Setelah bersiap, kami berangkat menuju ke kampus yang jaraknya hanya beberapa ratus meter. Entah kenapa aku mengabulkan permintaan Mimi untuk tidak membawa mobil karena menurutnya mencari tempat parkir akan menjadi mimpi buruk tersendiri di saat ada keramaian seperti saat sekarang ini. Aku mulai menyesali keputusanku itu.
Ditemani oleh teriknya cahaya mentari siang hari, aku dan Mimi—yang sudah berjanji dari jauh-jauh hari akan menemaniku mengambil toga karena stia tidak ada jadwal kelas sekarang—berjuang sekuat tenaga untuk menembus udara lengket dan pengap kota ini. Tak ada yang berani melawan panas dengan mencoba untuk memulai percakapan, kami terlalu sibuk berjuang bertahan hingga mencapai gedung Rektorat dengan selamat. Yah, meskipun saat sampai di sana sisa-sisa mandi tadi sudah tidak ada lagi.
Setelah menunggu lumayan lama, aku akhirnya mendapatkan seragam kelulusan itu juga. Ktami segera berlari ke salah satu tempat makan langganan kami di lingkungan kampus. Seorang wanita di belakang counter kasir tersenyum saat melihat aku dan Mimi masuk sembari celingak-celinguk mencari tempat duduk yang telah diisi oleh teman-teman kami yang lain.
Tentu saja mereka duduk di spot yang biasa kami pakai untuk makan siang di sini.
“Pesanannya yang biasa, kak?” sapa wanita yang bernama Uni Meri itu. Mimi menjadi perwakilan dari kami berdua dan mengacungkan jempol pertanda setuju. Kami pun segera bergabung dengan ketiga teman kami yang lain.
Tak lama, lima gelas es teh manis dan lima porsi pecel ayam terhidang di atas meja. Pelayan yang bernama Bang Wan yang membawanya ke meja kami. “Ini Uni Meri suruh kasih gratis satu porsi banana split untuk cewek yang mau wisuda. Selamat, yo, Kayra,” ucapnya sembari meletakkan satu mangkuk yang berisi es krim dan potongan pisang dengan berbagai macam topping itu di depanku.
"Yeay! Makasih banyak, Bang!" Aku berseru kegirangan. Di kalakian aku menengok ke arah kasir dan melambai kepada Uni Meri yang juga melihat ke arah kami.
Secepat apa makanan itu datang, secepat itu pulalah piring dan gelas itu menjadi kosong. Wide, yang sedari tadi hanya membahas hal-hal trivial soal tontonan Koreanya kini seketika terdengar lebih serius. “Eh, Kay, kamu gak merasa punya sesuatu yang mau dikasih tahu ama kita-kita gitu?"
Aku serta-merta menaikkan sebelah alisku setelah mendengar pertanyaannya. "Like what?" sahutku. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dia maksud. Kalaupun ada yang ingin kuberi tahu, aku akan langsung memberi tahu mereka tanpa harus diberikan "kode keras" seperti ini. Kuedarkan pandangan ke arah teman-temanku yang lain. Di wajah mereka terpampang raut yang kurang lebih sama denganku; they have no idea.
Wide mengedikkan bahu. Gerakan itu disertai dengan tarikan kedua sudut bibirnya ke bawah. "Hm. Contohnya kayak apakah kamu benaran lagi deket sama bang Che. Atau bahkan soal rumor yang beredar kalau kalian sebenarnya udah jadian itu."
"Eh, serius?” Anggre menimbrung, membuat Mimi dan Lulu mulai memperhatikanku dengan lebih saksama.
Aku bisa merasakan tatapan mereka menembus kulit mukaku di kedua sisi. “Enggak, ah, Wi. Kenapa emangnya? Aku gak ngerti, deh, kenapa rumor kayak gitu bisa beredar di kampus. Padahal kan aku gak ngapa-ngapain.” Aku menjawab setelah mengembuskan napas berat. Memang benar bahwa hampir sebulanan ini kami sibuk dengan mention-mention di media sosial dan chat di WA, akan tetapi tidak ada yang terjadi lebih dari itu. Wajar saja aku heran akan the said rumor yang mengambang di segala penjuru kampus.
“Enggak apa-apa sih, Kay, kita cuma khawatir aja. Soalnya banyak cerita kalau kamu udah jadian. Kan ngeselin banget misalnya kita teman kamu paling dekat aja enggak tahu soal ini.” Kali ini Anggre yang menimpali. "Bisa rugi pajak jadian, dong!"
Aku tergelak. "Dasar kamu, Gre! Maunya ditraktir mulu," candaku. Di kemudian aku menambahkan. "Udah, gak usah dipikirin, ya. Aku sama Bang Che gak jadian. Lagian, kalau ada apa-apa pasti kalian tetap jadi orang-orang yang pertama tahu soal itu. Biasanya juga gitu, kan?” Aku berharap ucapanku ini bisa memberikan mereka sedikit ketenangan karena aku tahu, meski Wide dan Anggre membungkusnya dengan gurauan, mereka menaruh perhatian yang lebih soal "rumor" ini. Seperti tipikal sahabat, mereka hanya mengerjakan tugas dan mencemaskan keadaanku.
Ah, gosip. Itu hanya gosip yang akan pergi seperti angin lalu. Tidak ada yang perlu dicemaskan.
****
Entah siapa yang menyebarkan gosip itu dan apa motif yang mereka punya, yang jelas apa yang mereka katakan sungguh tidak beralasan. Apa yang ada dalam pikiran mereka kala aku tengah sibuk menata perasaan tak menentu ini? Apa yang mereka pedulikan? Kenapa mereka tiba-tiba begitu peduli tentang kehidupanku? Tentang apa yang aku alami?
Inilah yang selalu terjadi, bukan? Orang-orang mulai beranggapan bahwa mereka tahu benar soal apa yang terjadi di dalam hidupmu dan sedikit demi sedikit memolesnya dengan opini-opini mereka sehingga hal tersebut yang kemudian menjadi sebuah kebenaran di mata khalayak ramai. Padahal apa yang sebetulnya terjadi belum tentu seperti itu.
Awalnya aku hanya menganggapnya angin lalu, mencoba menepis sesuatu yang aneh yang kurasa di dalam dada. Namun, ketika hampir semua orang, baik yang mengenalku maupun yang benar-benar merupakan orang asing, mulai melirik-lirik ke arahku dengan senyum sumbang di bibir mereka, memandangku dengan sudut mata dan mengira bahwa aku tak akan melihatnya—Ya Tuhan! Siapa yang tidak akan sadar sedang diperhatikan oleh banyak sudut mata seperti ini?, langsung berbisik-bisik ketika aku baru saja lewat di depan mereka, kegusaranku tak terelakkan lagi. Siapa yang telah melakukan hal bodoh seperti ini? Siapa yang sudah menyebabkan semua ini? Apa kesalahan yang sudah kulakukan padanya?
Sepanjang jalan menuju kantor jurusan aku bolak-balik memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Sesuatu yang aneh di dalam dadaku lagi-lagi mencuat, terlebih setelah nama Raya seketika saja melintas di dalam benak. Apa Kak Raya setega itu padaku? Apa dia mungkin melakukan semua ini? Dari awal kan memang dia yang menginginkan kedekatan aku dan Bang Che terjadi?
Kalau iya, leluconnya kali ini benar-benar sudah kelewatan! Aku sungguh tidak suka. Jadi apa arti dari semua hal yang sudah kukatakan padanya sebelum ini? Apakah dia tidak mendengarkan? Apakah dia tidak mau mengerti?
Sedang terbenam dalam pikiran sendiri, aku dikejutkan oleh sebuah tepukan—oh, tidak, hal yang baru saja terjadi lebih tepat dikatakan sebagai pukulan—di pundakku. Saat menoleh, aku mendapatkan apa yang aku inginkan.
Siapa lagi kalau bukan Kak Raya.
Tepat sekali. Aku bukanlah orang yang menyukai konfrontasi, akan tetapi kali ini aku sungguh ingin bertanya kepadanya.
“We need to talk.” Tak pernah aku seserius ini, bahkan tidak saat membahas masalah organisasi paling genting pun bersamanya.
Melihat ekspresiku, Kak Raya terlihat agak sedikit tersentak. Heran.
“Kenapa, Neng?" tanyanya. Belum sampai sedetik kemudian, dia sudah mengibaskan tangan di depan mukaku. "Udah, ah. Bahasnya nanti aja. Yuk, kamu temenin aku makan dulu.”
What the heck? Namun, demi jawaban yang kuinginkan, aku mengikutinya tanpa melawan.
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments