Sekarang aku sedang duduk di kursi depan meja belajar yang di atasnya masih berserakan barang-barang dari Harris. Hadiah ulang tahun, sebuah kotak P3K yang pernah dia belikan, sebuah kalung serta cincin. Semakin aku pandangi, hati ini semakin teriris. Aku sadar semuanya sudah patut untuk dibuang bersama kenangan yang menempel pada nama pemberinya. Namun, tampaknya saat ini aku masih belum bisa melakukan apa-apa.
Beep. Beep. Beep. Sebuah tanda pesan singkat yang masuk ke ponsel seketika mengalihkan perhatianku. Saat aku cek notifikasi yang mengambang di layar, jantungku serasa akan melompat ketika mengenali nomor yang sudah tidak lagi aku simpan akan tetapi aku rasa mau tidak mau akan selalu aku ingat itu.
+628112233243 : Kay, keluar bentar mau ya?
+628112233243 : Aku udah di depan kost-an kamu
Speaking of the devil.
Kenapa kamu tega melakukan ini semua sama aku, Ris? Hatiku menggerutu, mengeluh, memberontak. Apa lagi mau dia sekarang? Aku tudak ingin menemui dia. Aku tidak ingin melihat wajahnya lagi. Sudah tidak bertemu langsung dengannya saja aku masih kerepotan mengusir dia dari setiap sudut hati dan hariku. Apalagi jika dia harus benar-benar ada dan mengisi hari ini? Oleh karena itu, aku memilih untuk tetap berada di kamar.
Another Beep. Beep. Beep.
Lima buah pesan masuk yang isinya sama.
+628112233243 : Kay, aku di luar
Tetap kubiarkan saja pesan-pesan itu terbaca tanpa kuindahkan isinya. Dentang yang lain pun segera menyusul kawan-kawannya yang telah terdahulu.
+628112233243 : Kay, please
+628112233243 : Kay
+628112233243 : Sayang, aku mohon
+628112233243 : kamu ke luar dong. Aku mau ketemu sama kamu
+628112233243 : aku mau ngomong sama kamu
+628112233243 : aku kangen
Oh, tidak. Tidak, tidak, tidak. Dia baru saja tidak mengatakan hal itu, bukan? Dia tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan kata dengan awalan K itu, kan? Dia tidak berani, pasti tidak berani, kan?
Ya Tuhan, apa yang sedang ada di dalam pikirannya? Apakah tidak terlintas sedikit pun di benaknya bagaimana perasaanku saat dia melakukan hal itu? Mwmanggilku dengan cara seperti itu? Mengatakan apa yang dikatakannya?
Rasa-rasa berkecamuk dalam jiwa. Sedih, kecewa, dan ... yang paling mengejutkan adalah adanya percikan-percikan rasa berang bersatu, membentuk koktail perasaan yang sungguh memabukkan diri ini. Namun, bukan jenis mabuk yang dicari-cari banyak orang di luar sana. Lebih kepada mabuk yang tidak sehat dan ... membunuh.
Masih disibukkan oleh perasaan, ponselku sekonyong-konyongnya berdering dengan nada panggilan masuk. Layar yang menyala lagi-lagi memperlihatkan nomor tak tersimpan itu.
Ah, sudahlah. Aku tidak mau meladeni kehendaknya lagi. Sudah cukup kehancuran secara emosional yang dia sebabkan terhadap aku.
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
Empat kali.
Sembilan panggilan tidak terjawab.
Aku tetap bergeming. Kukepalkan tanganku erat-erat, seerat yang aku bisa, agar tangan ini tidak bisa menjangkau gadget yang sedang berbunyi di samping kotak P3K itu.
Beep. Beep. Beep. Panggilan berakhir. Telepon berganti sebuah pesan.
+628112233243 : Kay, kamu gak mau ketemu aku lagi?
+628112233243 : Aku tunggu sampe kamu mau keluar
Arggh!
Pintu kamarku tiba-tiba dibuka oleh seseorang. Aku benar-benar berniat untuk menyampaikan sepatah dua patah kata-kata mutiara kepada orang yang sudah berani memasuki daerah kekuasaanku tanpa izin, akan tetapi kuurungkan niat ketika melihat kepala Mimi muncul dari balik pintu. Dia menengok padaku tanpa sepatah kata pun.
Aku tahu arti dari tatapan itu. Kalau kamu gak menemui bxjingan itu secepatnya, mungkin dia akan diseret oleh ketua pemuda setempat karena menunggu semalaman di depan rumah kos kami.
Duh, sialan. Dengan berat hati aku bangkit dari atas kursi meja belajar dan menyeret tubuhku untuk bergerak menuju ke luar kamar. Mimi, yang notabenenya merupakan orang yang paling membenci Harris—benci adalah kata yang sangat ringan karena sebenarnya dia sangat sangat sangat sangat mengutuk keberadaan cowok itu di atas bumi ini, mengirimkan beberapa sinyal melalui matanya. Sorot yang penuh arti itulah yang menguatkanku untuk melangkah.
Apa pun yang terjadi, akan ada Mimi yang selalu mendukungku. Dia mungkin akan dengan senang hati ikut terlibat jika aku harus melakukan sesuatu yang bahkan melanggar norma hukum sekalipun. Oh, no. Aku jelas tidak akan melakukan sesuatu yang berbahaya seperti hal yang mungkin sangat diinginkan oleh Mimi tersebut, akan tetapi tetap saja rasanya senang mengetahui ada yang mempedulikan aku sekonyol itu di saat seperti ini.
Aku menemukan Harris sedang duduk di bangku teras kosan kami. Kepalanya menunduk dengan bahu yang juga menggulung ke dalam tubuhnya. Aku tahu bahwa dia tentu sudah mengetahui kedatanganku—aku layaknya membuat sebuah pengumuman dengan suara pintu yang sengaja kututup agak keras, akan tetapi dia masih saja mempertahankan posisinya itu. Tak ingin ambil pusing, aku langsung duduk di kursi yang ada di sebelah kanan meja.
Diam. Untuk beberapa saat kemudian kami hanya duduk di sana dalam diam.
Entah berapa lama setelahnya, Harris akhirnya angkat bicara. "Kay," panggilnya dengan ... lunak. Suaranya terdengar serak dan lembap, tak tahu karena apa. "Kay." Dia mengulang sekali lagi ketika aku tidak jua menengok ke arahnya.
Oh, here it comes. That face of an angel is out just when he need it. Memelas, seakan tak berdaya, sok menderita. Basi, Ris, basi! “Apa lagi, hm?” Aku bertanya tanpa menatapnya, hanya sekadar basa-basi saja sebetulnya. Aku benar-benar tidak ingin mengetahui apa yang dia mau karena aku sudah betul-betul tidak punya apa pun lagi untuk diberikan kepada pria ini.
Dari sudut mata, aku bisa menangkap gerakannya memutar ke arahku, menatapku lurus dan terpaku. “Kamu udah berubah banget, ya, sekarang.”
What? Oh, no. Dia baru saja tidak mengatakan apa yang aku dengar, bukan?
Sekarang macan yang tadinya masih bisa kukendalikan kini sudah lepas, meliar. Mengambil alih tali kekang dan mematikan emosiku sehingga yang kini ada hanyalah aku yang menggunakan logika saja, tak berperasaan. “Maksud kamu apa, ha?” Aku bertanya dengan nada yang rendah dan dingin. Kubalas tatapannya tepat di titik mata yang pernah menjadi kolam yang sering aku renangi itu. Namun, sekarang .... Aku tidak jatuh ke dalam sana lagi. Maka dari itu aku memilih untuk melihat, akan tetapi tidak sungguh-sungguh memperhatikan.
Lagi pula, apa yang dipikirkan pria ini sehingga mengeluarkan pernyataan yang seharusnya menjadi pertanyaan untuk dirinya sendiri?
“Kamu udah beda, Kay. Kamu udah gak perhatian lagi sama aku, kamu udah gak sayang lagi sama aku. Kamu tahu gak, aku benar-benar kehilangan kamu beberapa hari belakangan ini. Aku pengen kamu perhatian sama aku lagi. Aku pengen kamu sayang sama aku lagi. Aku pengen kamu bilang kamu sayang aku setiap hari lagi. Aku pengen kita kayak dulu lagi. Aku akan melakukan apa saja biar kamu bisa balik sama aku. Kamu bilang aja aku harus apa.”
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments