“Heh!”
Seseorang menepuk bahuku dari belakang, membuatku terperanjat. Jantungku seketika saja mengikuti perlombaan lari dengan degupannya. Aku menoleh ke samping dan mendapati wajah yang menjadi begitu akrab akhir-akhir ini. Kak Raya. Aku tak habis pikir ternyata aku menghabiskan banyak waktu bersama dia.
Sambil meringis aku menyambut pesanan yang dibawa. Ada frappuccino kesukaannya dan smoothies untukku di atas baki yang dia pegang. Juga beberapa buah donat dengan berbagai topping disusun rapi di sebuah piring.
Hari itu kami akan membicarakan masalah Kongres Mahasiswa Himpunan Jurusan se-Indonesia yang akan dilaksanakan di kampus kami. Meski pembahasan yang akan kami lakukan bersifat lumayan serius dan berat, entah kenapa kami lebih memilih untuk membicarakan masalah seperti ini di luar lingkungan kampus. Mungkin agar suasananya lebih santai, jadi lebih nyaman untuk membahas hal-hal yang sedikit menguras pemikiran.
Ya. Mungkin itulah alasannya.
“Kamu, sih, aku kasih kode dari tadi gak sadar-sadar juga. Ngelamun lagi pasti.” Dia merepet sembari menghempaskan badan ke kursi yang ada di seberang meja.
Okay, Kak Raya, how do you get to know me so well, hm?
****
“Jadi konsep acaranya kita bikin kayak yang tadi aja, ya? Expo. Nanti ada seminar nasional sama pameran kebudayaan dari peserta kongres. Untuk seminar, pemateri yang tepat siapa kira-kira, ya, Kak?” Aku bertanya dengan pena yang sudah siap untuk menari di atas kertas binder yang sedari tadi menjadi media untuk merekam hasil dari pembicaraan kami.
“Jangan coba mengalihkan pembicaraan deh, yaaa. Dari tadi kita udah finish bahas yang begituan, bikin pusing juga lama-lama mikir masalah yang serius mulu, tahu gak. Jadi, barusan mikirin Harris lagi, kan?”
Seketika saja awan gelap melingkupi hati ini. Sekonyong-konyongnya petir dan kilat bergantian hadir di dalam dada ini. Padahal dia baru saja mengatakan kalau dia tidak mau pusing karena membahas hal-hal yang serius. Apa dia pikir membahas masalah Harris dan aku bukan sebuah perihal yang serius? Tidak lebih serius dari urusan organisasi?
She can't be serious, right?
“Kakak, can we just ... skip it?” Aku lalu memperbaiki posisi dudukku. Kusandarkan tubuh sepenuhnya ke sandaran kursi dan kutumpukan kepalaku di atasnya. Sambil menengadah, melihat ke arah langit-langit gerai donat franchise yang tersebar di seluruh pelosok dunia itu, aku melanjutkan. “Oke, you are right. Aku barusan emang mikirin dia. So what? Setelah apa yang kami lalui, memang seharusnya begitu, kan? Aku gak bakalan bisa menghapus dia dengan mudah dari pikiran aku, Kak. Bahkan bayangan dia aja masih menghantui langkah aku sampai sekarang." Sialan. Kenapa aku bisa meledak seperti ini? Untuk beberapa saat, aku menyesali apa yang baru saja keluar dari mulutku. Hal yang aku beberkan terasa begitu ... mentah. Begitu jujur. Aku tidak pernah berbicara sejujur ini soal perasaanku pada Harris sebelumnya kepada siapa pun.
Damn it. Aku benar-benar merasa kecewa pada diriku sekarang.
Aku akhirnya menggeleng untuk mengusir perasaan dan keping-keping kenangan yang mulai menyelinap dan jelas saja tidak kukehendaki. "It’s just the matter of time, isn’t it?" kilahku pada Kak Raya. "I’m trying my best to move on, Kak. Aku akan berusaha sebaik yang aku bisa dan terus mencoba untuk move in. Aku janji sama Kakak.”
Kak Raya menepuk-nepuk permukaan meja dengan lembut. “Aku tahu, Sayang. Aku tahu. Kamu pasti akan berusaha sebaik yang kamu bisa. Kamu yang sabar, ya?" Dia memajukan bibir bawahnya ke depan untuk beberapa saat. Hal yang biasa dilakukannya selain terkekeh. Secepat dia memasang bibir monyongnya, secepat itu pula ekspresi itu menghilang dan berganti dengan mata yang membulat serta wajah yang berseri. "Aha! Aku pikir kamu harus punya pengalih perhatian biar kamu gak mikirin yang gak penting lagi. Dasar tukang selingkuh gak ada gunanya. Gimana kalau cari gebetan baru?”
ungkapnya dengan penuh semangat. Kalian juga sudah bisa menebak kalau kalimat itu diakhiri oleh kekehannya.
Boleh saja Kak Raya semringah dan excited dengan ide yang dianggapnya cemerlang itu, akan tetapi tidak denganku. Aku sedikit pun tidak bisa menemukan di mana letak kecemerlangannya. “Maksudnya gebetan baru apaan coba, Kak?” Keningku berlipat sepuluh seakan hendak ikut mempertanyakan kesungguhan hati Kak Raya.
“Yaaaa, gebetan baru." Dia kemudian mengedikkan bahunya dengan enteng. "Mau, kan? Siapa, yaa?” Pertanyaan-pertanyaan itu terlontar dan dibiarkan mengapung di antara kami begitu saja. Lagi pula, mereka ada hanya untuk basa-basi, bukan untuk dicari jawabannya.
Cewek cantik yang suka dengan dunia perkosmetikan itu di kalakian bergumam pada dirinya sendiri, sepertinya dia sudah hanyut dalam hal-hal yang ada di dalam pikirannya.
Aku kembali menggeleng. Entah kenapa, aku tiba-tiba merasa terlalu sendiri dan kesepian lagi. Padahal aku sedang berada di tengah-tengah keramaian, dengan seorang teman, di dalam sebuah mall yang terkenal di sini. Aku tahu maksudnya baik, dia ingin aku move on dari bayangan Harris. Dan aku pun sudah bilang, aku sedang berusaha. Tidak bisakah kita berdamai dengan kenyataan ini saja?
“Kakak Sayang, terima kasih sudah mau nyariin aku gebetan baru, ya? Tapi, aku gak mau. Aku gak siap. Hati aku sekarang sedang sakit, Kakak, gimana bisa aku bisa terima hati lain untuk masuk ke dalam hati yang gak sehat ini? Lagian aku gak mau main hati, Kak. Terlalu sakit. Terlalu bahaya. Aku gak mau main-main sama perasaan orang lain.”
Kak Raya mempunyai keberanian untuk mengoceh dan mengibaskan tangannya di udara. “Ah, gak usah mikir yang jauh banget. Kamu gak harus main pake hati dulu kali, Kay. Nikmati aja sensasinya. Kalau cocok, ya, silakan lanjut. Kalau enggak, kan, gak masalah juga. Yang penting perhatian kamu teralihkan dulu. Daripada kamu ngabisin waktu buat yang enggak-enggak kayak ngelamun gak jelas gitu. Itu aja, sih, maksud aku.”
Aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara menanggapi pernyataannya barusan. Apakah dia benar-benar mengasihani keadaanku sekarang atau dia tidak ingin terlibat dengan aku yang moodnya selalu mellow seperti yang terjadi akhir-akhir ini? Oh, my God. Kepalaku tiba-tiba saja terasa sakit sekali. Dadaku juga. Semuanya. Namun, di tengah-tengah penderitaan itu, aku bersyukur masih bisa mengeluarkan perkataan yang aku keluarkan. Karena, bagaimanapun juga, aku tidak bisa membiarkan orang untuk mengabaikan prinsipku. “I’m not letting people fall for me if I’m not planning on catching them with my own hands.”
Namun, kalimatku itu hanya dianggap sebagai angin lalu. Jelas saja Kak Raya sama sekali tidak mendengarkanku dinilai dari tanggapan yanh selanjutnya dia berikan. “Gimana kalau itu Che?”
Onde mande!
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments