lagi. Setelah merasa cukup, aku segera berbalik dan kami meninggalkan laki-laki itu di sana.
Aku masih bisa merasakan tatapannya mengiring setiap langkahku, punggungku terasa panas karena menjadi sasaran tatapan lasernya. Namun, kubiarkan saja. Sudah kubilang bahwa aku tak peduli.
Hari ini dunia berhasil mempermainkan perasaanku, lagi. Silakan saja, terserah. Namun, aku bersumpah, ini untuk yang terakhir kali.
Tidak akan ada kali yang lain.
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments